"Sekalian saja, Mbak!" Anggara menyodorkan kembali debit card-nya kepada petugas kasir.
"Eh ... Tunggu, Dokter ... Anda ....."
"Sudah, jangan membantah!" Anggara memberi kode pada Selly untuk tidak protes, ia sendiri sudah menyusun plastik belanjanya di trolley.
Selly menghela nafas panjang, sebanyak ini dan konsulennya yang bayar? Astaga, akan ada tragedi macam apa setelah ini? Ia yakin bahwa belanjaannya itu akan habis dua ratus ribu lebih.
"Dokter sa-saya ...."
"Sudah, saya ikhlas, jangan khawatir." Potong Anggara singkat.
Kembali Selly hanya menghela nafas panjang, ia melirik Felicia yang sedang asyik dengan cokelat di tangannya itu. Belanjaannya sedang di hitung. Mulai dari pembalut, sabun cuci muka, body lotion dan tak lupa cemilan-cemilan serta mie instan yang jumlahnya lumayan banyak itu sudah menyentuh angka dua ratus lima puluh ribu, mampus! Tampak Selly garuk-garuk kepala, ia jadi tidak enak dengan sosok konsulennya itu.
"Totalnya dua ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah, Bapak!" lapor sang kasir pada Anggara.
Anggara hanya mengangguk, ia kembali fokus pada iPhone di tangannya. Sementara Selly masih dag-dig-dug merasa nggak enak pada sosok itu. Hampir tiga ratus ribu, kan, total belanjaannya? Dan dibayar semua oleh sosok yang ia anggap menyebalkan dan sedikit songgong itu.
"Jadikan satu saja di sini!" perintah Anggara pada petugas packer yang membantu kasir mengemas semua belanjaan Selly.
"Baik, Pak."
Selly sang pemilik belanjaan hanya melongo di tempatnya berdiri. Sementara Anggara sibuk dengan iPhone, sang kasih sibuk mengecek layar dan mesin EDC dan Felicia masih sibuk dengan cokelat miliknya.
"PIN-nya, Bapak," sang kasir menyodorkan mesin EDC itu ke hadapan Anggara, dengan cepat Anggara menekan tombol mesin EDC, lalu dengan sekali tekan sang kasir mengeluarkan kertas print out EDC sebagai bukti pembayaran.
Lembaran kertas putih keluar dari printer monitor sang kasir, cukup panjang mengingat belanjaan Selly tidak sedikit. Sang kasir melipat kertas itu lalu menyerahkannya pada Anggara berserta kertas print out EDC tadi.
"Terima kasih banyak, kami tunggu kedatangannya kembali, Bapak-Ibu," sang kasir tersenyum ramah, dibalas anggukan kepala oleh Anggara.
Anggara mendorong trolley yang penuh belanjaan mereka berdua, sementara Selly melangkah sambil menggandeng Felicia.
"Dok, terima kasih banyak, saya malah jadi merepotkan," guman Selly lirih.
"Ah santai saja, nggak masalah."
Selly tersenyum kecut, baik juga ya ternyata si songgong ini. Namun sikapnya tetap saja ya? Cuek bebek, dingin, ketus dan tidak tampak ramah.
"Kak Selly rumahnya di mana sih?" tanya Felicia dengan mulut penuh cokelat.
"Di Jakarta sana Sayang, di sini kakak tinggalnya di apartemen." Selly tersenyum melihat cokelat yang belepotan di sudut bibir Felicia, tangannya terulur membersihkan sisa-sisa cokelat di sudut bibir itu.
"Kapan-kapan Felis boleh main ke sana? Ke tempat Kakak?"
"Boleh dong, kabari kakak dulu tapi, takutnya ada jadwal jaga di rumah sakit, oke?" Selly tersenyum, boleh asal cuma anaknya yang main ke tempat dia, bapaknya? Tidak perlu!
"Oke siap! Nanti biar diantar papa ke sana kalau Felis ingin main ke apartemen kakak."
"Ayo!" Pintu lift terbuka, Anggara mempersilahkan Felicia dan Selly masuk lebih dulu, kemudian dia dan trolley mereka.
"Kakak nanti pengen sundae apa Mac Flury?" tanya Felicia penuh semangat.
"Kayaknya Mac Flury deh, kamu sendiri? Mau apa?" Selly tersenyum sambil mengelus lembut kepala Felicia.
"Lihat dulu di sana nanti."
Selly tersenyum, ia begitu gemas dengan anak Dokter Anggara ini, kenapa cantik dan menggemaskan sekali sih? Bapaknya padahal menyebalkan dan sedingin es.
Ahh ... Mungkin Felicia menuruni ibunya bukan? Jadi begitu cantik dan menggemaskan sekali seperti ini. Selly jadi menerawang jauh, kelak ia berharap semoga bisa memiliki anak gadis secantik ini. Semoga ....
***
Anggara berkali-kali mencuri pandang ke arah gadis yang ada di hadapannya itu. kenapa rasanya ia tidak mau berpaling barang sedetik pun darinya? Wajahnya begitu cantik, manis dengan segala guratan indah di wajah itu. Anggara benar-benar dibuat gila!
"Rencana mau ambil spesialisasi apa besok?" tanyanya Anggara yang bosan diam saja, tangannya masih asyik menyuapkan es krim ke dalam mulut.
"Belum ada pandangan Dok," jawab Selly jujur apa adanya.
"Niat jadi dokter nggak sih? Apa cuma puas jadi DU doang?" semprot Anggara pedas.
"Ya nggak gitu juga sih, Dok. Cuma jujur masih bingung menentukan mau ambil spesialisasi apa." Selly rasanya pengen misuh-misuh, orang satu itu memang mulutnya nggak ada rem kali ya?
"Bingung pilih spesialisasi apa memangnya?"
"Antara penyakit dalam sama anestesi, cuma sampai saat ini masih mantab di penyakit dalam, nggak tahu kalau besok berubah, Dok." dr. Selly Veronica Hariardi, Sp.PD, begitu kan impian Selly?
"Bagus tuh, mantab kan dulu mau ambil apa, ntar udah daftar, lulus malah berpaling, kan, sia-sia kamu daftarnya." Anggara menatap dalam-dalam manik mata Selly yang tengah menyimak ia bicara itu, sorot mata itu ....
Anggara sontak memaki dalam hati, kenapa sorot mata itu begitu dalam merasuk ke hatinya? Kenapa sorot mata itu begitu memporak-porandakan hatinya dan membuat ia lemah seketika? Kenapa ia bisa semudah itu kemudian lupa pada janji yang sudah ia ucapkan pada Diana?
Anggara sendiri tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Jatuh cintanya kali ini begitu dahsyat! Kenapa bisa begitu? Karena meskipun ia selalu ingat bahwa ia punya janji pada Diana, namun rasa kagum, simpatik dan cinta darinya untuk sosok Selly sama sekali tidak berkurang atau pun menghilang.
"Orangtua dokter juga?" tanya Anggara yang berusaha mati-matian menekan semua perasaan anehnya yang begitu menyiksa itu.
"Iya Dok, papa sama mama kebetulan dokter juga, Dok. Kalau mama cuma mentok jadi DU, nggak sempet lanjut karena harus urus usaha batik dan tekstil yang diwariskan kakek-nenek."
Anggara manggut-manggut, wah ternyata koasnya ini bukan sembarang. Makanya baru koas sudah bawa mobil sendiri, tinggal di apartemen. Ternyata orangtuanya begitu kuat dalam finansial.
"Darah biru ya berarti? Siapa nama papamu? Spesialis apa?"
"Iya begitulah, Dokter. Papa Bambang Hariardi, kebetulan papa ambil andrologi, Dok."
Astaga, kenapa Anggara baru sadar? Bukankah nama belakang mereka sama? Kenapa ia tidak menyadarinya? Ia tahu siapa itu Bambang Hariadi, bukankah beliau teman papanya? Kenapa ia baru tahu kalau sosok androlog itu punya anak perempuan secantik ini?
"Beliau lulusan FK UNPAD?" Anggara mencoba memastikan, namun dari segi nama, ia sudah yakin, sangat yakin bahwa orang yang tadi disebut oleh Selly adalah orang yang ia maksud.
"Betul, kenapa Dokter bisa tahu?" tampak gadis itu terkejut, nah benar bukan?
"Papamu dan papa saya satu alumni, berarti kamu adik dari Kevin Pratama Hariardi?" Kevin adalah anak pertama dokter Bambang Hariadi, berarti Selly adalah ....
"Betul, itu kakak saya, kok Dokter bisa kenal?"
Anggara tertegun, kenapa ia bisa tidak menyadari Selly? Selama ini padahal keluarga mereka dekat bukan? Kecuali setelah dia lulus FK dan pergi dari Jakarta sekeluarga karena sangat kebetulan kedua orangtuanya pindah dinas.
Dan dimana Selly kala itu?
"Saya dan Kevin satu alumni, saya beberapa kali main kerumah kamu, orangtua kita teman baik, kenapa saya nggak pernah melihat kamu?" tanya Anggara yang begitu penasaran.Selly menatap Anggara dengan tatapan tidak percaya, sedetik kemudian ia tersenyum dan menghela nafas panjang."Kalau Dokter satu angkatan dengan kakak saya, berarti benar Dokter tidak kenal atau tidak lihat saya, sejak kecil saya ikut Tante saya, karena beliau kehilangan suami dan anaknya sekaligus dalam sebuah kecelakaan. Beliau minta saya ikut bersamanya sebagai obat kesepian dan kepedihan atas tragedi yang menimpa keluarganya, Dokter."Anggara tampak mengangguk tanda mengerti, pantas dia sama sekali tidak pernah melihat sosok Selly ketika dulu mampir kerumah Kevin untuk sekedar belajar bersama ketika mau ujian blok atau persiapan diskusi ilmiah, jadi ceritanya seperti itu?"Jadi kamu ikut tantemu?" Anggara tampak mengulangi pertanyaannya itu, seo
"Terima kasih banyak untuk hari ini, Dokter. Sejak tadi pagi saya sudah sangat merepotkan," guman Selly kikuk, gimana nggak merepotkan? Tadi pagi dokter itu harus repot-repot mengganti ban mobilnya yang kempes, lalu membayar semua belanjaannya yang hampir tiga ratus ribu itu, kemudian masih mentraktir Selly makan es krim."Jangan sungkan, Sel. Orangtua kita teman baik, saya dan kakak mu teman dekat," Anggara mengentikan langkahnya, mereka sudah sampai di area parkir, "Saya antar dulu ke mobilmu, kamu parkir dimana?"Selly tersenyum penuh arti, lalu menganggukkan kepalanya perlahan. Mereka kembali melangkah menuju tempat parkiran Selly kembali suasana menjadi, tidak ada obrolan yang terjadi. Felicia pun masih asyik dengan kubik yang tadi Selly belikan di toko mainan."Sekali lagi terima kasih banyak, Dok." Selly bergegas membuka pintu mobil, memindahkan plastik belanjaannya ke dalam mobil."Sudah saya
Selly memarkirkan mobilnya di basement apartemen. Ia bergegas turun dan membawa plastik belanjaan miliknya. Lumayan kan ngirit sekian ratus ribu? Senyum Selly mengembang teringat bahwa sosok yang begitu ia takuti di rumah sakit itu ternyata memiliki sisi lain yang tidak Selly ketahui.Yang lebih mengejutkan lagi adalah Dokter Anggara ternyata kenal betul dengan keluarganya! Sayang sekali sejak kecil ia ikut tantenya, jadi ia tidak tahu bahwa Ko Kevin bahkan bersahabat dekat dengan sosok itu, orangtua mereka juga!Selly menekan kombinasi angka yang menjadi kunci apartemennya itu. Kombinasi yang hanya diketahui olehnya, Tante Suci, kedua orangtuanya dan tentu saja dua kakak laki-lakinya. Dibawanya masuk belanjaan itu dan diletakkannya di dekat pantry. Ia bergegas masuk ke dalam kamar. Rasanya lebih baik mandi terlebih dahulu, sudah cukup malam bukan?Pikiran Selly terus terbayang wajah tadi, wajah yang memiliki rahasia indah jika sang pemilik tersenyum bahkan tert
Selly mengekor di belakang sosok itu, pagi ini seperti biasa para koas dan residen akan mengikuti konsulen mereka visiting dan follow up pasien di bangsal, sebelum kemudian poli rawat jalan buka dan jadwal operasi tentu saja sudah menunggu mereka.Dokter Anggara masih sama, ia begitu dingin dan cuek. Selly pikir setelah tahu siapa orang tua dan kakak kandungnya, Dokter Anggara akan sedikit lebih hangat dan lembut kepadanya, namun ternyata semua sama saja. Dia tetap menjelma jadi sosok yang dingin dan cuek bebek, termasuk kepadanya."Yang pegang pasien ini, siapa?" tanya Dokter Anggara ketika mereka hendak masuk ke kamar kelas satu, pasien post lumpektomi itu adalah isteri salah seorang anggota dewan.Selly sontak mengangkat tangannya, karena memang dia berkolaborasi dengan Elsa, salah satu residen bedah untuk mengobservasi dan follow up lebih lanjut pasien yang baru saja kemarin beres menjalani pengangkatan benjolan di payudaranya itu."Terus observasi, l
Selly menatap Dante dan Yosi yang sedang bersiap-siap pulang itu, sedangkan dirinya? Jangan di tanya deh, setelah ini sampai jam sebelas malam nanti ia akan jadi pengunggu setia IGD. Sedang dua temannya ini dengan begitu kurang ajar malah membicarakan rencana mereka nonton bareng film keluaran Marvels Studio yang baru rilis itu."Ntar mampir Sociolla dong, serum sama toner gue abis nih," guman Yosi sambil memberesi charger laptopnya."Cocok, gue juga mau cari sheetmask sama aloevera gel, stock di kosan udah tinggal tetes terakhir," Dante mengiyakan, "Lu titip apaan, Sel?" ia menoleh, menatap Selly yang sejak tadi wajahnya begitu masam itu."Titip SPG atau BA-nya aja deh, bawa satu kemari ntar," jawab Selly kesal sambil memanyunkan bibirnya."Ih kok elu jadi sensi sih, ya bukan salah kita dong kalau malam minggu ini elu harus jaga." sontak Yosi tersenyum jahil, ia memang sangat suka menganggu Selly."Bodo ah, sono pergi deh elu-elu pada, bikin keki!
Suasana di dalam OK seperti biasa jika Dokter Anggara yang memimpin jalannya operasi pasti selalu berubah menjadi sangat mencekam. OK yang sudah cukup dingin itu jadi makin dingin, entah apakah hanya Selly yang merasakannya atau memang demikian, ia tidak tahu.Ia dengan cekatan membantu sosok itu menutup luka robek pada abdomen pemuda yang berkelahi dengan sesama pemuda hanya karena rebutan cewek itu. Dasar nggak ada akhlak! Secantik apa sih ceweknya sampai pada tusuk menusuk seperti ini? Bikin repot dokter dan perawat IGD-nya tahu nggak? Benar-benar kurang ajar!Selly menatap bulir-bulir air itu membasahi dahi Dokter Anggara, buru-buru Selly meraih tissu dan menekan lembut dahi itu guna meminimalisasi menetesnya bulir keringat itu ke bagian tubuh pasein yang sedang di tutup itu. Begini buka tugas asisten? Ia mah hanya bagian bantu-bantu saja, tidak melakukan apa-apa, paling nanti juga dapat jatah jahit bekas operasi, sudah jadi hal wajib bagi para koas seperti dia ini
Entah sudah berapa kali Selly menguap malam ini, matanya sudah begitu lengket luar biasa. Namun ia masih harus tetap terjaga demi menyelesaikan power point yang hendak ia presentasikan besok di akhir Stase bedahnya. Penentu kelulusannya adalah besok pagi itu. Dimana kemudian ia akan pindah Stase ke bagian lain, yang artinya lagi ia akan segera terbebas dari sosok Dokter Anggara.Ia sudah tidak sabar ingin lulus, jadi ia akan buat presentasinya sesempurna mungkin, ia sudah bosan keluar masuk OK, mengasisteni Dokter wajah datar macam Dokter Anggara itu. Suasana OK yang sudah begitu dingin dan mencekam itu makin terasa mencekam tiap sosok itu yang menjadi operator operasinya.Dua botol kopi siap minum menjadi saksi bisu, betapa Selly berusaha keras tetap terjaga demi menyelesaikan penentu kelulusan stase-nya besok pagi. Namun meskipun sudah menenggak dua botol kopi, mata Selly seolah tidak bisa diajak kompromi lagi. Rasanya seperti ada yang mengelayuti kelopak matanya seh
Selly setengah berlari menuju parkiran, menghampiri mobilnya yang ia parkir di bawah pohon Mahoni yang begitu rindang itu. Dengan tergesa, ia bergegas membuka dan mencari benda itu di lantai mobil. Tidak ada, semuanya bersih, bahkan sampah sekecil apapun tidak ada di sana. Ia menelusuri jok mobil dan sia-sia karena tidak benda apapun termasuk benda yang ia cari itu.Sontak wajah Selly memucat, air matanya sudah mengambang di wajahnya. Kenapa flashdisk itu? Semua file penting ada di sana, termasuk file presentasinya pagi ini. Selly lemas seketika, apa yang harus ia lakukan sekarang?"Astaga, kemana sih? Tadi sudah masuk ke dalam tas bukan?" rintihnya sambil menahan tangis.Ia masih ingin menangis di dalam mobil ketika ia ingat bahwa waktunya terbatas. Dengan lunglai ia kembali mengunci mobilnya dan melangkah menuju ruang sidang. Kepalanya jadi pening, harus bilang apa dia ke konsulennya itu? Bisa kah mereka menerima alasan Selly? Selly sendiri tidak tahu, ia teru
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba