Tepat di saat Aya dan Yasa melepas Abraham dengan lambaian tangan untuk berpisah. Ponsel Aya berdering. Terpampang nama Rajata di sana.
Jantung Aya seketika menghentak cepat. Bukan karena nama Rajata yang muncul di benda pipihnya. Melainkan, apa yang akan disampaikan oleh pria itu kepadanya.
Astro …
Berusaha bersikap tenang di tengah hati yang teraduk-aduk, ternyata cukup susah. Dengan sigap Aya menggeser icon hijaunya, lalu meletakkan ponsel tersebut di telinga.
“Astrophile Kaivan, dia baru aja masuk ke ruang Pak Raden. Kamu mau ke sini?” tanya Rajata di seberang sana. Menunggu jawaban dari Aya yang masih saja termangu tanpa kata.
“Cahaya …”
Aya terkesiap dengan sentuhan lembut Yasa pada bahunya. Pria itu menunjuk ponsel yang masih berada di telinga gadis itu.
“Oh …” seketika Aya paham akan maksud Yasa. Mengembalikan kesadarannya lalu berujar pada Rajata. “Iya, aku ke san
Mobil Yasa berhenti di pekarangan kediaman Pras, tepat di sebelah land rover yang juga baru saja berhenti. Kedua roda empat itu memang datang hampir bersamaan. Sepanjang jalan, Aya hanya terdiam pias. Yasa sampai merasa canggung hendak mengajaknya berbicara.Masalah apa yang terjadi sebenarnya, diantara kedua sepupu itu?Asa terlebih dahulu keluar, dan mengitari bagian depan mobilnya, untuk menghampiri pemilik rubicon yang baru saja keluar dan menutup pintu.“Hei, Bang. Baru balik?” Asa menatap pintu yang bersebrangan dengannya, namun tidak kunjung mendapati adiknya itu keluar dari sana. Ia sudah diberitahu, kalau Aya malam ini pergi makan malam dengan Yasa, untuk bertemu keluarga pria itu.“Aya gak keluar?”Keduanya pernah bertemu dan berkenalan sekilas, saat Aya mengalami kecelakaan dan di rawat di rumah sakit.“Tidur.” jawabnya dengan helaan panjang.Asa mengangguk-angguk, lalu berdecak kecil kar
Pras dan Sinar yang berada santai di balkon, kompak mengerutkan dahi saat melihat mobil Yasa masuk ke perkarangan rumah. Yasa memarkirkan mobilnya tepat di samping land rover milik Asa. Posisinya tepat seperti semalam saat mereka bertemu.“Ahh, calon mantu datang.” Sinar berceletuk tapi bibirnya menyebik menatap Pras. “Kalau diinget-inget, dulu itu malah lebih banyak aku datangin kamu ya, daripada kamu datang ke rumahku.”“Gak usah di inget-inget, toh sudah punya buntut 3.”“Ich, kamu itu, dari dulu nyebelin, tau gak.”“Nyebelin tapi mau aja dinikahin. Jujur aja, dari awal, kamu itu memang sudah suka sama aku.”“Gak ya! siapa yang mau sama kamu, ganteng sih iya, tapi attitudemu itu bikin sebel!”Perdebatan kecil seperti itu dari dulu sampai sekarang, masih saja selalu ada.Pras kemudian menghela begitu panjang. “Aku harap, Aya ada di tangan yang tepat. Karen
“Wah, curang ini sih, ada yang bawa gandengan di mari.” protes salah satu teman SMA Yasa yang bernama Tara. Pria itu baru saja datang seorang diri, terlambat karena harus menangani sebuah operasi.“Gak usah lebay,” balas Vitor yang juga membawa sang istri, ke pertemuan yang hanya dihadiri oleh enam orang tersebut. “Cuma Yasa sama gue yang bawa gandengan, yang lain pada merana, sama kayak lo.”“Ya ngomong kek, gue kan bisa nyewa dedek gemesh buat dibawa.” Tara menari kursi yang melingkari sebuah meja bundar. Pria itu duduk, berada diantara Vitor dan Andara, yang sedari tadi hanya menekuk wajah.“Bacot, lo, Tar! Diatur!” hardik Vitor lagi.Dari dulu, Yasa memang malas untuk meladeni Tara. Karena kalau diteruskan, tidak akan ada habisnya.“Karena sudah ngumpul, gue cuma mau ngasih tahu, tanggal 21 gue nikah. Dan lo semua harus datang.”Seketika Tara mencondongkan tubuh untu
“Aku pinjam baju sama celana, training kalau ada, piyama juga boleh.”Aya langsung merangsek masuk ke apartement Yasa sambil memeluk tubuh basahnya. Menggigil, karena seluruh pakaiannya basah terkena deraian hujan, yang masih saja terhempas membasahi malam.Pantas saja, Yasa tidak mau memberhentikan motornya. Ternyata, apartemen milik pria itu tidak terlalu jauh, dari restoran tempat diadakan reuni beberapa saat yang lalu. Yasa berencana untuk mengganti motornya dengan mobil. Tapi, apa mau dikata, ternyata keduanya basah dan lebih baik singgah sebentar untuk mengganti pakaian.“Ikut aku.” pinta Yasa. Pria yang juga sama basahnya dengan Aya itu, melangkah menuju sebuah kamar, yang diyakini Aya adalah kamar milik Yasa.Yasa memasuki walk ini closet dan mengambilkan sebuah kaos, juga celana training yang biasa dipakainya untuk pergi ke tempat fitness. Tidak lupa dengan sebuah handuk, yang juga ia serahkan pada gadis itu.&ldquo
“Acaranya kenapa di rumah? Keluarga Yasa itu kan punya hotel, Pak Kaisar juga, kenapa gak di sana aja acaranya, Ay?”Ruby melayangkan protesnya, ketika Aya menyampaikan rencana pernikahan yang tidak terduga dalam waktu dekat. Awalnya, Ruby curiga tentang pernikahan yang dirasa terlalu mendadak. Namun, setelah Aya menceritakan semua hal, dengan sedikit kebohongan yang tentu saja tidak bisa diceritakan, maka Ruby percaya.Sebelum kecelakaan terjadi, Aya memang telah mengenal dengan Yasa. Aya mengatakan bahwa mereka sempat menjalin sebuah hubungan, namun ada masalah di tengah jalan. Itulah mengapa, saat makan siang bersama Bintang, Aya terlihat sangat tidak ramah kepada Yasa.“Kalau di hotel, nanti nyusahin papi. Harus ngurus izin segala macam, pasti dijaga ketat, dan waktu kumpul-kumpul sama keluarga juga terbatas, Nek. Lagian, rumah itu juga halamannya luas banget, cukup ajalah buat ijab terus lanjut resepsi.”“Tamu Pak Kaisar
“SIP!” teriak Asa. “Sekarang, coba nyebur.”“Nyebur?” Aya melepas genggaman tangan Yasa, yang sedari tadi terus saja menempel kepadanya. “Kok gak bilang kalau pake nyebur segala? Aku gak bawa baju ganti.”“Baju yang dipake buat foto di kamar nanti, kan, ada?”“Bajunya ada, dalemannya yang gak ada!”Nando yang sedari tadi melihat pengambilan foto prewed Yasa dan Aya akhirnya tergelak. “Dulu, waktu kamu masih kecil, gak pake daleman juga nyante, Ay.”Dengan sebal Aya melepas satu kitten heelnya lalu melemparnya pada Nando.Pria itu, sigap menghindar, masih diikuti tawa jahilnya. Otak Nando tiba-tiba tidak bisa diatur, hingga membayangkan lekuk tubuh polos Aya, tanpa menggunakan apapun, berbalut kemejanya.Buru-buru ia menggeleng, gadis itu sudah dianggap sebagai adik olehnya. Jadi tidak sepatutnya memikirkan Aya dalam keadaan tidak sopan seperti itu.
“SAH!”Dan, detik itu juga Aya sadar, kalau kehidupannya mulai saat ini, akan benar-benar berubah. Ia sudah tidak bisa bebas bertindak semaunya seperti dahulu kala. Ada sang suami yang kini bertanggung jawab penuh atas dirinya. Suami yang dinikahinya karena sebuah kesepakatan bisnis, meskipun Sinar dan Pras tidak pernah memaksa Aya untuk melakukannya.Demi Zamaryn agar tetap berada di poros keluarganya, dan memikirkan seluruh ucapan sang bunda tentang pernikahan. Aya akhirnya berani mengambil keputusan untuk mengarungi bahtera hidup bersama Yasa. Toh, sikap Yasa selama ini sangat bersungguh-sungguh kepada Aya. Pria itu juga dapat menerima Aya dengan segala kekurangannya.Lalu tentang Bintang, hati Aya masih berkeras, untuk tidak bertegur sapa sebagai seorang anak seperti dahulu kala. Sakit hatinya terlalu dalam, karena sang papa tidak menaruh kepercayaan sedikitpun padanya. Ayapun menolak dengan tegas ketika sang papa memintanya untuk berbicara berdu
Selesai sudah!Seluruh prosesi pernikahan mewah yang dihadiri tamu dari berbagai kalangan penting, benar-benar telah usai. Menyisakan sepasang suami istri, yang sudah bergelimpangan di atas tempat tidur pengantin bertabur bunga mawar dengan wajah lelah.Selama resepsi berlangsung, ada dua orang pria yang selalu memperhatikan setiap gerak-gerik Aya di pelaminan.Ada Bintang dengan wajah penuh sesal, karena tidak bisa mendampingi putri satu-satunya. Padahal, dulu ia pernah berkata akan selalu membahagiakan putri satu-satunya itu. Bintang berjanji tidak akan mengecewakan Aya, seperti ia mengecewakan Sinar dahulu kala. Kenyataannya, ia sudah membuat hati sang putri patah karenanya.Serta Astro yang datang berdua dengan Aster. Entah mengapa Aya tidak melihat kehadiran Zetta sama sekali. Hanya ada Zevan dan Melati yang menghadiri pernikahannya.Hah! Wanita itu pasti tengah bersedih karena pada akhirnya, Aya-lah yang lebih dulu melangsungkan pernikahan. S
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &