DI RUMAHSetelah sampai, mereka langsung memasuki rumah secara bersamaan, Lingga yang tak melepas buku rapor dan kelulusan sejak tadi menarik rasa penasaran Ira yang semakin membesar."Memang seburuk apa si nilaiku, apa mungkin aku tidak lulus?" batin Ira cemas.Di tengah langkahnya tiba-tiba Lingga terhenti dan otomatis Ira pun ikut berhenti."Kau masak ya, aku lapar," ucap Lingga dan langsung pergi menuju kamarnya.Ira yang tak bisa menolak hanya bisa menurut."Apakah itu permintaan yang Paman maksud?" batin Ira bertanya.Setelah beberapa menit berlalu, Ira yang sudah bersih kembali, tengah memasak seperti biasa, satu hal yang tak pernah Lingga sadari sejak gadis itu menjadi juru masak pribadinya adalah pesona yang terpancar dalam dirinya, dan hanya terlihat dari belakang punggungnya saja. Gerakan tangan lihai bergerak seakan pada porsinya, belahan tengkuk yang sedikit terlihat, sungguh menarik dan tentu membuat Lingga seketika tersenyum."Kapan ya aku merasa tertarik ketika melihat
PAGI HARI...Seperti biasa pagi cerah bersinar dari celah jendela luar, namun di pagi kali ini sungguh Ira di manjakan dengan sesuatu hal yang menakjubkan yang mungkin hanya dia dapatkan satu kali seumur hidup. Betapa indahnya wajah pria di hadapannya yang belum terbangun, terpejam diam namun berkarisma, tanpa pernah tahu, ternyata pamannya ini memiliki rahang yang tegas dengan alis yang tampak tebal namun tidak, tampak sangar namun juga tidak, ya begitulah jika tampan maka akan tampan, sulit untuk di jelaskan."Seandainya Paman tidak melarang aku untuk menyukainya, aku akan gas lah, orang tampan begini, sangat sulit untuk di tolak," batin Ira memandangi wajah Lingga tanpa bosan.Tak berselang lama, Ira perlahan pergi sambil menutupi Lingga dengan selimut hingga bahu, gadis itu bersiap untuk pergi memasak seperti biasa.Di sisi lain Lingga yang sejak tadi telah mendahului Ira bangun tengah tersenyum senang, puas sebab Ira memandangi wajahnya dengan begitu lama."Sepertinya aku masih
Dalam keadaan hati yang kacau, Ira merogoh saku celananya berencana memanggil seseorang."Dri, ayo kita bertemu, sepertinya aku sudah baikkan," ucap Ira."Apakah kau benar-benar sembuh?""Ya, aku sangat sembuh, jadi bisakah sekarang kita bertemu?""Baiklah aku akan menunggumu di taman seperti biasa," "Oke, aku akan segera ke sana, sampai jumpa."Meninggalkan sejenak kesedihan beralih melampiaskan kekesalan, Ira keluar dari rumah sakit menuju sebuah tempat yang akan dia tuju.BEBERAPA JAM SEBELUMNYA....Lingga tengah berbincang dengan Samuel tentang perkembangan janin di dalam perut wanita yang tengah sarapan pagi di ranjang sana, setelah mengalami kecelakaan ketika jam kerja."Janinnya baik-baik saja, untuk sementara dia harus di rawat di sini, dan juga jangan terlalu lelah, jika Ibu hamil terlalu lelah itu akan berdampak buruk pada janinnya juga." Samuel menjelaskannya dengan saksama."Baik Om, terima kasih," ucap Lingga sopan, kemudian mendekati Agora.Kaki jenjangnya melangkah men
PAGI HARI...Hari yang suram tiba, undangan pernikahan dari Prof. Antony kini sudah tiba, namun Lingga yang tak sempat berbicara langsung dengan Ira, menyimpan secarik kertas di ruang makan, tempat mereka selalu bertemu, pasalnya kesibukan di perusahaan menjadikan kendala baginya dan juga perasaannya.Ira yang baru terbangun pergi mencari secercah makanan untuk mengisi energi, suatu hal yang jarang di temukan, satu piring roti tersaji dengan sebuah kertas di atasnya.[Sarapan, tak ada apa pun di kulkas, dan malam nanti kau harus memenuhi permintaanku, pakai pakaian yang ku beli waktu itu.] Isi kertas."Dia pergi pagi lagi..." batin Ira merasa kecewa."Setelah membaca isi kertas tersebut, Ira langsung membuangnya, walaupun dia tidak menyukai apa pun yang di masak Lingga, setidaknya roti ini tidak akan seburuk masakan waktu itu, lagi pula perutnya sudah berbunyi sejak tadi, apa pun yang masuk ke dalam perutnya setidaknya akan terasa nikmat.Ira duduk menikmati sarapan "Ini tidak terlalu
!HARAP BIJAK DALAM MEMBACA!Gadis itu meronta ingin segera keluar dari pelukan Pria ini, alhasil yang dia dapatkan malah pelukan yang semakin erat, dengan sentuhan jari jemari lembut yang menjalar ke berbagai arah.Gerakan tangan pria itu masuk hingga ke belakang punggung, membuka sedikit demi sedikit helai kain yang mengganggu aktivitas mereka.Ingin rasanya Ira meronta, namun saat ini kekuatannya telah tersedot habis. Entah mengapa tubuhnya tergemulai pasrah, seakan setuju dengan apa yang Lingga lakukan, mengikuti gerakan Pria itu, larut dalam hasrat yang akan tercurahkah."Hosh...hosh..."Tiba-tiba Lingga mendaratkan ciuman manis di bibir mungil gadis itu, seketika Ira mengaitkan tangannya menerima segala perlakuan pria ini. Permainan malam ini membuatnya hanyut dalam dekapan panas tubuh pria itu."Tolong terima aku.." bisiknya dengan suara menggema, terucap di setiap gerakan.Srek...Lingga melepas satu persatu helai kain, sambil melempar ke sembarang arah, membelai lembut sambil
Kata-kata mendadak itu membuat Ira tersentak menatap Lingga terkejut, Ira terdiam, kondisi hatinya saat ini masih belum tertata, apalagi setelah kejadian kemarin, dirinya belum pulih sepenuhnya, dia perlu waktu sejenak untuk memikirkan hal itu dengan sungguh-sungguh agar keputusan yang dia ambil bukanlah keputusan yang akan dia sesali nanti."Kau menolakku?" tanya Lingga pelan, menggenggam tangan Ira meyakinkan, menatap Ira dengan bola mata jernihnya.Masih tak terdengar ada jawaban, Ira kembali tertunduk diam, dan tentu membuat Lingga hampir merasa putus asa, apakah Lingga terlalu buru-buru mengambil keputusan?Lingga perlahan melepas genggaman tangan yang dia genggam dengan kuat, kesalahan ini memang tidak hanya bisa di selesaikan dengan kemauannya sendiri, menikah pasti bukanlah hal yang mudah bagi wanita yang baru saja merasakan dunia kebebasan, dia terlalu muda untuk melangkah ke dunia menyeramkan itu ketimbang dirinya yang sudah jauh lebih dewasa.Dalam hati yang kecewa, tiba-ti
DI PERUSAHAAN...Kini Ira melangkah berdampingan bersama Lingga menuju ruang kantor pribadi, dengan di iringi Rian tepat di samping mereka.Terdengar beberapa pegawai mulai berbincang ketika Ira datang, beberapa wajah heran penuh tanya kerap dia lihat kala bertemu dengan beberapa pegawai."Jangan hiraukan mereka, ada aku di sampingmu," bisik Lingga meyakinkan.Cukup dengan ucapan singkat saja, Ira sudah merasa tenang, sepertinya kekuatannya kini selalu muncul kala dia bersama Pamannya.Setelah memasuki lift, Rian menekan tombol dengan acak, menuju tempat yang akan di tuju.Kini mereka sudah berada di ruang kantor. Ketika Ira masuk, tiba-tiba sifat kekanak-kanakannya muncul kembali, dia menelaah ke berbagai arah dengan perasaan menggugah seakan belum pernah melihat tempat seperti ini.Di sisi lain Rian yang menyadari situasi dirinya sebagai pengganggu, lantas bergegas pergi, membiarkan mereka menghabiskan waktu berdua bersama menikmati hari.Lingga menatap Ira yang terlihat bahagia, ke
Ira mengangguk kecil sambil menenangkan hati yang tiba-tiba berdebar. "Iya?" tanya Lingga memastikan.Sesaat Ira kebingungan, dia belum menyadari apa yang di katakan Lingga saat itu, beberapa saat dia mencerna kalimat terakhir yang dia dengar, sambil menenangkan diri melawan debaran hati.'Melakukannya?' Kalimat yang sangat ambigu dan penuh akan makna."Iya?" tanya Lingga kembali meyakinkan dengan mata bagai anjing kecil."Eh melakukan ap-" tanya Ira bingung dengan wajah polos. Sementara Lingga malah mengusap tengkuknya, enggan untuk menjelaskan."Melakukan..." Gumam Ira berpikir dan tiba-tiba dia teringat."Apakah yang di maksud Paman malam itu..." Ira langsung berbalik menatap lekat Lingga. Sementara Lingga hanya terdiam seakan menyembunyikan sesuatu.Langsung Ira membelalakkan mata kala dirinya menyadari maksud kata terakhir itu."Tidak-tidak! enggak mau!" Teriak Ira spontan, malu sambil menghindar.Sementara itu Lingga tertegun melihat penolakan Ira yang begitu enggan."Ah...maksu
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan