Share

Restui Kami

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2021-05-26 09:15:57

Seharusnya makan siang kali ini benar-benar menyenangkan, penuh dengan tawa dan kehangatan keluarga. Namun tidak demikian, hingga Rubypun menyadari ada yang salah dari keluarganya saat mereka semua duduk melingkari meja makan untuk berkumpul siang ini. Diantara semua anak cucunya yang datang, hanya Astro seorang yang bisa menunjukkan sikap santai di meja makan. Sisanya, terlihat diam dan hanya menanggapi hal seadanya, seperlunya.

Ruby sengaja meminta asisten rumah tangganya untuk memasak sup iga karena ia tahu, kedua cucunya itu biasanya saling berebut jika menu masakan itu sudah tersaji meja. Bahkan dahulu kala, Astro dan Aya tidak jarang makan sepiring berdua dan saling suap untuk menghabiskan sup iga yang ada.

“Aya, kamu itu lagi hamil, jangan malas-malasan gitu makannya.”

Teguran yang dilontarkan oleh Ruby hanya disambut dengan senyum datar oleh sang cucu. Hati Aya cemas tidak terperi, memikirkan Yasa yang mendadak mendiamkannya. Ini memang bukanlah salah

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Junaedi Juna
in your dream ash...!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • My Dearest Cahaya   Kejujuran?

    Daisy yang baru keluar dari pintu setelah mengantarkan Aya ke dalam rumah, melihat Yasa. Pria itu tergesa keluar dan membanting pintu mobil dengan keras. Wajahnya tampak mengeras, jelas sekali terlihat guratan amarah pada maniknya. Buru-buru Daisy menghalanginya. Merentangkan kedua tangan untuk berbicara dengan suami Aya tersebut. Ia hanya ingin memberi Yasa sebuah pengertian dan tidak bebuat hal yang mampu menyakiti perasaan ibu hamil yang terkadang bisa sangat sensitif. Bagaimanapun juga, Daisy sudah menganggap Aya seperti anaknya sendiri, terlebih, ia tidak memiliki seorang anak perempuan dari Bintang. Oleh karena itu, rasa sayang yang diberikannya pada Aya pun sama saja, dengan kedua putranya, meski intensitasnya berbeda. “Mama mau bicara sebentar.” Bibir Yasa terbuka tipis, seolah hendak berdecak, tapi tidak ada satupun suara yang dikeluarkannya. Hanya diam ditempat dan menurut apa kata Daisy. Menghela panjang untuk sejenak. “Jangan terpancing de

    Last Updated : 2021-05-26
  • My Dearest Cahaya   Merindukanmu

    Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun Yasa belum juga menjejakkan kakinya di rumah, sejak pria itu meninggalkan Aya dengan tangisan siang tadi. Telepon yang dilayangkan olehnya pun tidak diangkat oleh Yasa. Aya tahu kalau suaminya tengah online pada salah satu aplikasi chat yang dimilikinya, tapi, pria itu tidak kunjung membuka rentetan pesan dari Aya. Dengan dada yang terhunus sesak, Aya memutuskan keluar dari kamar untuk menunggu suaminya di ruang tengah. Dan sungguh terkejut, Aya mendapati Yasa sudah duduk lelah dengan kepala menengadah menatap langit-langit, di sofa seorang diri. “Kamu sudah pulang?” tanya Aya menghampiri Yasa. Berdiri di hadapannya dengan wajah sedikit kesal. “Aku telpon dari tadi kenapa gak diangkat.” “Aku sibuk.” Yasa melongos, bangkit dan beranjak dari ruang tengah tanpa melihat wajah istrinya sama sekali. Entah mengapa, rasa sakit di hatinya masih saja tertinggal dan tidak mudah untuk dienyahkan. Giliran h

    Last Updated : 2021-05-26
  • My Dearest Cahaya   Terkuak

    Yasa menarik napasdalam-dalam dan membuangnya dengan perlahan. Hari ini adalah hari ulang tahun istrinya dan seharusnya, kemarin mereka akan merayakannya di Bandung. Yasa sudah mengatur semua kejutan yang telah dirancangnya untuk sang istri, tapi semua batal. Rasa sakit karena telah dibohongi masih saja menggerogoti hatinya. Entah bagaimana nanti dirinya akan bersikap ketika makan malam keluarga. Tidak mungkin Yasa akan menghindar, dan kembali pulang larut, ketika Sinar sudah memintanya untuk pulang cepat. Merayakan ulang tahun Aya serta Asa dengan makan malam sederhana. Yasa membuka pintu mobilnya, melempar tas kerja begitu saja pada kursi penumpang di samping kemudi. Lagi-lagi, ia berangkat kerja lebih pagi, untuk menghindari berada satu meja makan untuk sarapan dengan keluarga. Rendra bahkan masih terlihat santai di dalam rumah, belum mengenakan seragam sekolahnya. Tepat ketika tubuhnya sudah duduk sempurna di belakang kemudi, ponselnya berdering singkat.

    Last Updated : 2021-05-27
  • My Dearest Cahaya   Hilang Arah

    Langkah kakinya berjalan gontai. Memasuki koridor demi koridor tanpa arah tujuan. Sesekali terdengar kekehan yang keluar dari bibir polos yang masih saja tampak sensual meski tanpa balutan apapun. Aya hanya ingin mencari jalan keluar. Dalam kebingungan yang mendera otaknya yang tengah kosong, langkahnya sudah berputar entah beberapa kali di tempat yang sama. Sampai akhirnya ia melihat seorang yang pernah dikenalnya. Memakai jas putih dengan sebuah stetoskop yang baru saja dilepas dari lehernya. Aya mengikuti orang tersebut, yang ternyata keluar menuju parkiran. “Hey, kamu!” Yang dipanggil menoleh, menautkan alis melihat gadis yang pernah dilihatnya namun kali nampak kacau. Masih memakai piyama tidur, serta sandal boneka rumahan berwarna putih kebas, karena sudah terkena debu. “Saya?” orang itu menunjuk wajahnya sendiri dan memakai bahasa formal karena masih berada di lingkungan kerjanya. “Iya kamu.” Aya mendekat, sedikit mendongak keti

    Last Updated : 2021-05-27
  • My Dearest Cahaya   Keputusasaan

    Bak orang linglung, Aya berjalan tanpa tujuan. Terus saja melangkah, diteriknya matahari yang siang ini begitu terasa menyengat. Sesekali kakinya berhenti di sebuah halte, untuk sekedar mengistirahatkan tubuh lelahnya. Setelah itu, ia kembali melangkah kemanapun hatinya menginginkan. Sesekali bibirnya bersenandung, seolah tidak ada beban yang tengah menghimpit hidupnya. Berbicara sendiri dan tertawa sesuka hati. Aya hanya ingin melupakan semuanya, melupakan dirinya, melupakan apa yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Sesaat tubuhnya terpaku, menatap restoran cepat saji yang kini tepat berada di depannya. Matanya berbinar melihat spanduk yang terpajang di depan restoran. Tumpukan roti, patty beserta keju yang tampak tebal itu, sangat menggugah selera. Aya seolah lupa, kapan terakhir kali ia menyantapnya. Tanpa ragu kakinya melangkah ke dalam restoran, tidak peduli dengan sindiran ataupun tatapan aneh saat melihat penampilannya. Berdiri di depan mesin kiosk

    Last Updated : 2021-05-28
  • My Dearest Cahaya   Tidak Ada Kesempatan

    Bintang meraup wajahnya berulang-ulang, sangat frustasi saat mendengar penjelasan Elo. Sedangkan Sinar, sudah sesegukan dan bolak-balik mengusap wajahnya dengan tisu. Elo menjelaskan kalau dirinya telah menemui Tara, dokter yang sempat tertangkap CCTV sedang berbicara dengan Aya di lapangan parkir rumah sakit. Tara menjelaskan, bahwa Aya tengah menanyakan mengenai tempat aborsi kepadanya. Entah apa yang menjadi alasan gadis itu hendak menggugurkan bayi yang ada di dalam kandungannya. “Yasa! mana Yasa!” Sinar beranjak dari duduknya dengan menarik tangan Asa. “Antarin Bunda ke rumah sakit! ini semua pasti karena Yasa! kalau sampai ada apa-apa sama Aya dan calon cucuku, Bunda akan bikin perusahaannya jungkir balik dengan cara apapun!” Sinar menjerit dengan mata yang sudah memerah. Keluar rumah dengan terburu dan menggandeng erat tangan Asa. Bintang dan Elo tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah. Karena keduanya pun punya pemikiran yang sama dengan Sina

    Last Updated : 2021-05-28
  • My Dearest Cahaya   Menunggu

    Seorang wanita paruh baya sibuk mondar mandir di depan kamarnya. Bergidik iba, ketika mendengar suara gadis yang terkadang tertawa, dan berbicara sendiri di dalam kamarnya. Merasa cemas sembari menunggu sang suami keluar dari kamar mandi. Decakan kecil kemudian terdengar dari mulut wanita itu, ketika melihat sang suami keluar dari arah dapur dan sudah terlihat segar. “Abah! aduuh, kenapa malah dibawa ke sini? harusnya bawa ke rumah sakit, apa kantor polisi aja sekalian.” Wanita paruh baya yang bernama Isti itu, melayangkan protes pada suaminya. Sang sopir taksi yang seharian ini bersama Aya itu pun, menengok ke dalam kamar. Mengintip dari celah pintu yang hanya terbuka sekitar 10 senti. Menatap iba tapi belum bisa mengambil keputusan apapun. Sepanjang jalan, Aya menceritakan semua kisah hidupnya kepada Rei. Meluapkan semua hal sesak yang selama ini dipendam di dalam dada. Entah gadis itu sadar atau tidak, tapi … Aya mengisahkan semuanya dengan santai.

    Last Updated : 2021-05-29
  • My Dearest Cahaya   Bersembunyi Sejenak

    Rintihan demi rintihan berbisik semakin jelas. Begitupula dengan suara deritan tempat tidur kayu, akibat pergerakan gelisah yang juga ketara. Isti membalikkan tubuhnya kemudian bangkit. Pendaran lampu jalan yang menerpa wajah gadis yang tidur di sampingnya, menunjukkan peluh, dengan mata memejam gelisah. Isti beranjak dari tempat tidurnya untuk menyalakan lampu yang terletak di samping pintu kamar. Menghampiri Aya dan menempelkan telapak tangannya pada wajah cantik yang nampak mengernyit menahan nyeri. Seketika itu juga maniknya membola lebar. Bergegas keluar kamar dan menyalakan lampu. Kemudian membangunkan sang suami yang tidur di sofa, ruang tamu. “Abah!” seruan berkali-kali itu dilontarkan seraya mengguncang tubuh Rei agar segera membuka kelopak matanya. “Si mbak Cahaya, demam tinggi! Abah!” Rei menggumam sejenak. Mengerjab pelan untuk menyesuaikan bias lampu yang masuk ke dalam netra. “Demam?” Isti mengangguk seraya menarik tangan

    Last Updated : 2021-05-29

Latest chapter

  • My Dearest Cahaya   Fin

    Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.

  • My Dearest Cahaya   Dan Hasilnya ...

    Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un

  • My Dearest Cahaya   Sudah Memaafkanmu

    Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud

  • My Dearest Cahaya   Menyelesaikan Semuanya

    Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de

  • My Dearest Cahaya   Meminta Izin

    Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq

  • My Dearest Cahaya   Postnuptial Agreement

    Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be

  • My Dearest Cahaya   Rencana

    Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel

  • My Dearest Cahaya   Hei, Jagoan

    Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s

  • My Dearest Cahaya   Tetes Putih

    Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &

DMCA.com Protection Status