“Selly ikut asistensi, saya tunggu di OK!” perintah sosok itu tegas kemudian dengan santainya melangkah meninggalkan Selly dan beberapa teman koasnya yang lain.
Selly masih terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap kepergian laki-laki itu yang tengah melangkah ke OK yang ada di gedung sebelah lantai yang sama. Ia kemudian menatap teman-temannya satu persatu, kenapa dia lagi sih yang harus ikut masuk ke OK? Perasaan dari lima orang temannya yang saat ini koas di bagaian bedah, rekor Selly mengasistensi chief residen atau dokter bedah lebih banyak dibandingkan teman-temannya yang lain.
“Kok gue lagi sih?” desis Selly nelangsa.
“Sudah sono pergi, laris amat sih elu jadi asistensi?” cibir Yosi dengan muka penuh kemenangan, kalau asistensi yang lain dia masih oke, tapi kalau sosok itu ... ah seperti mimpi buruk! Dan tampaknya mimpi buruk itu menghampiri Selly.
“Cepetan siap-siap sono, ntar dia ngamuk berabe, Sel!” Dante mendorong Selly agar bergegas melangkah menuju OK, ia tahu betul tabiat dan kebiasaan sosok itu. Koas hampir empat minggu dibagian bedah membuat dia kenyang akan tingkah laku sosok ganteng bersorot tajam dan dingin itu.
“Gue belum sarapan!” rintih Selly pedih, menghadapi sosok itu dengan cadangan tenaga yang full saja terkadang bikin Selly lemas dan memucat, apalagi perut kosong! Ia berharap tidak pingsan di dalam sana nanti.
Namun bukannya iba, teman-temannya malah seolah bahagia dengan penderitaan yang harus Selly alami. Mereka dengan begitu semangat mendorong Selly sampai ke depan pintu OK. Mengasistensi sosok sokter Anggara Tanjaya itu artinya harus punya banyak stok sabar. Harus punya telinga kebal makian dan sindiran. Itulah yang membuat beberapa koas begitu menghindari momen di mana mereka harus mengasisteni sosok dingin satu itu, tapi sebagai koas yang sering diibaratkan dengan keset rumah sakit, mereka bisa apa sih kalau kemudian nama mereka yang dipilih sosok itu untuk ikut terjun ke OK bersamanya? Seperti apa yang Selly alami saat ini.
“Sialan, temen-temen nggak ada akhlak semua!” gerutu Selly begitu ia sudah melangkah masuk ke dalam OK.
Ia nampak menghela nafas panjang, kemudian dengan sedikit lesu melangkah ke ruang ganti guna membersihkan diri dan memakai baju OK-nya. Selly sedikit tertegun ketika di ruang ganti itu ia menemukan sosok itu tengah duduk dan memainkan ponselnya. Mata mereka bertemu sesaat, Selly tersenyum sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda salam dan hormat.
“Cuci bersih-bersih, saya tunggu!” sosok itu sontak bangkit dan bergegas melangkah keluar.
Selly lega luar biasa, jujur ia selalu kikuk tiap ada sosok itu. Ia tidak nyaman dengan sikap cuek dan tatapan tajam yang dimiliki oleh dokter bedah satu itu. Selly melepas snelli-nya dan memasukkanya kedalam salah satu loker. Kemudian ia beralih untuk mengganti bajunya dengan baju khusus OK, mencuci tangannya bersih-bersih sambil mempersiapkan diri guna menghadapi sosok itu.
“Ayolah, be a good day, please!”
***
Anggara melangkah menuju ruang tiga, ruangan dimana ia harus melakukan laparatomi pada gadis belia yang mengidap apendisitis itu. Ia memang sengaja memilih Selly yang ia minta untuk mengasistensi dirinya pada operasi saat ini. Entah mengapa berada di dekat gadis itu membuat Anggara merasa sedikit aneh, dalam artian dia merasa lebih tenang dan bahagia.
Bahagia?
Anggara sendiri tidak paham dan tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan ini, tapi jujur perasaan itu benar-benar sebuah perasaan bahagia. Sekali lagi di dalam lubuk hatinya itu ia merasa sedikit berdosa pada mendiang Diana. Ia sudah berjanji bukan bahwa hanya Diana yang akan selalu menghuni hatinya? Namun kenapa hanya karena kehadiran Selly, Anggara jadi mengingkari janjinya seperti ini?
Anggara benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya ini. Benarkah ia jatuh cinta? Tapi kenapa harus dengan Selly? Anggara sendiri tidak mengerti, namun melihat dan menatap mata itu membuat Anggara yakin bahwa ia punya perasaan yang lain pada gadis itu, ia tertarik, suka dan jatuh cinta.
Jatuh cinta? Benarkan semua perasaan ini adalah cin-.
“Ang, kamu malah melamun?”
Anggara tersentak ketika kemudian siku itu menyenggol lengannya, ia menoleh dan mendapati Alfred, sejawatnya di bagian anestesi sudah berdiri dan siap dengan segala atributnya.
“Ah ... nggak apa-apa kok, ini mana pasiennya kok belum di dorong masuk?” Anggara berusaha menekan semua perasaan aneh dan perasaan bersalahnya pada mendiang Diana, ia harus fokus pada operasi yang harus ia tangani bukan?
“Tuh baru mau masuk!” guman Alfred sambil membetulkan posisi masker bedahnya.
Anggara hanya mengangguk sambil menghela nafas panjang, di saat yang sama sosok itu masuk ke dalam ruangan. Sudah lengkap dengan gown dan segala macam atributnya yang lain. Ahh ... bahkan hanya menatap mata itu saja kemudian mampu membuat Anggara berdegub tidak karuan. Benar-benar sial.
“Lho ikut gabung juga nih?” suara itu milik Adit, residen bedah semester empat yang sedang menjalani pendidikan spesialis di rumah sakit ini.
Tampak sosok itu hanya memgangguk pelan, kenapa Anggara tidak suka melihat kedekatan itu? Ia melirik dua orang yang kini tengah mengobrol dengan suara lirih, suara yang tidak bisa ia tangkap dengan kedua telingannya, memang apa yang sedang mereka bicarakan itu sih? Kenapa rasanya Anggara sangat ingin tahu?
“Ang, anestesi clear!” suara Alfred sekali lagi membuyarkan lamunan Anggara, ia sontak mengangguk dan memposisikan dirinya. Ia menarik nafas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak guna menetralkan pikirannya dan membawa dirinya fokus pada apa yang ada di hadapannya itu.
“Anestesi,”
“Clear!”
“Peralatan,”
“Clear!”
“Koas,”
“Clear!”
“Residen,”
“Clear!”
Sekali lagi Anggara menghela nafas panjang, ia menyempatkan diri melirik Selly yang berdiri di belakang Adit yang untuk kali ini menjadi surgical asistennya. Sial, kenapa harus dekat dengan Adit sih? Ada apa di antara mereka? Anggara memejamkan matanya sejenak, kembali dengan susah payah mencoba fokus. Menghela nafas panjang kemudian dengan lantang berkata,
“Scalpel, please!”
***
“Lanjutkan!” suara Anggara terdengar sedikit menggelegar, membalikkan badannya lalu melepas handscoon yang berlumuran darah itu. Kepalanya mendadak pusing, tanpa banyak berkata-kata lagi ia pergi meninggalkan ruangan itu, membiarkan residen dan koasnya menyelesaikan bagian akhir dari operasi yang baru saja ia lakukan itu.
Anggara mencuci kembali tangannya sampai bersih, mengeringkannya lalu melangkah masuk ke ruang ganti. Ia mendengus kesal sambil memijit pelipisnya. Ia masih belum mengerti dengan diriya sendiri. Apakah ia benar-benar jatuh cinta? Tapi bagaimana dengan janjinya terhadap mendiang Diana? Apakah tidak termasuk sebuah dosa jika kemudian ia mengingkari janjinya ini?
Anggara menelungkupkan wajahnya di atas meja, kenapa harus seperti ini sih? Sekian lama ia bisa menahan diri dan mengabaikan semua gadis dan wanita yang berada di sekelilingnya, kenapa sekarang hanya karena gadis itu semuanya seolah sia-sia?
“Aku kenapa?”
Operasi sudah selesai, pasien sudah dipindah ke ruang pulih sadar untuk observasi lebih lanjut sebelum pasien bisa kembali ke bangsal rawat inapnya. Akhirnya selesai juga sesi menegangkan hari ini. Ikut asistensi di OK saja sudah sangat menegangkan, ditambah penata bedahnya adalah sosok dokter Anggara Tanjaya! Ruang operasi jadi makin horor macam ruang jenazah! Selly mencuci tangannya bersih-bersih, ia hendak melangkah keluar ketika kemudian Adit muncul dan mengekor di belakangnya. "Sel, udah makan?" tanya sosok itu sambil menjejerkan langkahnya di samping Selly. "Belum nih, Bang. Kenapa?" Selly mengerutkan keningnya, biasanya kalau kayak gini bentuk modus dari abang-abang residen pada para koas. "Temenin Abang makan yuk, Abang yang traktir kamu deh, yuk ah ... mau makan apa?" Selly tampak berpikir sejenak, sudah jam makan siang juga bukan? Rasanya tidak ada ruginya mengiyakan ajakan residen bedanya satu ini. Lumayan makan siang gratis.
Sudah waktunya pulang, tidak ada cito dan lain sebagainya, jadi Anggara sudah bisa langsung kembali kerumah. Ia sudah rindu dengan gadis kecilnya itu. Entah apa nanti yang ia ceritakan perihal kegiatannya di sekolah, yang jelas obat lelah dan letih Anggara cuma itu. Dengan santai ia melangkah menuju parkiran. Suasana poli rawat jalan sudah sepi, bangsal rawat inap yang ramai banyak orang berlalu-lalang, jam besuk sudah dibuka. Anggara tertegun ketika mendapati Honda Jazz putih itu masih terparkir di sebelah mobilnya. Sebuah senyum mengembang di wajah Anggara. Mobil itu bukan yang tadi pagi ia kendarai? Yang ia ganti ban belakangnya karena kempes? Sontak ia teringat dengan sang pemilik mobil, kenapa wajah itu terus terngiang di dalam pikiran Anggara? Anggara menghela nafas panjang, ia menggelengkan kepalanya sambil memijit pelipisnya dengan gemas. Ada apa dengan dirinya ini? Kenapa ia jadi seperti ini? Ia bergegas masuk ke dalam mobilnya sendiri. Tangannya me
"Papa sudah mandi?" tanya Felicia ketika ia melonggok ke dalam kamar sang papa. "Sudah Sayang, sini Papa pengen peluk kamu!" Anggara tersenyum, ia merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk merengkuh tubuh itu kedalam pelukannya. Sontak Felicia berlari dan jatuh ke dalam pelukan sang papa, sebuah pelukan terhangat dalam hidupnya. Anggara merasa semua lelah dan letihnya sirna seketika ketika tubuh mungil ini bermanja-manja padanya seperti ini. "Papa capek nggak?" tanya Felicia sambil menatap manik mata sang papa. "Capek Papa hilang tiap lihat kamu, memang kenapa?" Angara membawa gadis itu dalam gendongannya. "Main ke mall yuk, Pa. Beli camilan buat besok ada acara di luar kelas," renggek Felicia manja. "Acara apa?" Anggara tampak mengerutkan keningnya. "Ahh ... masa lupa sih? Mau main ke itu sekolah anak-anak kurang beruntung, difabel namanya kalau nggak salah." Astaga, saking sibuknya dengan pekerjaan, Anggara sampai l
Anggara bergegas kembali melanjutkan belanjanya, ia sudah memasukkan beberapa camilan dan snack kesukaan anak-anak untuk besok dibawa Felicia kunjungan ke sekolah luar biasa. Beberapa cokelat dan susu UHT pun tak lepas dari bidikan Anggara, rasanya nanti ia perlu beli plastik untuk mengemas makanan-makanan kecil itu bukan? Ahh ... sebuah ide yang sangat mendadak sekali, semoga waktunya cukup untuk merealisasikannya. "Pah, makan es krim yuk! Pengan sundae-nya McD," renggek Felicia sambil memasang puppy eyes andalannya. "Boleh, bayar dulu ya tapi," Anggara tersenyum, apa sih yang tidak untuk gadis kesayangannya itu? Ia membawa trolley-nya ke kasir, hanya ada tiga pos kasir yang buka dari belasan pos kasir yang ada di hypermart itu membuat antrian sedikit panjang. Anggara menghela nafas, rasanya ia harus sedikit bersabar hingga kemudian bisa menyelesaikan kegiatan belanjanya ini. Felicia sibuk menyusun kotak-
"Sekalian saja, Mbak!" Anggara menyodorkan kembali debit card-nya kepada petugas kasir. "Eh ... Tunggu, Dokter ... Anda ....." "Sudah, jangan membantah!" Anggara memberi kode pada Selly untuk tidak protes, ia sendiri sudah menyusun plastik belanjanya di trolley. Selly menghela nafas panjang, sebanyak ini dan konsulennya yang bayar? Astaga, akan ada tragedi macam apa setelah ini? Ia yakin bahwa belanjaannya itu akan habis dua ratus ribu lebih. "Dokter sa-saya ...." "Sudah, saya ikhlas, jangan khawatir." Potong Anggara singkat. Kembali Selly hanya menghela nafas panjang, ia melirik Felicia yang sedang asyik dengan cokelat di tangannya itu. Belanjaannya sedang di hitung. Mulai dari pembalut, sabun cuci muka, body lotion dan tak lupa cemilan-cemilan serta mie instan yang jumlahnya lumayan banyak itu sudah menyentuh angka dua ratus lima puluh ribu, mampus! Tampak Selly garuk-garuk kepala, ia jadi tidak enak dengan sosok ko
"Saya dan Kevin satu alumni, saya beberapa kali main kerumah kamu, orangtua kita teman baik, kenapa saya nggak pernah melihat kamu?" tanya Anggara yang begitu penasaran.Selly menatap Anggara dengan tatapan tidak percaya, sedetik kemudian ia tersenyum dan menghela nafas panjang."Kalau Dokter satu angkatan dengan kakak saya, berarti benar Dokter tidak kenal atau tidak lihat saya, sejak kecil saya ikut Tante saya, karena beliau kehilangan suami dan anaknya sekaligus dalam sebuah kecelakaan. Beliau minta saya ikut bersamanya sebagai obat kesepian dan kepedihan atas tragedi yang menimpa keluarganya, Dokter."Anggara tampak mengangguk tanda mengerti, pantas dia sama sekali tidak pernah melihat sosok Selly ketika dulu mampir kerumah Kevin untuk sekedar belajar bersama ketika mau ujian blok atau persiapan diskusi ilmiah, jadi ceritanya seperti itu?"Jadi kamu ikut tantemu?" Anggara tampak mengulangi pertanyaannya itu, seo
"Terima kasih banyak untuk hari ini, Dokter. Sejak tadi pagi saya sudah sangat merepotkan," guman Selly kikuk, gimana nggak merepotkan? Tadi pagi dokter itu harus repot-repot mengganti ban mobilnya yang kempes, lalu membayar semua belanjaannya yang hampir tiga ratus ribu itu, kemudian masih mentraktir Selly makan es krim."Jangan sungkan, Sel. Orangtua kita teman baik, saya dan kakak mu teman dekat," Anggara mengentikan langkahnya, mereka sudah sampai di area parkir, "Saya antar dulu ke mobilmu, kamu parkir dimana?"Selly tersenyum penuh arti, lalu menganggukkan kepalanya perlahan. Mereka kembali melangkah menuju tempat parkiran Selly kembali suasana menjadi, tidak ada obrolan yang terjadi. Felicia pun masih asyik dengan kubik yang tadi Selly belikan di toko mainan."Sekali lagi terima kasih banyak, Dok." Selly bergegas membuka pintu mobil, memindahkan plastik belanjaannya ke dalam mobil."Sudah saya
Selly memarkirkan mobilnya di basement apartemen. Ia bergegas turun dan membawa plastik belanjaan miliknya. Lumayan kan ngirit sekian ratus ribu? Senyum Selly mengembang teringat bahwa sosok yang begitu ia takuti di rumah sakit itu ternyata memiliki sisi lain yang tidak Selly ketahui.Yang lebih mengejutkan lagi adalah Dokter Anggara ternyata kenal betul dengan keluarganya! Sayang sekali sejak kecil ia ikut tantenya, jadi ia tidak tahu bahwa Ko Kevin bahkan bersahabat dekat dengan sosok itu, orangtua mereka juga!Selly menekan kombinasi angka yang menjadi kunci apartemennya itu. Kombinasi yang hanya diketahui olehnya, Tante Suci, kedua orangtuanya dan tentu saja dua kakak laki-lakinya. Dibawanya masuk belanjaan itu dan diletakkannya di dekat pantry. Ia bergegas masuk ke dalam kamar. Rasanya lebih baik mandi terlebih dahulu, sudah cukup malam bukan?Pikiran Selly terus terbayang wajah tadi, wajah yang memiliki rahasia indah jika sang pemilik tersenyum bahkan tert
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba