BUGH...
"Ra..."
Sontak Ira terkejut mendapat hentakan di pundaknya. Dia menatap Syina dengan tatapan kosong di sertai wajah tanpa ekspresi.
"Kamu kenapa? Aku dari tadi panggil kamu terus loh."
"Oh...emmm...maaf," jawabnya di sertai lukisan senyum menghawatirkan.
"Eh kamu kenapa, cerita dong."
"Enggak, aku gak apa-apa... ayo kita pulang!" ucapnya seraya menarik tangan Syina, menyeretnya menuju trotoar, jalan mereka pulang.
Di tengah ke bisingan jalanan kota, Ira menatap setiap langkah dengan kosong, ketakutan kian membesar kala bayangan seram menghiasi pikirannya. Sepanjang jalan Syina menyarankan diri menjadi pendengar setia, mereka sudah menjadi teman bukan? Tak ada yang perlu di sembunyikan lagi di antara mereka. Ira sangat ingin mencurahkan segalanya, beribu kata seakan-akan tersengat di tenggorokan seakan detik itu akan tercurah semuanya, entah apa yang dia rasakan saat ini, ada sesuatu yang me
"Paman..." ucap Ira lirih berdiri di awang pintu. Dada ini terasa sesak begitu mendengar hawar janin seorang wanita, cairan bening tiba-tiba mengalir membasahi pipi tanpa di sadari, Syina yang berada di belakang memandang semua kejadian membingungkan ini, sebagai teman Syina perlahan meraih bahu Ira untuk menenangkannya. "Ra, kita duduk dulu," bujuk Syina lembut. Ira tak berkutik sedikit pun, pandangannya tak lepas dari wanita yang terbaring di atas ranjang sana, sementara itu Lingga beranjak menghampiri gadis SMA itu, langkah demi langkah jarak antara dirinya dan gadis itu semakin dekat hingga pada akhirnya satu sama lain menatap dengan tatapan yang sulit untuk di artikan. "Usap air matamu," ucap Lingga, sontak Ira segera menyeka air matanya dengan kasar layak bocah SD yang tak di beri jajan. "Ada apa kau kemari?" tanya Lingga seraya sedikit membungkukkan badan. "Aku...." Jawabnya terbata-bata, dia baru tersadar tangisnya beberapa saat lalu s
DI RUMAH.... Setelah mengantar Syina pulang, Ira dan Lingga bergegas pulang menuju rumah kecil mereka, suasana dalam mobil saat ini sangatlah suram, Ira sempat merasa takut, sedari tadi Lingga hanya fokus menatap jalanan, berkendara tanpa sedikit pun membuka percakapan. "Aku sungguh tidak bisa hidup jika harus terus seperti ini," kutuk Ira dalam hati. Tanpa sadar, saat ini mobil hitam telah terparkir di halaman rumah sederhana, tepatnya milik pria di sampingnya saat ini. Tanpa basa-basi Lingga melangkah menuju dalam rumah, tak bisa di pungkiri saat ini Ira tengah cemas dengan sesuatu yang belum pasti, pikiran gadis itu tengah melayang tak terkendali membayangkan sesuatu hal yang sulit untuk dia genggam. "Bagaimana ini, Paman pasti sedang marah," gerutunya dalam hati. Punggung pria itu sudah semakin jauh dari pandangan, dengan cepat Ira mengikuti langkah pria itu menuju lantai atas. Setelah beberapa langkah Ira merasa sedikit bi
Jam dinding menunjukkan pukul 5 petang, setelah meraih kotak penuh debu itu, lantas Ira membersihkan kemudian membukanya pelan. "Lumayan ni buat calling." Ira membalikkan benda tersebut, tampak raut senang melihat benda itu masih terlihat sangat bagus. "Masih nyala gak ya," gumamnya sembari menepuk-nepuk sebuah ponsel. Setelah menyala, Ira membersihkan kembali kotoran hasil ulahnya. Dengan telaten dia membersihkan hingga tak sedikit pun meninggalkan bekas. "Aku harus memakainya dengan benar," batinnya. "Sudah, aku harus kembali lagi masalah seperti ini aku tak mau urus lagi." Fiolyn dengan santainya kembali menghilang, sudah lama dia tak berurusan dengan Lingga, apalah daya dirinya yang malas mengurus masalah percintaan satu arah ini, dirinya terlalu kesal jika harus melihat tatapan itu penuh ketakutan jika Ira sampai menyukainya. Dengan cepat Fiolyn segera melepas alih tubuh ini. Drtt... "Huh aku kembali." Ira
Kini Adri dan Davian duduk termangu di hadapan Ira dan Bu Nina, tampak merah merona di pipi mereka bagai bunga mawar yang mulai mengembang. "Apa yang kau lakukan Adri, sungguh memalukan," pekiknya dalam hati. Sedangkan di sisi lain Davian tengah mencubit Adri untuk segera membuka suara, kehadiran mereka yang begitu mengejutkan tentu saja mengundang banyak tanya. "Dri cepatlah katakan, itu... yang ingin kamu sampaikan," desak Davian. "Iya-iya," jawabnya dengan wajah kesal, sejenak Adri termangu seolah mempersiapkan diri untuk membuka suara. "Hmm...Bu, Davian minta minum katanya, dia haus," ucap Adri sembarang, sontak saja membuat Davian membelalakkan mata. "Owh Ibu lupa, bentar ya." Dengan langkah pelan, Bu Nina menyusuri lantai keramik menuju dapur. Saat ini tersisa Ira, Adri dan Davian, tampak atmosfer yang berubah kala hilangnya Bu Nina dari tempat ini. "Aku kan tidak secanggung ini dengan mereka," batin Ira merasa he
Sepanjang perjalanan gadis itu termenung merasakan sakitnya dada ini, tak lelah dia menahan cairan yang seakan terjun dari pelupuk matanya, dengan sekuat tenaga Ira mencoba melawan diri menjadi kuat, tekadnya untuk tak cengeng adalah jalan baru yang akan menjadi tujuan langkah selanjutnya. "Lupakan! Tak ada gunanya memikirkan bocah bodoh itu," gerutu Ira dalam hati. Di tengah gerutunya, Ira mendengar samar suara langkah yang mulai mendekat, semakin lama terasa lebih jelas suara yang di hasilkan, seakan terus mengejarnya. "Ra!" Mendengar panggilan itu sontak Ira berjalan lebih cepat, tanpa membalikkan kepala Ira langsung tancap gas berlari sekencang-kencangnya. Usai lari kilat, di sebuah gang kecil yang sepi perlahan gadis itu berhenti seraya membalikkan kepala untuk sekedar memastikan. "Hosh..hosh...untunglah tidak ada siapa-siapa." Usai berlari bagai kilat dirinya tengah mengembalikan detak yang kini masih berpacu dengan cepat.
Setelah meninggalkan sahabat kecilnya itu, Ira melangkah lesu menuju rumah yang tak terasa lagi kehangatannya. Ira menatap lekat rumah yang kerap dia tinggali setiap hari sejak kematian orang tuanya. "Huh..." Ira seketika di landa kekhawatiran yang tak menentu, usai mendengar penjelasan Adri, tak bisa di pungkiri dirinya kini tengah risau menanti penuturan Paman yang sebenarnya, jika di pikirkan kembali memang terasa ada yang janggal dari kematian orang tuannya, tiba-tiba tergeletak tak bernyawa di tengah keramaian apakah itu mungkin? Ya mungkin saja, namun hanya 3-4% saja kemungkinan yang ada. Walaupun pernah sekilas Ira mendengar, kematian itu terjadi karena sebuah kecelakaan tak di sengaja, namun ada pula hawar lain yang mengatakan karena preman jalanan yang sedang memalak. Dari semua hawar yang tak menentu itu, hati gadis itu memilih yakin pada hawar terakhir, pandangannya kala melihat kerusakan yang terjadi terlihat seperti sebuah kesengajaan di rusak de
Selesai menyiapkan segala peralatan yang sekiranya di butuhkan, kini mereka tengah menunggu lift menuju lantai paling atas di hotel ini. Sesampainya di sini, mereka di kejutkan dengan wahana dan fasilitas mewah yang ada, hanya saja banyak dari pengunjung yang datang berasal dari luar negeri, lihat saja pakaian mereka, dengan santainya mereka memakai bikini yang tentu saja menampakkan hampir keseluruhan lekuk tubuh mereka. "Apakah kita cocok dengan tempat seperti ini?" tanya Ira merasa tak pantas. "Aku pun tidak tahu," jawab Syina yang masih tertegun melihat kunampakkan yang ada. "Mungkin berenang bisa kita coret dari daftar rencana." "Itu ide yang bagus, kita harus pergi dari sini secepatnya bukan?" Insting Ira merasa ada hal buruk yang mulai mendekat, rasa tak nyaman itu semakin lama semakin terasa. "Aku juga merasa tak nyaman berada di sini." "Mungkin itu yang membuatmu tak nyaman," ucap Ira, ucapannya tepat mengarah pada sek
Mendengar perhatian Rian tanpa di sadari keluar cairan bening dari pelupuk matanya, tak di sangka seorang Rian yang dingin bagai kutub saja masih bisa peduli kepada wanita kotor seperti dirinya. "Ternyata masih ada orang yang peduli dengan anak ini," batin Agora terharu. Setelah itu Agora kembali tidur menghadap samping seraya menutup diri menyembunyikan tangis yang sengaja dia sembunyikan. Di balik selimut Agora teringat pada masa kelam di mana kehamilan ini tak di inginkan, detik di mana dia bersujud pada seorang pria yang tak pantas di sebut sebagai manusia. Detik itu... "Bram aku hamil!" ucap Agora girang seraya memperlihatkan testpack bergaris dua pada pria yang berada di kursi sana, namun berbeda dengan yang dia rasakan, pria itu malah menatap Agora dengan sorot mematikan. "Gugurkan." Mendengar hal itu, sontak Agora berkerut kening mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Apa kamu bilang?" tanya Agora memastikan.
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan