Malam telah berlalu, Syina duduk termangu di sisi gadis yang tengah tertidur, jelas saja hatinya masih merasa bersalah pada gadis di sampingnya, liburan yang mestinya berjalan seru berbalik sendu.
Ira sedikit membuka mata, dia melihat Syina yang tengah memperhatikannya.
"Syina..."
"Tidurlah, aku akan menjagamu."
"Khmm...bolehkah aku memelukmu?"
"Bodoh," ucap Syina seraya memukul kening Ira pelan, tahu kini Ira tengah menghiburnya.
"Aww sakit..."
Syina hanya melirik Ira yang cemberut kesakitan kemudian menarik selimut berbaring bersama menatap langit-langit.
"Apakah kau tahu orang yang tadi menyelamatkanmu?" ucap Syina.
"Aku melihatnya sedikit, bertubuh gagah berambut hitam dan panjang, itu yang aku lihat."
"Tidak...menurutku dia sedikit mirip denganmu, hanya saja dia lebih putih dan tampan."
"Kau mengejekku ya," timpal Ira menatap intens syina.
"Haha... tidak-tidak kau juga cantik, kalau
Pukul menunjukkan 21.00, Ira terdiam di ranjang seraya memeluk bantal dengan erat, usai berlari menanti Paman, ternyata tidak ada yang dia temui sepi di rumah ini seperti biasa. "Seperti ini lagi," batinnya seraya menenggelamkan wajah di balik bantal. Selama seminggu ini dirinya selalu melewati malam tanpa sedikit pun bunyi, semuanya terasa hampa tanpa ada dirinya. "Aku tak bisa melupakannya." Sementara itu di Aiga Company, Lingga masih setia menatap layar yang menujukan perkembangan saham Aiga Company. "Tuan, jika anda tidak akan pulang saya akan mempersiapkan semuanya," ucap Rian. "Jam berapa sekarang?" "Jam 21.00 tuan." "Kau sudah siapkan mobilnya?" "Sudah tuan." "Tunggu aku di bawah, lima menit lagi aku akan menyusul." "Baik tuan," jawabnya dengan anggukan badan kemudian pergi memenuhi perintah sang tuan. Kini Lingga bisa menghela nafas dengan tenang, Aiga Company sudah kembali pada m
Pukul menunjukkan 13.00 waktu yang tepat untuk gadis itu pulang. Ujian kali ini sungguh memuaskan, walaupun masih ragu, setidaknya taun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ira mulai memasuki gang kecil, menyusuri jalanan di mana kakinya selalu melangkah, perasaan ini terasa lega, usai pertemuan kemarin bersama Lingga, sesekali dia tersenyum aneh melihat tingkah pamannya kemarin malam, sungguh tak bisa di percaya seorang Lingga bersikap lucu seperti waktu itu. Di tengah lamunan, hal yang paling menyebalkan tiba-tiba melintas, dia teringat akan bukti kematian orang tuannya yang bersangkutan dengan sosok Lingga, sekali dia ingat, senyum mengembang itu seakan lenyap tak membekas. Sepanjang perjalanan senyum manis tak terlihat mengembang lagi, sampai titik di mana dirinya berdiri tepat melihat pagar menjulang di hadapannya, dirinya masih tak bisa percaya Lingga pelaku di balik semua itu, jika memang benar, maka yang tersisa hanyalah antara cinta dan kecewa
Hari mulai berganti, sinar matahari pagi memancar dari celah jendela dengan indahnya, membangunkan pria tampan nan gagah dari tidur nyenyaknya.Usai mengerjapkan mata, perlahan pria itu bangun sambil melangkahkan kaki menuju kamar mandi dengan mengenakan sandal tipis diiringi langkah yang panjang.Semburan air terasa begitu nyaman, mengalir di setiap inci tubuh bak pangeran, sesekali dia mengibaskan rambut yang mulai memanjang sambil memijatnya dengan pelan. Tentu siapa yang tak akan tergoda dengan sosok Lingga, orang buta sekali pun akan merasakan betapa berkarismanya dia.
"Ra...kau ingin berlibur denganku?" Sontak saja Ira membulatkan mata kala mendengar tawaran Sang Paman, dari tatapan dan cara bicaranya yang lembut terasa bagai ucapan yang penuh dengan perasaan, padahal hati ini sejak tadi masih terdiam normal, dan saat ini entah mengapa terasa berdetak lebih cepat. "Ikut?," tanya Lingga memastikan. Ira mengangguk dengan senyuman manis mengembang di sudut bibirnya, matanya menyipit tanda setuju yang sulit untuk diucapkan. Setelah beberapa menit berlalu, keduanya kembali pada kesi
Gadis kecil bersiap dengan topi khasnya berjalan dengan sandal tipis berpadu dengan setelan gaun putih lengan pendek yang hanya mencapai bawah lutut, tak lupa dia membawa tas kecil yang berisikan barang-barang penting yang mungkin diperlukan suatu saat nanti. Sementara itu seorang pria jangkung masih setia menunggu di balik pintu menunggu gadis yang tengah bersiap memulai liburan, tak heran bukan? Wanita memang selalu lama jika dalam urusan berdandan. Cklek... Lingga seketika menoleh, gadis itu terlihat begitu cantik, gaun yang dia kenakan sangat cocok melekat di tub
Bagian 44Sambil menunggu Sang Paman menyelesaikan pekerjaannya, Ira berkeliling ruangan, menelaah setiap sudut ruangan dengan pandangannya.Terlihat beberapa fasilitas seperti mantel, handsanitizer , beserta 2 buah parfum dan masih banyak lagi, semua itu Ira coba untuk memuaskan rasa penasarannya bahkan sepasang sandal yang dia temukan pun dia ambil karena begitu licin sangat nyaman untuk dipakai. Setelah puas menelaah, Ira mengambil setelan pakaian yang akan dia kenakan nanti
Setelah beberapa jam berlalu, usai melihat Sang Paman pergi setelah menerima pesan singkat, kini Ira tengah tertegun sambil memeluk kedua lututnya di atas ranjang. "Paman memang agak aneh sih, tapi... kayanya enggak juga," batin Ira bergelut dengan pikirannya sendiri. Semakin waktu berlalu, memang terasa perbedaan-perbedaan dari sikap Sang Paman semakin jelas, akan tetapi apakah itu sebuah tanda ketertarikan atau hanya ilusi saja? Padahal sejak terakhir kali bibir pria itu mengucap penolakan rasa, hati ini sudah perlahan mundur, berusaha menerima kasih dari hati yang pasti tak akan menyakiti seperti ini, tetapi semakin hari, rasa ini entah harus di bawa ke arah mana, selalu berubah-ubah setiap detiknya. Tok...tok...tok... Dentingan suara terdengar dari arah pintu sana, lalu Ira segera bangun melihat siapa di sana. "Hai," ucap seorang Pria berperawakan ideal tampan dan manis berdiri di hadapannya. Setelah melihat perawakan orang ini, Ira langsung teringat pada seseorang, sepertin
Layak Medan pertempuran, mereka hanya beradu dingin satu sama lain, suasana tak menentu kala kehadirannya di sini, sementara itu Ira rasanya ingin menghilang saja dari muka bumi ini."Walaupun aku hanya diam, kok aku merasa tertekan ya," batin Ira tak nyaman.Karena situasi yang sangat mencekam, pria itu memulai sedikit pembicaraan."Bolehkah aku berkenalan denganmu nona?" "Denganku?""Ya, siapa lagi yang pantas aku panggil Nona di sini selain kamu."Yap perbincangan ini, di sisi lain mencairkan suasana juga ikut membakar seseorang."Siapa namamu?""Aku...He-ira Attaya," jawab Ira ragu."Nama yang sangat indah," ucap pria itu dengan nada rayuan. Di sisi lain Ira tengah mengumpat dalam hatinya."Untung saja pria ini tidak mengingatku, ku kira dia akan membicarakan masalah tadi," batin Ira."Tidak kah kau penasaran dengan namaku?" tanya pria tersebut.Ira hanya mengangguk, dirinya memang penasaran, namun melihat raut Paman yang begitu ambigu Ira sedikit ragu untuk berbincang lebih panj
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan