“Berikan tanganmu!”
Keenan mengeluarkan alkohol dan obat-obatan dari nakasnya. Kemudian meminta Gladys untuk memberikan tangannya. Keenan berniat untuk mengobati luka yang ada di tubuh Gladys. Namun sayang dengan cepat Gladys menggeleng. Dia ketakutan, meringkuk sembari menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.
Kesal, akhirnya Keenan langsung menarik paksa salah satu tangan Gladys, dan sukses membuat gadis itu tersentak. Keenan langsung membersihkan luka pada pergelangan tangan Gladys menggunakan alkohol dan kapas. Kemudian dia memberikan obat pada luka-luka itu.
Gladys hanya bisa mengatupkan bibirnya. Perasaannya kini campur aduk. Antara takut, bingung dan heran dengan hal yang sedang dilakukan oleh Keenan. Mengapa laki-laki ini mengobati dirinya? Bukannya dia yang membuat Gladys terluka? Kenapa harus repot-repot?
“Sudah selesai,” ucap Keenan yang baru saja mengobati luka di tubuh Gladys. Gadis itu hanya menelan salivanya, merasa gugup dan takut.
‘Ada apa dengan laki-laki gila ini? Kenapa sikapnya berubah?’
“Sekarang pakai kemeja yang tadi saya berikan!” perintah Keenan lagi.
Gladys tak segera melakukan apa yang Keenan perintah. “Ma-maaf, apa Bapak bisa keluar sebentar?” tanya Gladys ragu. Dia tentu saja tak menginginkan Keenan kembali melihat tubuh polosnya.
Keenan mendelikkan matanya pada Gladys. Mentap gadis itu dengan tatapan menusuk. Kemudian dia langsung mencengkram pipi Gladys. “Jangan pernah menentang perintah saya!” ancamnya.
Nyali Gladys kembali menciut. Jantungnya berdegup kencang. Baru saja dia merasa tenang, tiba-tiba laki-laki itu sudah mengancamnya lagi. Kenapa suasana hati laki-laki itu gampang sekali berubah?
“Ba-baik, Pak.” Menyerah. Akhirnya Gladys menuruti perintah Keenan dan segera mengenakan pakaiannya. Kemeja kebesaran itu bisa menutup tubuh Gladys sampai paha. Tapi tetap saja dia tidak mengenakan pakaian dalam yang membalut daerah sensitif miliknya.
Gladys memungut pakaiannya yang sudah tergunting tak beraturan di atas lantai. Tubuhnya masih gemetar, namun dia berusaha untuk terlihat tegar dan kuat. Sedangkan Keenan masih memandangi gadis itu. Dia melirik arloji yang melingkar di tangannya. Sudah pukul sepuluh malam.
“Biar ku antar pulang,” ucap Keenan tiba-tiba.
Gladys langsung menoleh ke arahnya. Kenapa laki-laki ini? Tadi dia menyiksanya dan sekarang begitu perhatian? Gladys tak ingin terbuai begitu saja. Mungkin ini hanya taktik laki-laki itu. Gladys tak bisa mempercayai laki-laki yang sudah berani menelanjanginya.
“Biar saya pulang sendiri saja,” tolak Gladys sambil menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap Keenan, walau sekarang ekspresi wajahnya sudah tidak semenyeramkan tadi.
Keenan mendengus, lalu menyeringai.“Kamu yakin sanggup pulang sendiri? Lihat penampilanmu!” ucap Keenan seolah menyadarkan Gladys yang berpenampilan … kacau.
Gladys memejamkan matanya. Benar juga apa yang dikatakan Keenan. Jika dia keluyuran dengan penampilan seperti ini; mengenakan kemeja kebesaran dan tanpa dalaman, mungkin banyak orang yang akan berbuat jahat padanya. Ah … Gladys merasa sangat malu sekali. Dia enggan untuk melihat potret dirinya saat ini di depan cermin.
“Cepat! Tidak usah banyak berpikir,” tegas Keenan yang langsung menyambar pergelangan tangan Gladys dan menyeretnya ke luar kamar.
***
Mobil Range Vover kini berhenti di sebuah gang di daerah Kebon Jeruk. Ini daerah kos-kosan padat penduduk. Gladys melepaskan seatbelt-nya dan sedetik kemudian menganggukan kepalanya ke arah Keenan.
“Te-terima kasih,” ucap Gladys. Sebenarnya dia bingung. Apakah dia harus berterima kasih seperti ini?
“Kamu tinggal di sini?” cibir Keenan ketika sampai di daerah seperti ini. Tak mempedulikan ucapan terima kasih yang baru saja keluar dari mulut Gladys.
“Iya. Kalau begitu saya pamit dulu.”
Keenan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tanpa ingin berlama-lama, Gladys segera keluar dari mobil laki-laki itu. Untung saja gang menuju kos-kosannya sepi dan gelap, jarang ada manusia di sana. Jadi Gladys tak perlu mengkhawatirkan penampilannya.
“Permainan ini belum berakhir Gladys,” gumam Keenan yang kemudian diakhiri dengan sebuah seringai licik. Tatapan bengisnya masih melihat ke arah Gladys yang sedikit demi sedikit hilang dari pandangannya.
***
Keesokan harinya Gladys mencoba untuk tidak memikirkan kejadian kemarin. Dia harus bangkit dan kembali menjalankan aktivitasnya. Seolah Gladys tak memiliki waktu untuk bersedih, karena dia harus kembali mengais rezeki demi pengobatan ibunya di kampung halaman.
Gladys datang ke tempat kerjanya dengan menggunakan pakaian seadanya. Mengingat seragam yang kemarin dia gunakan sudah digunting secara brutal oleh Keenan. Dia menghela napas ketika sampai di depan pintu gedung tempatnya bekerja. Feeling-nya, pasti atasannya akan memanggil dan memarahi Gladys hari ini. Karena dia yakin Keenan pasti mengadukannya pada beliau.
“Nok, kemarin habis bersihin rumah gedong ke mana? Kok nggak balik ke sini?” tanya seorang wanita paruh baya pada Gladys yang baru saja datang. Dia adalah Bu Eli, salah satu cleaning service yang lumayan sepuh di sini.
“Oh itu … aku … tiba-tiba pusing dan langsung pulang, Bu,” jawab Gladys beralasan.
“Tapi sekarang udah baikan, Nok?” tanya Bu Eli lagi sambil memastikan kondisi Gladys. Gladys tersenyum canggung sambil menarik lengan kemejanya, mencoba menutup luka pada pergelangan tangannya. Khawatir Bu Eli melihat luka yang ada di pergelangan tangannya itu.
“U-udah kok, Bu,” jawab Gladys mencoba meyakinkan Bu Eli untuk tidak mengkhawatirkannya.
“Syukurlah,” ucap Bu Eli lega. Untung saja wannita paruh baya itu tidak memanjangkan pertanyaannya.
Tak lama kemudian seseorang datang ke ruangan para cleaning service. Seorang perempuan dengan mengenakan kemeja hitam. Dia adalah Indah asisten dari Pak Farhan, atasan Gladys di tempat ini. Perempuan itu membagikan tugas pada semua karyawannya, namun tidak dengan Gladys.
“Bu.” Gladys mengintrupsi dan mengacungkan tangannya. Indah langsung melihat ke arah Gladys dan mengangkat dagunya. “Maaf, Bu. Kenapa saya tidak mendapatkan tugas?” tanya Gladys.
“Kamu Gladys, kan?” tanya Indah mecoba memastikan seseorang yang baru saja bertanya padanya.
Gladys mengangguk cepat.
“Kamu ke ruangan Pak Farhan dulu,” perintah Indah yang kemudian langsung keluar dari ruangan tersebut.
Mendengar ucapan Indah, entah kenapa tubuh Gladys merasa dingin. Dia merasa takut dan khawatir. Bagaimana kalau posisinya di sini terancam? Itu yang sekarang ada di pikirannya. Tapi … dia merasa itu bukan kesalahannya. Memang dia mendapatkan tugas seperti itu, dan dia hanya menjalankan sesuai perintah.
“Tenang, Nok. Mungkin bapak cuman mau nanya keadaan kamu,” ucap Bu Eli mencoba menenangkan Gladys yang tengah dilanda perasaan khawatir.
Gladys hanya mengangguk dan tersenyum canggung. Kemudian dia melangkahkan kakinya untuk menuju ruangan atasanya, Farhan.
TOK. TOK. TOK.
Gladys mengetuk pintu ruangan Farhan pelan. Lalu terdengar suara seorang laki-laki yang mempersilakannya masuk. Tan menunggu lama, Gladys langsung menekan gagang pintu dan masuk ke ruangan tersebut.
“Maaf, Pak. Kata Bu Indah, Bapak memanggil saya?” tanya Gladys dengan rendah hati.
“Oh, iya. Ke sini,” panggil Farhan sambil memberikan isyarat kepada Gladys dengan tangan kanannya.
Gladys kini sudah berdiri tepat di depan meja Farhan. Kemudian laki-laki berumur hampir akhir empat puluhan itu menyodorkan amplop berwarna cokelat padanya. Gadis itu merasa bingung dengan hal tersebut. Kenapa dia diberikan amplop? Apa ini fee untuk pekerjaannya kemarin? Tapi bukannya akan di rapel dengan gaji bulanannya nanti?
“I-ini apa, Pak?” tanya Gladys memberanikan diri.
“Ini upahmu selama bekerja di sini,” jawab Farhan.
‘Selama bekerja di sini? Maksudnya?’
BERSAMBUNG ….
***Terima kasih sudah berkenan mampir ke My Dominant CEO. Jangan lupa baca karyaku yang sudah tamat juga, ya. Judulnya "After The Heartbreak".“Ini upahmu selama bekerja di sini,” jawab Farhan.Gladys menautkan alisnya. Dia mencoba mencerna kalimat yang terucap dari mulut atasannya itu.“Mulai besok kamu tidak usah datang lagi ke sini,” jelas Farhan. Ucapannya itu seolah menegaskan bahwa apa yang baru saja dipikirkan oleh Gladys adalah benar. Dia sepertinya dipecat dari pekerjaannya.“Maksud Bapak apa? Saya dipecat? Kenapa? Apa karena insiden kemarin di rumah Pak Keenan?” cecar Gladys merasa tidak terima dengan pemecatannya.Farhan hanya mengangguk-anggukan kepalanya.“Kok begitu, Pak? Saya rasa, saya tidak melakukan kesalahan. Kemarin saya melakukan sesuai instruksi Bapak. Kenapa saya malah dipecat?” keluhnya dengan nada bicara yang sedikit meninggi. Gladys sedang menuntut keadilan baginya. Hatinya kini merasa sangat kesal dan juga marah.Laki-laki itu beranjak dari kursi kerjanya, lalu berdiri tepat di depan Gladys. Dia memegang ked
Tidak usah ditanya bagaimana perasaan Gladys saat ini. Tentu dia sedang merasa sangat amat terpuruk. Bagaimana tidak? Dalam satu hari dia kehilangan dua pekerjaannya sekaligus. Kali ini dia tidak tahu harus mencari pekerjaan ke mana lagi. “Aku harus bagaimana?” lirih Gladys sambil menyeka air matanya. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia keluarkan beberapa hari terakhir ini. Ini semua gara-gara Keenan! Tiba-tiba hati Gladys bergejolak ketika mengingat wajah laki-laki bengis itu. Ingin rasanya melakukan balas dendam, tapi siapa Gladys? Dia mungkin hanya sebatas plankton, jika dibandinngkan dengan Keenan yang kaya dan memiliki kekuasaan. Mata Gladys terasa berat. Perlahan dia memejamkan matanya. Gladys harus tidur, sejenak melupakan masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Walau saat terbangun, masalah ini tidak dengan tiba-tiba selesai begitu saja. Setidaknya dia beristirahat sejenak dari kejadian yang sudah dia alami dua hari ini.
Gladys membelalakan mata, tatkala melihat laki-laki yang sedang duduk dengan wajah angkuh di depannya. Sudah hampir dua pekan pasca kejadian sial itu, sampai akhirnya dia harus kehilangan pekerjannya. Rekam kejadian pada malam itu masih membekas di otak bahkan hatinya. Tiba-tiba saja Gladys merasa kesal dengan kedatangan laki-laki itu. Apalagi mulutnya yang seolah tak memiliki fitur filter itu, berucap hal yang membuat hati Gladys bagai ditetesi perasan lemon. ‘Apa? Calon gelandangan, katanya?’ Walau dalam hati Gladys kesal, tapi entah kenapa dia tak berani untuk bersuara. Tiba-tiba saja dia mengingat bagaimana ekspresi wajah bengis Keenan, ketika kala itu mengikat dirinya. “Maaf saya harus pergi,” ucap Gladys sambil beranjak. Dia tak ingin berduaan bersama Keenan. Lagi pula, sedang apa dia di sini? Ini bukan tempat yang cocok untuk seorang CEO seperti Keenan. “Memangnya kamu punya tempat tujuan?” tanya Keenan dengan nada mencibir. Tidak! Tent
Harap bijak dalam membaca bab ini.Happy Reading~***Gladys bergeming dengan pupil mata yang bergetar. Oh, tidak! Dia tak ingin diikat lagi oleh Keenan, sama seperti hari itu. Tapi dia juga tak ingin melepaskan baju yang sedang dikenakannya. Seketika Gladys merasa bimbang, tetapi dia harus segera memilih. Jika tidak … Keenan pasti akan menghukumnya. “Ba-baik, akan sa-saya lakukan,” ucap Gladys gagap. Untuk seketika Keenan melepaskan cengkraman pada tangan Gladys, dan gadis itu mencoba membuka bajunya dengan tangan gemetar.Gladys menelan saliva, dia memejamkan matanya untuk menahan rasa malu. Akhirnya baju itu terlepas dari tubuh Gladys dan langsung memperlihatkan kulit putih dan mulus miliknya. Dia enggan untuk bertatapan dengan Keenan. Alhasil dia langsung berjongkok, mengelap lantai yang berceceran dengan kopi yang tumpah.“Berdiri!” perintah Keenan lagi saat Gladys
Harap bijak dalam membaca, ya, kak. Happy Reading~ *** “Berengsek!” umpat Gladys. “Apa katamu? Berengsek? Siapa yang berengsek, hah?” geram Keenan. Berani-beraninya perempuan itu mengumpat pada Keenan. Dia menunjukkan wajah bengis pada Gladys, Keenan tak suka pada perempuan kasar seperti Gladys. “Kamu! Kamu berengsek!” jerit Gladys frustrasi. Plak! Hilang sudah kesabaran Keenan. Dua kali Gladys meneriakinya dengan kata berengsek. Sungguh gadis ini memiliki nyali yang besar. “Oh, aku berengsek? Oke, aku akan membuat kamu menarik kembali umpatanmu padaku. Aku akan membuat kamu merasakan sebuah kenikmatan yang tidak ada duanya,” ucap Keenan sambil menatap intens manik kecokelatan milik Gladys. Sejurus kemudian Keenan membuat sebuah pergerakan. Dia menggerakan pinggulnya maju mundur, terus menerobos milik Gladys yang terasa sangat sempit. Sungguh, Keenan baru merasakan milik wanita sese
‘Apa sih? Bisa-bisanya memuji ketampanan laki-laki berengsek itu!’Gladys merutuki dirinya sendiri dalam hati. Matanya pasti terhalangi kotoran gajah, sampai-sampai terpesona dengan visual yang dimiliki Keenan. Memang benar laki-laki itu sangat tampan. Tapi kalau mengingat kembali bagaimana dia memperlakukan Gladys kemarin dan saat itu, wajah tampannya itu hanya topeng belaka.Ah, sial! Dia mengingat kejadian kemarin di ruang tv. Rasa kesal dan senang tiba-tiba muncul secara bersamaan. Sungguh Gladys tak bisa memahami perasaannya saat ini. Biarlah, Gladys tak ingin memedulikannya. Dia harus fokus dengan apa yang saat ini ada di depan matanya.“Mbak Gladys,” panggil Firman. Pasalnya sedari tadi Gladys hanya diam mematung di tempat.“Eh?” Gladys tersadar dari lamunannya. Dia langsung menoleh ke arah Firman sambil tersenyum canggung.“Mari ikut saya,” ucap Firman lagi. Akhirnya mereka masuk ke sebuah rua
Kesempatan emas ini tentu tak akan Keenan sia-siakan. Pasca tragedi malam itu Keenan tertarik pada Gladys. Apalagi dia selalu membayangkan momen ketika menyiksa Gladys dan momen terakhir yang mereka bedua lewati. Selain itu, karena sebuah fakta bahwa Gladys memiliki hubungan dengan Aidan, menuntut Keenan untuk bisa mengontrol gadis polos ini. “Sudah selesai membacanya?” tanya Keenan dingin. Gladys mengigit kuku ibu jarinya saat membaca tulisan pada kertas perjanjian tersebut. Ini adalah sebuah peraturan dan juga perjanjian yang harus dipatuhi oleh Gladys. Dia membaca tiap poinnya; Pertama, Gladys harus selalu patuh kepada perintah Keenan. Kedua, Gladys harus selalu melapor kemana dia akan pergi. Ketiga, Gladys tak boleh masuk ke ruang kerja Keenan tanpa izin. Keempat, Gladys tidak boleh dekat dengan lelaki mana pun, kecuali Keenan. Kelima, Gladys harus bersedia menjadi boneka yang manis untuk Keenan. Sebentar … masih ada kelanjutannya dari peraturan it
“Mas, ini kopinya,” ucap Gladys sambil memberikan kopi Americano kepada Keenan. Kemudian dia memundurkan langkahnya sambil masih melihat ke arah Keenan. Laki-laki itu sedang membaca lembaran kertas, yang tadi pagi Erza berikan padanya. Wajahnya terlihat sangat serius sekali saat membaca lembar demi lembar kertas tersebut. Entah kenapa dengan tanpa sadar, Gladys menarik sudut bibirnya. Dia tersenyum kecil ketika melihat wajah Keenan yang sedang duduk di kursi kerjanya. Tampan. Keenan benar-benar tampan. Jika dilihat dari sudut Gladys saat ini, laki-laki itu tidak terlihat seperti orang yang jahat juga bengis. Dia seperti orang yang hangat namun keras kepala. Ternyata atasannya ini memiliki sisi seperti ini, ya. Gladys langsung menggeleng cepat. Ah, ada apa dengan matanya ini? Bisa-bisanya dia terpesona dengan visual Keenan. Dia mencoba menyadarkan dirinya sendiri. “Kamu ngapain masih di sini?” tanya Keenan yang menoleh ke arah Gladys. “Eh?” Gla
Delapan belas tahun kemudian.... “Raynald. Selamat atas kelulusanmu, ya,” ucap Gladys pada anak pertamanya itu. Raynald Setyawardhana, anak pertama Gladys dan Keenan itu baru saja melangsungkan kelulusannya di bangku SMA. Walau sebenarnya Raynald berstatus anak angkat, tapi Keenan tak keberatan untuk memberikan nama keluarganya pada Raynald. “Terima kasih, Ma,” balas Raynald. Kemudian dia melihat ke arah ayahnya yang sedang berdiri di samping ibunya. “Hebat. Terima kasih sudah terus berusaha untuk menjadi yang terbaik,” puji Keenan pada Raynald. Gladys dan Keenan benar-benar menyanyangi Raynald seperti anak mereka sendiri. Karena bagaimanapun juga, mereka bisa merasakan perasaan terbuang seperti apa. Jadi, sebisa mungkin mereka selalu memberikan kasih sayang pada Raynald. Mereka pun sengaja tidak memberitahukan siapa Raynald sebenarnya. Karena mereka tidak ingin kehilangan anak laki-lakinya itu. “Rayna ke mana?” tanya Raynald.
“Neng Gladys!” panggil Bi Iyah. Gladys yang sedang membaca buku itu pun menoleh ka arah belakang. “Kenapa, Bi?” tanya Gladys. Bi Iyah menghampiri Gladys. Wajahnya itu terlihat sedang kebingungan. “Neng, ikut dulu sama Bibi, yuk!” pintanya. Tak ingin banyak bertanya, Gladys menutup buku dan menyimpannya di atas meja. Kemudian dia beranjak dan mengikuti Bi Iyah. Mereka keluar rumah dan menuju pos penjaga. “Ada apa?” tanya Gladys lagi. Bi Iyah memberikan kode pada dua orang penjaga. Para penjaga itu juga nampak kebingungan. “Ja-jadi gini, Bu,” ucap seorang penjaga yang bernama Beni. “Tadi saya menemukan ini di depan gerbang.” Beni memperlihatkan sebuah keranjang yang sedari tadi dia sembunyikan di belakang badannya. Gladys mengerutkan alisnya. Kemudian dia melangkah dan mendekat untuk melihat isi dari keranjang itu. Terlihat ada kain yang membungkus sesuatu. Saat Gladys mencoba menyingkap sebagian kain itu, matanya seketik
“ Gladys,” panggil Keenan.Gladys yang sedang melakukan perawatan malam pada wajahnya itu langsung menoleh ke arah Keenan. Suaminya itu sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur sembari memegang tablet miliknya.“Kenapa?” tanya Gladys.“Kalau udah selesai ke sini. Ada yang ingin aku bicarakan,” ucapnya dengan nada serius.Gladys mengangukkan kepalanya, lalu dia segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, Gladys langsung menghampiri Keenan, dan duduk bersandar di samping sang suami.“Ada apa?” tanya Gladys. Dia melihat keseriusan dari wajah laki-laki itu.Keenan langsung mendekatkan dirinya pada Gladys. Kemudian melingkarkan tangannya pada perut sang istri. Memeluk Gladys dengan penuh kehangatan.“Kalau aku minta kamu berhenti kerja, gimana?” tanya Keenan pada istrinya itu.Gladys langsung menoleh ke arah Keenan dengan eskpresi terkejut. “Loh, ke
WARNING CONTENT!Harap bijak dalam membaca~Happy reading~***Melihat Gladys benar-benar ketakutan, Keenan tiba-tiba tertawa. “Hahaha. Kamu masih takut?” tanya Keenan. Dia memundurkan sedikit tubuhnya.Gladys hanya diam, dia merasa bingung. Tidak boleh lega dulu, karena Keenan sering sekali berubah suasana hati.Keenan melirik ke arah Gladys yang masih terlihat tegang. Dia kemudian tertawa lagi, sungguh lucu sekali wajah ketakutan istrinya itu. Kemudian dia langsung mengelus puncak kepala Gladys.“Nggak, Sayang. Aku cuman bercanda. Aku sekarang udah nggak mau melakukan hal itu sama kamu,” ucap Keenan.“Bercanda?” tanya Gladys. Dia masih mencoba meyakinkan dirinya terlebih dahulu.Anggukkan kecil menjadi jawaban dari Keenan untuk pertanyaan Gladys. “Iya, bercanda. Aku nggak akan pecat Reza atau menghukum kamu. Aku cuman bercanda,” terangnya.“Bene
“Kenapa kamu repot-repot bawa aku ke sini, sih?” tanya Gladys. Kini Gladys dan Keenan sedang duduk di teras hotel yang mereka tempati. Sembari menikmati sunrise di Maladewa.“Kenapa memangnya?” tanya Keenan. Dia sedang mengalungkan tangannya di pundak Gladys. Duduk di belakang istrinya sembari memeluknya lembut.“Maksudnya Bali juga sudah cukup. Kita nggak usah jauh-jauh ke sini,” ucap Gladys.Keenan menggeleng. “Aku bosen sama Bali, Sayang. Sekali-kali kita main-main di luar negeri tidak masalah, kan?” Keenan meletakkan dagunya di pundak Gladys.Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Aku jadi nggak enak. Padahal kerjaanmu lagi banyak banget.”“Ssst! Jangan bilang begitu. Sudah jadi kewajibanku buat membahagiakanmu. Apa pun pasti aku lakukan, Gladys. Dan aku juga ingin menebus semua kesalahanku padamu.”“Ssst!” Gladys menempelkan telunjuknya pada bibir Keenan. &l
“Keenan, kalau kamu sibuk, nggak usah repot-repot harus ke luar negeri gini,” ucap Gladys. Dia sedang sibuk mengemas barang-barang pribadi miliknya dan Keenan ke dalam koper.Laki-laki itu mendekat pada istrinya. Kemudian dia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Gladys, memeluk sang istri dari belakang.“Aku nggak sibuk, Sayang. Lagi pula kita kan belum berbulan madu,” timpal Keenan. Laki-laki itu kini mengecup tengkuk Gladys.Seketika Gladys merasa geli dan menghentikkan aktivitasnya. Dia mencoba melepaskan pelukan Keenan dan kemudian berbalik menatap sang suami.“Kemarin, kan, di Bali udah. Lagian kita udah hampir setengah tahun menikah. Masa masih bahas bulan madu segala.”“Itu bukan bulan madu. Kemarin kita ke Bali sambil kerja. Sekarang aku cuman pengin berdua sama kamu. Nggak ada tuh mikirin yang namanya kerjaan.” Keenan mengusap pipi Gladys lembut.Satu bulan setelah mereka menikah
“Mama?” ucap Keenan. Sedetik kemudian Gladys pun dibuat terkejut dengan sosok perempuan yang sedang bersama Giselle. “Ibu?” katanya. “Halo, Keenan dan Gladys,” sapa Anita sambil tersenyum pada kedua anaknya itu. Buru-buru Keenan dan Gladys menghampiri wanita itu. “Mama sudah dengar, kalau selama ini Anita lah yang merawat Gladys. Terima kasih sekali lagi,” kata Giselle pada Anita. Jujur saja, sebenarnya dulu hubungan mereka tak berjalan baik. Bagaimanapun juga Giselle tak suka ketika dimadu oleh suaminya. “Sama-sama. Terima kasih sudah menjaga anakku juga.” Anita tersenyum dan menundukkan kepalanya. “Tapi kenapa Mama bisa di sini?” Keenan tiba-tiba menyela pembicaraan dua wanita itu. “Sejak kapan Mama Giselle tahu keberadaan Mama?” imbuhnya. “Mama tahu dari Excel, dia benar-benar menceritakan semuanya. Makanya Mama mencoba membawa Mamamu ke sini,” jawab Giselle. “Dan mulai hari ini Anita akan tinggal di sini bersama Mama.” Alis
“Sedang apa kalian di sini?” Seorang laki-laki bertanya dengan penuh rasa kecurigaan. Sontak Gladys mematung di hadapan laki-laki itu. Sedangkan Keenan dia berjalan dengan santai, lantas merangkul Gladys.“Sedang makan siang. Ya … ziarah. Untuk apa bertanya begitu?” timpal Keenan kesal.Laki-laki itu mendengus. “Tumben sekali. Biasanya kamu tidak peduli,” balasnya lagi.“Ngomong-omong, setelah kamu berziarah aku tunggu di tempat parkir. Ada yang harus aku bicarakan,” ucap Keenan. Kemudian dia berlalu meninggalkan laki-laki itu menuju parkiran.Ya! Keenan harus menyelesaikan juga masalah dengan Aidan. Rasanya dia juga harus meminta maaf, walau dia tidak mungkin untuk jujur pada laki-laki itu. Namun, dia harus meminta maaf atas kesalah pahamannya selama ini.Keenan dan Gladys menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian mata Keenan menatap sosok Aidan. Lalu dia keluar dari mobil dan menghampirinya.
Sesuai dengan rencana Keenan, pagi ini mereka berdua; Keenan dan Gladys pergi menuju tempat peristirahatan terakhir Andrean, Adrian, dan juga Nathan. Entah kenapa Gladys merasa senang, karena Keenan sudah menyadari kesalahannya. Untuk orang seperti Keenan, tentu itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi dan kalau bisa membuat syukuran.“Loh, kok? Bukannya kita mau ke makam Om Andrean?” tanya Gladys bingung. Pasalnya Keenan kini mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan.“Udah diem aja. Aku yang pegang kemudi, kamu ikut aja,” timpal Keenan. Gladys pun terdiam, dia tiba-tiba memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Keenan berubah pikiran? Laki-laki seperti dia kan tidak bisa ditebak?Namun, saat mobil mereka memasuki sebuah jalanan kecil, Gladys mengerutkan keningnya. Dia mencoba mengintip dari jendela mobil. Jalanan kecil ini seperti akan membawa mereka ke sebuah tempat yang sepi.Benar saja mereka mendatangi sebuah tem