Arnold baru saja selesai mandi ketika mendapati iPhone miliknya yang tergeletak di kasur berdering begitu nyaring. Ia mengerutkan keningnya, siapa sih menelepon dia di saat moodnya tidak baik seperti ini? Ah ... Arnold mengumpat dalam hati, ia bergegas meraih ponsel itu dan terbelalak ketika mendapati sang papa tengah menelepon dirinya.
"Hallo, gimana, Pi?" tanya Arnold malas, kalau menelepon cuma buat ngomel-ngomel, habis ini Arnold mau pura-pura sakit perut saja, bodoh amat lah sama papanya,biarlah dia ngamuk sekalian.
"Dirly mau magang di sana, sudah kamu urus?"
Ah ... jadi menelepon cuma karena hendak menanyakan si kumpret satu itu? Arnold kira karena apa. Arnold menghela nafas panjang, bisa tenang lah dia kalau begini.
"Sudah, Pi. Jangan khawatir, semuanya beres kalau soal kumpret satu itu."
Arnold melempar handuknya ke atas ranjang, menjatuhkan diri ke atas kasur sambil menyimak entah apa lagi yang hendak papinya itu sampaikan kepadanya. Semo
Arnold membawa mobilnya dengan gusar, satu-satunya tempat yang ingin dia kunjungi saat ini adalah apartemen si kunyuk Dirly itu. Berharap Kunyuk itu tidak kemana-mana dan sedia beberapa botol alkohol di kulkas apartemennya. Hanya itulah yang Arnold perlukan malam ini.Air matanya menitik, sejak dulu sekali, sejak bahkan dia masih remaja, ia sama sekali tidak pernah tertarik pada sosok Scarletta. Sama sekali tidak pernah, dan sekarang dia harus menikahi gadis itu? Gila, yang benar saja!Mungkin Arnold masih bisa menerima dan survive dengan kehidupan yang ia jalani sekarang, tapi untuk menikahi Scarletta? Ah ... tidak! Semua ini tidak boleh terjadi! Ia harus mencari cara bagaimana supaya semua perjodohan ini tidak terjadi, supanya ia tidak harus menikahi gadis itu dan bagaimana caranya supaya ia bisa mendapatkan Sisca dan memiliki gadis itu, menikahinya kalau perlu.“Gue nggak akan biarkan semua itu terjadi, dan elu Sis ... elu harus jadi milik gue bagaimana
“Sudah?” sindir Dirly dengan wajah memerah, kepalanya mendadak pusing karena menahan gairahnya sejak tadi, terlebih teriakan-teriakan Franda yang tengah ‘dihajar’ Arnold tadi begitu merdu dan makin membuat sesuatu di dalam Dirly meronta-ronta luar biasa.“Sudah, mau lu pake? Tepar dia,” jawab Arnold santai kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa, wajahnya tampak lebih segar dengan rambut yang masih basah itu.“Sorry, gue pilih cari yang lain lagi daripada pake bekas elu,” Dirly masih fokus pada layar televisi, tangannya masin menekan-nekan stick PS, meluapkan kekesalannya dengan terus menekan-nekan tombol stick di tangannya.Arnold menyandarkan tubuhnya di sofa. Rasanya tubuhnya enteng dan ringan seketika, pusingnya hilang. Meskipun rasa jengkel dan kesalnya pada sang papa masih ada. Dirly melirik sekilas ke arah sepupunya itu. Ada pertanyaan menggelitik yang ingin dia tanyakan.“Lu udah berapa lama ngga
“Sepupu lu kenapa sih? Kok ngamuk mulu? Sampe pusing pala gue, Dir,” bisik Sisca ketika Dirly secara kebetulan masuk ke ruangan Arnold sambil membawa beberapa berkas yang diminta direktur utama itu.Dirly menghela nafas panjang, ia menatap Sisca dengan seksama.Nggak salah sih kalau Arnold sampai jatuh hati pada gadis satu ini. Matanya begitu jernih dengan bulu mata lentik. Kulitnya putih bersih, dengan hidung mancung dan bibir berisi yang hari ini tersapu lipstick warna merah tipis. Ah ... belum lagi body Sisca juga cukup lumayan. Memang selera Arnold tidak diragukan lagi.“Gue cerita tapi jangan di sini,” ia melirik kamar mandi ruangan itu yang masih tertutup, yang artinya Arnold masih di dalam sana.“Terus?” tanya Sica tidak mengerti.Pasalnya sudah hampir tiga minggu ini suasana hati bos itu amburadul. Nggak di rumah, nggak di kantor dia selalu marah-marah terus, ngamuk nggak jelas dan bungkam seribu bahasa. Jika ala
“Gini ... Dua hari lagi gue balik ke Jakarta, dua mingguan lah nanti di sana. Lu bantu Dirly urusin pekerjaan di sini, bantuin Jelita juga ya.” Sisca mengangkat wajahnya, menatap Arnold yang masih tampak gusar itu. Ah ... dia lupa, dua hari lagi sudah ganti bulan, kan? Dan diharuskan pulang ke Jakarta untuk menyambut dan membahas perihal perjodohannya dengan anak konglomerat lulusan luar negeri itu. “Ba-baik, Bos.” Jawab Sisca sambil tersenyum. “Baek-baek lu selama gue balik, awas kemakan gombalan Dirly, gue udah bilang, kan, kalau dia itu buaya kelas kakap,” desis Arnold kemudian pura-pura membuka laptop dan serius dengan benda di hadapannya itu, padahal Sisca tahu betul itu laptop baterainya habis, chargernya rusak, jadi apa yang Arnold perhatikan? “Iya paham, Bos.” Sisca kembali hanya mengalah, sia-sia juga banyak bicara ketika suasana hati bosnya itu tengah begitu buruk. Arnold tampak melirik sekilas, ia menatap Sisca yang nampak men
“Hati-hati lu, siapa tahu sampai sana disuruh langsung kawin!” seloroh Dirly ketika ia mengantar Arnold ke bandara pagi ini.Sontak Arnold menjitak kepala sepupunya itu. Kurang ajar bener sih? Ni anak kenapa makin lama makin ngelunjak? Arnold mendengus kesal. Kenapa juga hari gini masih ada aja praktek perjodohan? Sosial media banyak, Man! Bukan macam dulu yang mana alat komunikasi Cuma kentongan sama surat menyurat, jadi susah mau kenalan sama banyak orang dan harus dijodohin. Kalau sekarang? Download aja T*nder, dijamin jangan kan jodoh, teman kencan semalam pun bisa dengan mudah di dapatkan.“Awas lu macem-macem sama Sisca, gue punya banyak mata-mata di sini,” ancam Arnold pada Dirly.Masalahnya kunyuk satu ini lebih bahaya dan buaya daripada dirinya. Rekor paling kurang ajar orang satu ini pernah sehari ganti partner sex sampai tiga kali! Edan, kan? Arnold saja kalah. Bagaimana kemudian dia tidak khawatir pada Sisca-nya?Eh ...
Gadis dengan rambut cokelat tanah itu tengah berbaring sambil menikmati pijatan dari terapis spa yang khusus ia panggil ke rumah demi menyempurnakan penampilannya yang hendak dipertemukan dengan putra sulung klan Argadana itu.Ya ... kepulangannya ke Indonesia kali ini sedikit spesial karena ia dijadwalkan hendak bertemu dengan sesosok pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah calon suaminya di masa depan. Scarletta sama sekali tidak menolak perjodohan ini karena disamping Sosok Arnold Argadana itu laksana Dewa Hermes, yang pesonannya sudah terkenal luar biasa, ketampanan sosok itu sudah tersiar sampai mana-mana, jangan lupakan bahwa dia adalah anak sulung dan perwaris dari Argadana Group.Ia tengah menikmati pijatan-pijatan itu ketika kemudian pintu kamarnya terbuka, nampak Maia, sang mama masuk ke dalam kamar dan melangkah mendekati sang puteri yang tengah menikmati pijatan terapis.“Ta, nanti malam siap?” tanya Maia sambil mengelus punggun
Sepeninggal Dirly, Sisca tertegun di sofa yang ada di ruangan sang big boss. Ia memikirkan obrolan yang tadi terjadi antara dia dan sepupu dari Arnold itu. Apakah kemudian memutuskan Rizal dan jujur perihal perasaan yang dia punya untuk Arnold adalah hal yang tepat dan baik?Namun jika mengingat bahwa apa yang dikatakan Dirly perihal ia yang begitu kejam menjadikan Rizal hanya sebagai tameng dan alasan untuk menolak dan membohongi perasaan yang ia punya untuk Arnold, rasanya benar bahwa Sisca harus melakukan hal itu.Tapi apakah Sisca sanggup?Ahh ... sungguh semua ini begitu rumit. Sisca melirik jam dinding, sudah pukul empat, satu jam lagi ia harus sudah pulang. Sudah waktunya pulang, bukan? Dan karena bos soplak itu sedang keluar kota, jadi Sisca bisa langsung tidur setelah ini, tanpa pusing harus mengurusi segala macam keperluan orang itu di rumah.Ia hendak bangkit ketika ponselnya berdering, ah ... panjang umur sekali sih anak ini? Baru saja dibahas
Arnold kini sudah berada di dalam sebuah kamar hotel bintang lima itu, tubuhnya sudah polos tanpa busana, tengah bergumul sambil menautkan bibir dengan sosok itu. Kulit mereka saling bersentuhan, bergesekan dan menyatu, menghidupkan gelayar aneh dalam diri Arnold.Dia memang menolak menikah dengan wanita ini, namun jika sekedar menikmati tubuh wanita ini, tidak ada salahnya, bukan?Mereka terus beradu, saling menautkan bibir dan mejelajahi inci tiap inci tubuh mulus nan harum di bawah kungkungan tubuhnya itu. Sungguh menggiurkan memang, hanya saja, Arnold tidak mencintai wanita dalam dekapannya ini. Ia hanya mencintai Sisca, bukan siapapun.“Please, let start now, Babe!”Sumpah! Suara Scarletta benar-benar sexy! Arnold pastikan bahwa di Amerika sana dia sudah terbiasa mengumbar tubuh dengan teman-teman kuliahnya. Namun Arnold tidak peduli, bukankah dia juga sama? Dia juga sama sudah banyak mencicipi wanita dalam sepanjang hidupnya. Jadi apa sa
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat