Setelah memasuki kamarnya, Aya merangkak pelan menuju ranjang. Kemudian menjatuhkan dirinya dengan lembut di atas sana, bertelungkup. Menghirup dalam-dalam aroma tempat tidur kesayangannya, yang memang sudah jarang ia tempati ketika sudah mulai bekerja di Metro.
“Puas-puasin.” Yasa ikut menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, di sisi istrinya. “Sebentar lagi, gak bakal bisa tengkurap.”
Aya yang awalnya tidak mengerti dengan maksud ucapan dari sang suami, akhirnya terkekeh geli. Membayangkan perutnya yang membola dan tidak bisa lagi bertelungkup. Sebuah kenikmatan yang belum tentu bisa dialami setiap perempuan. Aya cukup beruntung, karena tidak perlu menunggu lama, untuk mendapatkan sebuah anugrah yang tidak ternilai harganya. Kalau mendengar cerita sang bunga, dahulu kala, Sinar harus menunggu selama satu tahun, barulah bisa mendapatkan Asa.
“Tapi, perutku kok belum gede-gede ya? kan udah 2 bulan.” Aya membalik tubuhnya, bertelentang. Tangannya mengusap pelan
Zetta terdiam merasa bersalah, terpojok dengan semua ucapan dan tuduhan yang dilempar oleh Astro kepadanya. Jadi, karena itukah selama ini Astro menghindarinya? Mereka memang kerap bertengkar saat itu. Tapi menurut Zetta, hal itu tidak cukup kuat digunakan sebagai alasan untuk tidak melanjutkan pernikahan mereka. Seharusnya, semua bisa dibicarakan lagi baik-baik, dari hati ke hati. Tidak langsung mengambil keputusan secara sepihak seperti saat ini. “Kalian masih bisa memperbaiki hubungan yang ada.” Melati berujar dengan tangan yang tersampir di atas paha Zevan, sedikit merematnya karena gelisah. Meskipun konteksnya berbeda, tapi Melati bisa mengerti perasaan putrinya saat ini. Ditinggal sang kekasih ketika sudah merencanakan sebuah pernikahan, itu tidaklah mudah. Apalagi, hubungan yang terjalin sudah masuk hitungan tahun. Melati juga pernah merasakannya, dahulu kala. Dan, ia tidak ingin Zetta mengalami hal yang sama dengan dirinya. Apapun yang terjadi, putri
Tubuh Aya menggeliat kecil, kemudian meregan dengan puas. Sementara, bulu mata lentik itu terbuka dengan perlahan. Kamar yang ditempatinya masih tampak gelap, namun Aya tidak merasakan ada tangan yang mendekap erat tubuhnya seperti biasa. Hanya ada sehelai selimut yang membalut tubuh yang tidak memakai sehelai benangpun. Aya membalik tubuh dengan helaan. Mendapati satu sisi ranjang yang ditempatinya ternyata kosong. Tubuhnya bangkit terduduk terlebih dahulu kemudian menyalakan lampu tidur yang berada di nakas. Melihat samar pada jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 1 dini hari. Pergi ke mana suaminya di dini hari seperti ini? Kedua kaki telanjang akhirnya turun dari ranjang. Memakai sendal boneka rumahan berwarna orange. Memungut kimono tidur yang tergeletak di lantai, kemudian memakainya untuk menutupi tubuh yang masih polos. Aya memutuskan keluar dari kamar dalam diam. Tidak memanggil nama sang suami sama sekali. Maniknya mengedar pada ruang ap
Paginya, giliran Yasa yang terbangun tanpa merasakan tubuh sang istri di pelukannya. Tanpa harus menunggu lagi, ia menyinkap selimut dengan cepat, lalu bangkit dari tempat tidur. Berjalan menuju kamar mandi dalam keadaan yang masih polos. Mendapati kekosongan di dalam sana, Yasa mengambil celana pendek yang tergeletak di lantai dan memakainya. Pergi keluar dan menemukan sang istri tengah duduk bersila di depan televisi, dengan semangkuk sereal di tangannya. “Sudah mandi, Ay?” Kenapa harus pertanyaan itu yang pertama kali ditanyakan oleh suaminya? Hidung Ayapun mengernyit dengan dengusan tajam. Menoleh pada sang suami yang sudah menjatuhkan tubuhnya di samping Aya. Bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, yang ia yakini tanpa memakai apapun lagi di dalamnya. “Kenapa gak mandi dulu, malah ke sini, pake dempet-dempet. Bau tauuk! Jauh sana! Entar aku muntah.” Yasa menyerah dengan hormon kehamilan Aya yang menuntutnya agar selalu mandi. Tapi,
Setelah berbicara dengan cepat untuk mengintrogasi Nando di luar warung. Aya kembali masuk, melirik pada Zetta sekilas lalu merasa iba. Ia kemudian duduk di samping Yasa yang sudah menunggunya dengan dua piring nasi pecel yang sudah tersaji di meja.“Pacarnya bang Nando?” tanya Yasa melihat kebelakang sebentar melalui pundaknya. “Itu cewek yang waktu itu kan ya?”“Bentar …” Aya menelan makananya sejenak. “Kamu, gak pernah ketemu sama anaknya Om Zevan? Mantan asisten opa Abraham?”Yasa menggeleng kecil dua kali. “Cuma tahu namanya, kalau ketemu kayaknya gak pernah. Kenapa?”“Ya, itu! anaknya om Zevan, yang lagi sama bang Nando.”“Zetta?”Aya menjawab dengan gumaman, sembari mengangguk, karena mulutnya yang menggembung penuh. Tidak dipungkiri kalau ada rasa sedih bercampur iba ketika mengingat Zetta. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menja
Bibir Aya mengerucut miring. Bosan menunggu sang suami yang tengah berdiskusi panjang, mengenai arus kas restoran, tempat Yasa menanamkan modal. Mulutnya sudah menguap hingga beberapa kali, karena sudah terlalu lama hanya duduk diam di sofa.Akhirnya, Aya bangkit dan meminta izin untuk berjala-jalan di sekitaran balkon restoran, yang kerap dijadikan spot untuk mengabadikan momen bagi para pengunjung di sana.Belum ada lima menit ia berada di balkon, matanya sudah kembali segar. Dinginnya udara malam tidak mempengaruhin raganya, untuk menyusuri beberapa spot, untuk sekedar melihat beberapa pengunjung, yang asyik mengambil gambar melalui ponsel mereka.“Bisa kita bicara.”Aya membalik tubuhnya cepat. Membeku melihat pria yang hanya berjarak dua jengkal dari tempatnya berdiri. Sedikit mendongak untuk mempertemukan kedua manik kelamnya, dengan tatapan teduh yang masih bersemayam di dalam hati. Mengapa jantungnya, masih saja beriak tidak menentu, s
Tangan Aya baru saja hendak meraih handle pintu untuk membukanya, tapi Yasa sudah lebih dahulu menariknya dari dalam.“Aku baru mau nyusul kamu,” kata Yasa dan terlihat Vitor berada di belakangnya.“Udah belum sih? Aku ngantuk.” Aya memberengut sembari menggaruk bagian belakang kepalanya, untuk mengalihkan sebuah rasa gelisah yang mendera di dalam dada. Ucapan Astro mengenai Pras sungguh mengganggu pikirannya.Ditatapnya wajah Aya yang sedikit berbeda, tampak kesal dan memendam sebuah perasaan yang tidak mampu Yasa terjemahkan. Pasti hormon ibu hamilnya sedang bereaksi berlebihan, pikir Yasa.“Ini sudah selesai,” ucap Yasa, menggamit jemari istrinya lalu berpamitan pada Vitor untuk segera pulang. Keduanya menuruni tangga dengan hati-hati. Yasa tidak ingin istrinya terpelesat dan berakhir tragis seperti di sinetron yang kerap ditonton oleh ibu tirinya.“Mau langsung pulang atau mau cari makan apaa gitu?&rdqu
Terhitung sudah tiga hari Aya mendiamkan sang bunda. Bukan hanya Sinar yang didiamkannya tapi juga Bintang. Aya tidak pernah mengangkat ataupun membalas chat yang dikirimkan oleh sang papa kepadanya. Hatinya masih saja tidak bisa terima dengan sikap para orang tua di masa lalu. Mereka yang bermasalah, tapi anak yang terkena imbasnya seperti ini. Aya merasa ada pergerakan di ranjang yang tengah ia tiduri. Tidak lama, satu tangan besar telah melingkar dan jatuh di atas perutnya. Mengusap lembut dengan gerakan naik turun seirama. Sepertinya, Yasa sudah selesai dengan semua pekerjaannya. “Kamu lagi ada masalah sama bunda?” Yasa menyingkirkan surai ikal milik sang istri agar bisa lebih leluasa bersembunyi di ceruk lehernya. “Biasa, ibu sama anak itu, kadang selisih paham. Entar juga baikan lagi.” namun, tatapannya menerawang lurus memikirkan nasib hidupnya yang seperti saat ini. Hanya ada pengandaian yang tercipta dibalik setiap kata. Baik Astro dan diriny
Ponsel Aya yang berada di atas meja rias, berbunyi singkat. Yasa yang tengah sibuk mengancingkan kemejanya membalik tubuh. Menghampiri dengan cepat kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan, bagai pencuri yang takut tertangkap tangan. Aya memang ada di luar kamar. Mengeluh perutnya sudah sangat lapar dan ingin sarapan lebih dahulu, ketika Yasa masih berada di dalam kamar mandi. Tapi, tetap saja, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat saat meraih ponsel sang istri lalu menyalakannya. Lagi-lagi, Yasa melihat notifikasi sebuah e-mail dari Astro. Apa mau pria itu sebenarnya? Yasa baru hendak membuka ponsel milik istrinya, namun diurungkan. Handle pintu kamarnya berbunyi dan terlihat mengayun ke bawah. Jantungnya berdegup riuh, meletakkan ponsel Aya dengan cepat kemudian segera berdiri di samping ranjang. Menghela cepat, membuang kegugupan yang mendera. Ia tidak ingin dianggap sebagai suami yang terlalu over posesive maupun protektif pada istrinya.
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &