Anggara melangkah turun dari mobil, ia makin payah. Entah sudah berapa pereda nyeri yang ia tenggak hari ini, sama sekali tidak mampu meredakan nyeri yang menyiksanya itu. Rasanya sungguh benar-benar tidak sanggup lagi!
Anggara baru sampai depan pintu rumah ketika Felicia sudah menyambutnya dengan begitu antusias.
"Papa ayo ikut Felis mau kasih lihat sesuatu!" guman gadis kecil itu penuh semangat.
"Nanti dulu bisa, Sayang? Kepa-"
"Ah, ayolah, Pa. Felis mau kasih lihat Papa sesuatu, ayo!" Felis menarik-narik tangan Anggara hendak membawa Anggara pergi entah kemana.
"Felis bisa nanti, Sayang?" Anggara masih mencoba menolak, tetapi gadis kecilnya ini tidak gencar.
"Ah cuma sebentar aja yayaya, nan-"
"FELIS TOLONG! BISA NANTI NGGAK?" entah apa yang membuat Anggara sampai berteriak kasar macam itu, yang jelas sakit kepala yang dia rasakan adalah pemicunya.
Gadis kecil itu tampak terkejut, genggaman tangannya terlepas. Ia menatap nan
Anggara keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah, ia tersenyum melihat sang isteri yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur. Lega sekali rasanya bukan? Ia melangkah mendekati sang isteri, Selly yang tengah memainkan ponsel sontak mengangkat wajahnya dan menatap dengan seksama Anggara yang masih bertelanjang dada."Mau apa?" tanya Selly polos, ia sontak menaikkan selimut menutup tubuhnya yang masih belum memakai apapun."Cuma mau bilang, udahan main hapenya. Cepat mandi, aku mau membawamu dan Felicia ke suatu tempat, sebagai permohonan maaf seperti yang tadi kamu minta, Sayang."Anggara berguman lirih, tangannya mengelus kepala Selly dengan penuh kasih. Entah mengapa, senyum itu kemudian merekah di wajah Selly, ia hanya mengangguk pelan dan menatap Anggara yang tampak begitu segar, tidak seperti beberapa saat yang lalu.Anggara melangkah dan membuka lemari pakaiannya, mencari baju untuk ia kenakan. Sementara Selly masih berdiam di atas r
"Adik Felis laki-laki atau perempuan sih, Ma?" tanya Felicia dengan mulut penuh sundae.Mereka bertiga sudah duduk di salah satu meja restoran cepat saji dengan sundae dan beberapa makanan lain yang mereka pesan. Felicia tampak sangat begitu antusias dengan kehamilan Selly, membuat Selly kembali pedih jika teringat bahwa setelah anak ini lahir nanti, Selly akan pergi sesuai perjanjian yang Anggara sendiri sudah menyetujuinya."Memang Felicia mau adik laki-laki atau perempuan?" ujar Anggara balik bertanya."Apa aja mau kok, kalau ini nanti perempuan, kan Felis masih bisa minta dibuatkan adik laki-laki, iya, kan?""Uhuk ... uhuk ...."Selly yang tengah mengunyah kentang gorengnya itu sontak terbatuk-batuk mendengar apa yang Felicia katakan itu, membuat Anggara menyodorkan sebotol air mineral dan menepuk punggung Selly dengan lembut. Mata mereka bertemu, membuat Selly merasakan sebuah getaran aneh dari dalam dirinya. Manik mata yang dulu begitu tajam,
Selly kembali tertegun ketika dengan gesit Anggara membukakan pintu mobil untuknya selepas ia menaikkan Felicia ke mobil bagian belakang. Mata mereka kembali bertemu, membuat Selly kembali merasa sedikit kikuk dan aneh. Ada apa dengan suaminya ini? Namun, Selly tidak sempat bertanya-tanya lagi karena ia buru-buru naik sebelum Anggara menyadari Selly tengah memperhatikannya. Anggara menutup pintu mobilnya, lalu bergegas melangkah ke sisi lain mobil, meninggalkan Selly yang masih tertegun dengan jantung berdegub kencang itu. Ia kemudian masuk dan duduk di balik kemudi, mengenakan seat belt-nya dan bergegas menghidupkan mesin mobil. “Pa, minggu depan jalan-jalan yuk, papa libur kan?” tanya Felicia penuh semangat, kebahagiaan itu belum luntur dari wajah cantik Felicia. “Nggak janji ya, memang Felis mau kemana?” Anggara melirik sekilas dari spion mobil, kemudian kembali fokus dengan jalanan yang ada di depannya. “Ke Omah Kelinci, seru kata teman Felis tadi
Anggara tersenyum ketika mendapati sang isteri sudah terlelap, ia menyudahi aktivitas memijit pelipis Selly, mengelus lembut pipi itu dan mengecup bibir itu perlahan dan cepat. Melihat betapa damai Selly terlelap membuat hati Anggara begitu bahagia.Anggara membetulkan letak selimut Selly, kemudian bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Ia malah belum membersihkan dirinya sendiri sepulang dari jalan-jalan tadi, bukan? Jadi saatnya Anggara membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan piyama.Melihat baju Selly yang teronggok di keranjang pakaian kotor membuat bayangan tadi kembali berkelebat dalam benak Anggara. Saat dimana Selly melucuti pakaiannya sendiri di hadapannya dan pasrah ketika Anggara menyentuh inci tiap inci tubuh itu.Benar-benar moment yang begitu indah dan manis untuk Anggara hari ini. Gelayar itu kembali Anggara rasakan, ingin rasanya ia memulai kembali mengulang momen tadi. Menyatukan tubuhnya dengan Selly dan mendaki kenikmatan demi kenikma
Anggara bahkan belum turun dari mobilnya, belum mematikan mesin mobilnya dan gadis itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah yang begitu gembira. Anggara tersenyum, tentu Felicia sangat antusias, hari ini Selly sudah ada janji hendak bertemu dengan Dokter Anton, dan Felicia ingin ikut, bukan?Setelah beres parkir, Anggara bergegas turun disambut dengan celotehan gadis kecilnya itu yang nampak sangat sudah tidak sabar lagi."Papa kenapa baru pulang, ayo katanya mau ngintip adiknya Felis!""Kan memang biasanya pulang jam segini, Sayang. Sudah nggak sabar ya?" Anggara tersenyum begitu manis, ia begitu bahagia melihat raut wajah bahagia putri sulungnya itu."Felis pengen cepet-cepet lihat adik, Pa!" guman gadis itu sambil terus mengikuti langkah Anggara masuk ke dalam rumah."Oke, papa mandi dulu dan kita segera berangkat!" Anggara mengacungkan jempolnya, lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling, "Mana mama?""Di ruang makan, mama lagi mak
"Mampir jalan-jalan dulu, mau?" tawar Anggara ketika ia sudah menghidupkan mesin mobil dan hendak membawa mobil itu pergi dari depan klinik dokter Anton."Boleh, ayo nge-mall lagi, Pa!" ajak Felicia penuh semangat."Ngemall terus, papa mau ajak kalian makan malam di luar nih," Anggara melirik gemas ke arah gadis kecilnya itu, ada sebuah resto yang cukup asik untuk makan malam keluarga, dan Anggara ingin membawa mereka kesana."Kan bisa di mall," guman Felicia mencoba nego."Tapi lebih seru kalau makan di gubuk yang bawahnya ada banyak ikannya, betul nggak, Ma?" Anggara melirik Selly sekilas, hanya sekilas karena ia harus kembali fokus pada jalanan di depannya.Ma?Ah ... Panggilan itu sontak membuat wajah Selly memerah, kenapa manis sekali kalau Anggara yang memanggilnya dengan sebutan itu? Selly menoleh, menatap Anggara yang begitu tenang di balik kemudinya, wajah yang begitu tenang dan mengusik hati Selly."Ah ... Iya, kita kesana s
CUPAnggara mendaratkan kecupan itu di kening Selly. Sudah beberapa hari ini ritual wajib itu selalu Anggara lakukan setiap ia hendak pergi bekerja. Tidak ada protes, penolakan maupun larangan yang keluar dari mulut Selly, bahkan ia hanya tersenyum simpul kemudian melambaikan tangan ketika Anggara dan Felicia masuk ke dalam mobil.Ya ... semua kerja keras Anggara tampaknya sudah menampakkan hasil, meskipun ia masih harus tidur di ruang tidur untuk tamu, tetapi Selly sudah tidak lagi membatasi diri. Mereka sudah lebih dekat, saran Kevin untuk sering memuka percakapan dan obrolan dari hati ke hati dengan sosok itu memberi banyak sekali perubahan signifikan dalam hubungan pernikahan mereka.“Pa, mama itu ulang tahun tanggal berapa sih?” tanya Felicia ketika Anggara mulai membawa mobilnya membelah jalanan yang padat itu.SKAKMATAnggara sontak garuk-garuk kepala, kapan ya isterinya itu ulang tahun? Suami macam apa dia ini? Ia kemudian hanya
Selly memekik keras ketika Anggara pagi itu berhasil membawanya terbang tinggi di puncak kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya bergetar hebat, ia bahkan bisa merasakan cairan hangat itu keluar dari area sensitifnya. Belum beres Selly menormalkan nafasnya, kembali Anggara memacu tubuhnya yang bersimbah peluh dengan sedikit cepat.Anggara sedang berusaha menggapai puncaknya sendiri, desahannya terdengar begitu indah di telinga Selly, membuat Selly kemudian ikut mendesah karena kembali nikmat luar biasa itu ia rasakan.Anggara mencengkeram rambutnya yang terurai di atas bantal, mencengkeram kuat-kuat rambut Selly sambil mengerang dan memejamkan mata, cengkeraman itu begitu kuat, tapi anehnya Selly sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan ia ikut mengerang ketika Anggara makin mempercepat ritmenya. Ia sudah hampir sampai! Tubuhnya bergetar hebat, desahan itu berubah menjadi erangan nikmat dan beberapa detik kemudian, erangan itu berubah menjadi pekikan panjang.&ldq
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba