"Tuan ...," ujarnya tersimpuh jatuh, di hadapannya Deondra tengah duduk di kursi kebesaran.
Sorot mata tajam menatapnya, membuat Arinda menundukkan kepalanya menahan takut.
Tiga pasukan yang membawanya menekan bahunya agar bersimpuh. Lalu beranjak keluar meninggalkannya. Pasukan senior yang diutus untuk menangkapnya, pasukan yang langsung menyeretnya hingga terlempar di depan Sang Tuan Muda seperti saat ini.
Dia terbukti melarikan diri, dengan alasan bahwa dia mengunjungi ayahnya. Pasukan keamanan yang berjaga di lantai tempat ayahnya di rawat seakan tak mampu untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia kasihan dan juga menyesal telah melaporkannya. Alhasil, gadis muda itu di bawa paksa bahkan sebelum tahu kondisi ayahnya yang baru bangun sejak lima bulan koma.
"Puas kau lari dariku?" tanyanya dingin, menatap kepala Arinda yang tengah menunduk.
Sejujurnya saat ini dia masih hangover, hanya saja dia bisa menguasai tubuhnya da
Arinda sampai di halaman setelah berjalan melewati para pegawai di dalam gedung ini. Berselisih dengan seorang wanita berjas dan rok selutut, wajahnya datar menatap Arinda dari atas sampai bawah."Apa?" Arinda bertanya tak senang, saat wanita itu seakan sengaja menghalangi langkahnya.Tatapan mereka beradu, sebelum akhirnya wanita yang terlihat mapan itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan dengan wajah yang berubah menjadi ramah."Selamat, Nona. Anda berhasil memasuki ruangan tertinggi di gedung ini. Anda adalah wanita kedua yang pernah memasukinya setelah Nona Anne," ucapnya sopan, penuh penghargaan.Arinda menyipit, menatapnya malas. Dia melepaskan tautan tangannya yang di jabat wanita itu sambil menghembuskan napas kasar."Aku tak pernah berniat memasukinya, mereka yang memaksaku!" ujarnya, menunjukkan beberapa pasukan yang masih berkeliaran di sekitar halaman."Walaupun begitu, selamat. Saya akan mengant
Lama keduanya berdiam diri dalam keadaan berpelukan. Arinda menahan kantuk yang menyerangnya dengan mengerjabkan mata. Dia mendongak, menatap ayahnya yang seperti sedang tertidur."Tidurlah, Ayah .... Arin janji akan datang lagi, kita akan kemoterapi dan membuat ayah bisa berjalan," gumamnya sambil mengusap pipi ayahnya yang terdapat luka bakar di sana.Luka itu sudah mengering, ayahnya mendapat perawatan dengan baik dari pihak rumah sakit ini. Karena mereka seakan menghargai perjuangannya yang rela melepaskan diri dari kuliah hanya untuk menjadi pelayan. Banyak suster yang membicarakannya, mereka kagum dengan perjuangan Arinda yang jika di lakukan bukanlah suatu yang mudah.Arinda bergerak, bangkit melepaskan pelukannya. Mata ayahnya juga terbuka saat menyadari itu, dia menatap anaknya yang sedang memakai tas."Kamu mau kemana?"Arinda menoleh, tak menyangka bahwa ayahnya bangun. Menatap mata ayahnya, dia menunduk dan
Merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Arinda menatap langit-langit yang masih sama seperti beberapa bulan terakhir. Dia menghela napas, seraya mengarahkan tangannya keatas perut dan mengusapnya pelan. "Apakah kamu memang ada?" Pertanyaan ragu kembali dia lontarkan kesekian kalinya. Sekali lagi wanita itu menghela napasnya berat, seakan menanggung beban yang tak tertahankan. "Jika memang ada, Bunda mohon jangan tunjukkan apapun tentang keberadaanmu pada orang-orang di rumah ini. Ayahmu, Bunda membencinya, Nak .... Dia bukan pria yang bertanggung jawab, buktinya sampai sekarang dia tak pernah meminta maaf," ucapnya dengan air mata yang mulai berurai. "Bunda akan membuatmu hadir ke dunia ini. Mungkin kamu lahir karena kesalahan, mungkin kamu hadir karena kelemahan Bunda. Hanya saja Bunda janji, kelemahan dan kesalahan itu takkan pernah kamu alami." "Bunda dan Kakekmu akan melakukan apapun padamu nanti. Kita akan hidup sederhana saja, di
Seminggu setelah kejadian itu, Arinda tetap tak peduli padanya. Gadis itu semakin menjauh, semakin membentangkan tembok tak kasat mata yang membuat mereka tak bisa bersisian.Seperti malam ini, Deondra menatapnya dari atas hingga bawah. Gadis itu tampak santai untuk berpamitan padanya bahwa dia akan pulang dan tidur di rumahnya. Sebenarnya bukan rumah, melainkan rumah sakit. Di samping tempat tidur ayahnya, gadis itu biasa tidur di sofa seperti malam-malam sebelumnya."Biar aku mengantarmu.""Tidak perlu, anda majikan bukan sopir pribadi saya. Permisi, Tuan Muda."Mereka yang memang berpapasan di ruang tamu membuat gadis itu pamit sebentar. Saat mendengar jawaban Tuan Mudanya barusan, tak ada yang dia katakan selain sebuah kalimat yang semakin membentangkan jarak.Setelah ini, Deondra hanya bisa naik ke kamarnya dan menuju balkon. Dari sana dia bisa melihat tubuh gadis mungil itu timbul tenggelam di kegelapan malam. Sebenarn
Deondra menatapnya dengan menelan ludahnya kasar. "Ya, kau benar. Apapun itu, harapanku adalah itu sebuah keberuntungan yang bisa mendekatkanku padanya."Dia menegakkan tubuhnya, menatap Alrix yang mulai menutup dan menyimpan laptopnya."Coba kau cari tahu, apa yang membuatnya bertingkah aneh seperti itu, Alrix. Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau dia lebih dekat denganmu? Cobalah, ketuk isi kepalanya untuk mencari tahu penyebabnya.""Anda tidak mau melakukannya sendiri, Tuan Muda?""Ya, aku akan melakukannya juga. Kita bergerak bersama-sama. Tapi jangan terlalu mencurigakan, itu bisa membuatnya semakin jauh dan tak akan membuka mulutnya. Kau harus membantuku mencari tahu apa yang membuat gadis itu sedikit menjauh dariku."Alrix mengangguk, dia akan melakuan apapun yang di perintahkan Tuan Mudanya. Selama itu masih normal dan tak menyakiti siapapun, maka tak ada cara lain yang di lakukannya selain memberi dukungan.***
Pagi hari di rumah sakit, Arinda tengah menyuapi ayahnya dengan telaten. Mereka sesekali bicara, tentang kisah dulu, kisah cinta antara ayahnya dengan bundanya, kisah dia yang masuk sekolah dasar pertama kali. Recath bahkan merasakan baru semalam dia memberikan nama untuk putri yang ada di sampingnya ini. Namun, waktu begitu cepat berlalu. Bayi mungil yang selalu menangis, merengek dan manja itu, kini sudah duduk di samping ranjangnya. Dengan menggunakan hampir semua kecantikan ibunya dan juga ketegaran hati miliknya. Bayi mungil yang dulu selalu di timang-timangnya di lengan dengan istrinya yang memberikan dot berisi susu formula di mulutnya itu, kini sudah dewasa dan memiliki takdir hidup yang akan mengantarkannya ke dalam kehidupan yang sebenarnya.Setelah makan, Arinda akan mendengarkan beberapa arahan dokter yang menangani ayahnya untuk kemoterapi dasar. Beberapa hari ini dia selalu membantu ayahnya menggerak-gerakkan tangannya. Semuanya di lakukan perlahan, mengin
"Biar saya bantu."Adinda menahan tangan seorang wanita yang tengah hamil besar. Saat akan dia baru turun dari jembatan penyeberangan, tas wanita yang berjalan di depannya terjatuh. Susah payah dia menggapainya dengan membungkukkan sedikit tubuh karena perutnya yang sudah membesar.Arinda menggapai tas itu dalam posisi jongkok, menepuk debunya lalu bangkit berdiri."Ini Tante," ujarnya sopan, menyerahkan tas itu pada wanita yang menatapnya dalam."Arin?"Arinda menyibak rambutnya, menatap wajah wanita yang sedikit familiar."Arinda Arsymita Davatry? Putri dari Recath Davatry, 'kan?" tanyanya memastikan.Arinda tak langsung menjawab, dia menatap wajah wanita itu sambil berpikir. "Jangan-jangan ini salah satu pengagum Tuan Muda? Sudah dua kali aku di tandainya seperti ini," gumamnya malas."Maaf, Tante siapa, ya?"Wanita itu langsung menggenggam kedua tangan Arinda yang langs
Pukul sepuluh, pertemuan usai. Deondra sudah berjalan menuju ruangannya tanpa mempedulikan Alrix yang mengekor dan heboh sepanjang jalan di belakangnya."Ciee, Tuan Muda! Kapan acara pernikahannya?""Apakah saya perlu menyiapkan acaranya?""Gedung mewah mana yang Tuan pilih untuk menikahinya?""Apakah Tuan akan mengatakannya juga pada Arinda?""Saya di undang 'kan, Tuan?""Tuan! Tuan Muda!"Alrix menahan pintu ruangan yang di tahan Deondra dari dalam. Dia tertawa saat pintu itu tertutup, lalu menyugar rambutnya dan menghela napas."Kalau Arinda tahu Tuan mengaku-ngaku seperti ini. Entah apa yang akan dia lakukan." Mengusap wajahnya, Alrix melangkah pergi, menyelesaikan beberapa urusannya sebelum pulang dan mengadakan pertemuan di rumah Deondra sendiri.Bukan orang sembarangan, empat orang yang akan di bawa Deondra kitu adalah orang-orang yang paling berpengaruh dalam perusahaan milik Tuan Mudanya.
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi