Bagian 44
Sambil menunggu Sang Paman menyelesaikan pekerjaannya, Ira berkeliling ruangan, menelaah setiap sudut ruangan dengan pandangannya.
Terlihat beberapa fasilitas seperti mantel, handsanitizer , beserta 2 buah parfum dan masih banyak lagi, semua itu Ira coba untuk memuaskan rasa penasarannya bahkan sepasang sandal yang dia temukan pun dia ambil karena begitu licin sangat nyaman untuk dipakai. Setelah puas menelaah, Ira mengambil setelan pakaian yang akan dia kenakan nanti
Setelah beberapa jam berlalu, usai melihat Sang Paman pergi setelah menerima pesan singkat, kini Ira tengah tertegun sambil memeluk kedua lututnya di atas ranjang. "Paman memang agak aneh sih, tapi... kayanya enggak juga," batin Ira bergelut dengan pikirannya sendiri. Semakin waktu berlalu, memang terasa perbedaan-perbedaan dari sikap Sang Paman semakin jelas, akan tetapi apakah itu sebuah tanda ketertarikan atau hanya ilusi saja? Padahal sejak terakhir kali bibir pria itu mengucap penolakan rasa, hati ini sudah perlahan mundur, berusaha menerima kasih dari hati yang pasti tak akan menyakiti seperti ini, tetapi semakin hari, rasa ini entah harus di bawa ke arah mana, selalu berubah-ubah setiap detiknya. Tok...tok...tok... Dentingan suara terdengar dari arah pintu sana, lalu Ira segera bangun melihat siapa di sana. "Hai," ucap seorang Pria berperawakan ideal tampan dan manis berdiri di hadapannya. Setelah melihat perawakan orang ini, Ira langsung teringat pada seseorang, sepertin
Layak Medan pertempuran, mereka hanya beradu dingin satu sama lain, suasana tak menentu kala kehadirannya di sini, sementara itu Ira rasanya ingin menghilang saja dari muka bumi ini."Walaupun aku hanya diam, kok aku merasa tertekan ya," batin Ira tak nyaman.Karena situasi yang sangat mencekam, pria itu memulai sedikit pembicaraan."Bolehkah aku berkenalan denganmu nona?" "Denganku?""Ya, siapa lagi yang pantas aku panggil Nona di sini selain kamu."Yap perbincangan ini, di sisi lain mencairkan suasana juga ikut membakar seseorang."Siapa namamu?""Aku...He-ira Attaya," jawab Ira ragu."Nama yang sangat indah," ucap pria itu dengan nada rayuan. Di sisi lain Ira tengah mengumpat dalam hatinya."Untung saja pria ini tidak mengingatku, ku kira dia akan membicarakan masalah tadi," batin Ira."Tidak kah kau penasaran dengan namaku?" tanya pria tersebut.Ira hanya mengangguk, dirinya memang penasaran, namun melihat raut Paman yang begitu ambigu Ira sedikit ragu untuk berbincang lebih panj
Melihat ekspresi yang seakan menyudutkan, jelas membuat Ira merasa terusik harga dirinya, tidakkah dia tahu perjuangannya kemarin demi pria itu, dan saat ini pria itu malah seakan memandang Ira sebagai pelaku tindak asusila, apakah gadis itu terlihat seperti seorang pelaku?"Paman menuduhku?" tanya Ira.Lingga tak menjawab, dia hanya menampakkan wajah seolah meminta penjelasan saja, pasalnya kondisinya saat ini yang bertelanjang dada dan pakaian bawah yang telah berganti siapa yang mungkin bisa menggantinya?"Terserah Paman saja mau percaya padaku atau tidak, ikuti pemikiran Paman saja," ucap Ira ketus kemudian berjalan menuju kamar mandi.Lingga masih tertegun, dia terdiam dengan beribu pikiran yang berseliweran di pikirannya, dari mulai keadaan dirinya saat ini sampai bagaimana dia bisa pulang ke tempat ini."Sebenarnya apa yang telah terjadi padaku...?" Gumam Lingga sembari meremas kepalanya.Kilas balik...Pada malam yang cerah, setelah Ira memaksakan diri berlaku layak seorang wa
DI RUMAH....Setelah beristirahat semalaman dengan wajah masam, Ira bertekuk di atas ranjang di diiringi bunyi omelan yang begitu nyaring menggema di seluruh ruangan. "Hiks...hiks...ibuuuu aku ingin pulaaang," tangis Ira dalam balutan selimut.Sunyi pagi yang menyejukkan sangat serasi dengan irama tangis yang bergema dalam diam, akan tetapi suara dering ponsel membuat Ira seketika naik pitam, rasanya melempar ponsel dengan tangannya sediri seakan bisa menjadi obat penebus rasa kesalnya."Huaaaa.....hiks....hiks...." Tangisan Ira semakin kencang, tangisan yang penuh rasa sakit penuh penderitaan dan penuh tekanan, membuat hati terenyuh mendengar suara getir nan ketir.Bak..."Hosh...hosh...."Suara nafas terengah dengan raut panik yang sulit di sembunyikan, berlari menuju ranjang dengan langkah begitu panjang."Ra... Ira...." Suara berat itu terdengar jelas menggema, mendekat menghampiri seraya mengusap kening seorang gadis yang terlihat penuh kerutan."Hiks...hiks..."Ira yang terliha
Setelah mengerahkan sedikit perjuangan, Ira berhasil menerobos tembok besar di hadapannya, menghiraukan segala kontak mata yang mencegahnya, Ira menerobos tanpa menatap mata pria itu, yang akan melemahkan niatnya, walaupun dalam kondisi yang masih lemah dia coba paksakan.Di sisi lain Lingga tengah menatap kepergian gadis itu, berlari dengan lemah mengerahkan segala kekuatannya, tubuh pria itu seakan ingin menahan Ira pergi dengan sendirinya, namun tiba-tiba sebuah kepalan tangan terbentuk seakan menahan diri yang hendak terbawa arus begitu saja, tekadnya yang tak rasional seketika di patahkan oleh akalnya sendiri, memang siapa dirinya dan apa haknya terhadap gadis itu hingga Lingga dapat menahannya sesuka hati?DI TAMAN.....Dengan langkah gontai, Ira mendekati kursi panjang dengan seseorang yang terdiam di sana, Ira mendekat dengan nafas yang terengah-engah."Hosh...hosh..."Mendengar suara tersebut lantas seseorang yang tengah terduduk diam menoleh, di iringi senyuman manis yang m
DI KAMAR LINGGA...Malam tiba, Lingga duduk di tepi ranjang, menatap surat undangan dari Ira beberapa saat lalu. pria itu teringat akan pengakuan wali darinya yang terbilang mendadak dan sepihak, padahal Lingga melakukan pengakuan itu hanya agar orang lain tidak curiga memandang kehidupan mereka yang berada dalam satu rumah, bahkan pengakuan dalam secarik kertas pun tak ada, apakah Lingga boleh melakukan peran wali seperti ini?Ya Pria ini terkadang rasional juga terkadang begitu bodoh jika menyangkut Ira, dirinya selalu takut akan dampak yang di timbulkan dari keputusan yang terlalu mendadak, berbeda dengan orang lain yang akan memikirkannya sepintas, Lingga malah memikirkan hal yang bahkan akan sulit dia jawab sendiri, "bagaimana jika orang lain bertanya tentang hubungan kami? Bagaimana mereka mempertanyakan statusku sebagai wali? Bagaimana jika Ira tidak menyukai jawabanku dan malah membenciku?" Itulah yang kerap kali Lingga pikirkan."Huh apa yang kupikirkan? Aku tidak mungkin ben
Hari kelulusanSetelah menempuh perjalanan beberapa menit dengan mobil, kini mereka telah tiba di sekolah, ketika langkah mungil gadis itu menginjak tanah, seluruh penjuru mata langsung tertuju padanya, ya Ira yang kerap kali mendapat sorot tajam dari teman sekelasnya, saat ini tengah di tatap dengan sorot yang berbeda, indah bukan ciptaan Tuhan ini yang kerap di hina itu?"Gila, dia Ira kan?""Dia bisa cantik juga ternyata.""Kalau dia cantik dari dulu seperti ini, pasti tidak akan ada yang hina dia.""Gua setuju sama Lo,""Eh dia sama siapa?"Bersamaan dengan itu, Lingga yang keluar sambil merapikan arlojinya juga tak kalah menawan, aura dalam dirinya terasa berbeda, walaupun hanya diam dan tak menampakkan senyum sedikit pun, cukup wajahnya saja sebagai penopang Lingga sudah mengalahkan pesona prince School di sekolah ini."Gila... dia siapa, kok ganteng.""Aura CEO guys,""Wajah dan tubuhnya bagus banget gila....""Minta tanda tangan ah."Ira yang mendengar desas-desus itu, seketik
DI RUMAHSetelah sampai, mereka langsung memasuki rumah secara bersamaan, Lingga yang tak melepas buku rapor dan kelulusan sejak tadi menarik rasa penasaran Ira yang semakin membesar."Memang seburuk apa si nilaiku, apa mungkin aku tidak lulus?" batin Ira cemas.Di tengah langkahnya tiba-tiba Lingga terhenti dan otomatis Ira pun ikut berhenti."Kau masak ya, aku lapar," ucap Lingga dan langsung pergi menuju kamarnya.Ira yang tak bisa menolak hanya bisa menurut."Apakah itu permintaan yang Paman maksud?" batin Ira bertanya.Setelah beberapa menit berlalu, Ira yang sudah bersih kembali, tengah memasak seperti biasa, satu hal yang tak pernah Lingga sadari sejak gadis itu menjadi juru masak pribadinya adalah pesona yang terpancar dalam dirinya, dan hanya terlihat dari belakang punggungnya saja. Gerakan tangan lihai bergerak seakan pada porsinya, belahan tengkuk yang sedikit terlihat, sungguh menarik dan tentu membuat Lingga seketika tersenyum."Kapan ya aku merasa tertarik ketika melihat
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan