“Om, kita mau ke mana, sih?” tanya Lavina untuk ke sekian kali semenjak Auriga mengajaknya keluar dari hotel siang ini.“Ke suatu tempat, yang akan membuatmu bahagia malam ini.” Auriga tersenyum penuh arti, yang membuat Lavina tiba-tiba merasa waspada.“Om nggak akan mengajakku ke tempat aneh, ‘kan?” tudingnya curiga.Auriga hanya tertawa hingga menampilkan sederet giginya yang rapi. Bahunya sedikit berguncang. Lalu mengacak rambut Lavina dengan gemas. “Kalau aku mau aneh-aneh, nggak perlu bawa kamu keluar. Cukup melakukannya di dalam kamar saja.”“Ish! Aku serius,” gerutu Lavina dengan bibir cemberut.Auriga sempat melihat ke arah sopir yang fokus mengemudi.Lantas Auriga mendaratkan bibirnya pada bibir Lavina, memagutnya dengan penuh kelembutan, sejenak. Yang membuat Lavina sempat menahan napas.“Nanti kamu akan tahu. Sebentar lagi kita sampai,” ucap Auriga, sesaat setelah menjauhkan wajahnya seraya tersenyum lembut.Lavina mengangguk kecil sembari menyembunyikan pipi yang memerah d
"Pokoknya dia lebih ganteng daripada yang aku lihat di layar. Dia juga ramah dan—”“Malam ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku membawamu nonton konsernya Jung Kook,” sela Auriga, yang membuat Lavina seketika menoleh ke arahnya dengan bingung.Lavina melihat rahang pria itu mengeras dengan ekspresi wajah yang tiba-tiba kusut. “Kenapa memangnya? Kan beberapa bulan ke depan bakal ada konser lagi. Aku mau-Aaah…!” pekiknya tiba-tiba saat Auriga menarik tubuhnya ke dalam pelukan.Auriga menunduk, menatap Lavina dengan tatapan mengintimidasi. “Jangan memuji lelaki lain di hadapanku terlalu berlebihan, Sayang,” bisiknya dengan nada tegas. “Dan apa kamu bilang? Penyanyi K-Pop itu ganteng?” Auriga tersenyum miring. “Malam ini, akan aku buat kamu mengaku bahwa hanya aku lelaki yang harus kamu lihat.”Lavina menelan saliva dengan perasaan yang mendadak tidak enak. “Mas, a-aku nggak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku memuji Jung Kook karena aku ngefans sama dia.”Auriga menarik Lavina mema
Auriga berbaring miring, menopang kepala dengan satu tangan. Matanya berkedip pelan dan tak berhenti memandangi Lavina yang masih terlelap dengan damai.Tangan Auriga yang terbebas kemudian terulur, menyentuh pipi Lavina yang lembut dengan gerakan seringan kapas.Tatapan Auriga tertuju pada bulu mata lentik Lavina, di dalam kelopak itu ada sepasang mata yang indah, yang membuat Auriga selalu ingin menatapnya lebih lama.Pandangannya kemudian turun pada hidung Lavina yang tinggi dan kecil. Lalu berakhir pada bibirnya, yang tampak merah merekah meski sama sekali tidak dipoles lipstik. Bentuk bibirnya yang kecil dan tebal itu membuat Auriga kesulitan menelan saliva. Ia candu dengan bibir itu. Bibir yang semalaman penuh memanggil nama Auriga disela-sela desahannya.“Damn!” umpat Auriga seraya memejamkan mata, ketika aktifitas panasnya dengan Lavina tadi malam kembali memenuhi kepalanya.Lavina bagai morfin, yang membuatnya candu hingga Auriga merasa tidak ingin berhenti. Setelah satu tahu
“Mas? Aurora di sini?” tanya Lavina dengan terkejut, tanpa mengalihkan tatapannya dari anak kecil yang tengah memeluk boneka, duduk berdampingan dengan seorang wanita paruh baya. “Itu Bik Nimah, kan?”“Iya, Sayang. Aku membawa Aurora ke sini.” Auriga merangkul bahu Lavina dan mengecup puncak kepalanya.Mendengarnya, mata Lavina seketika berbinar-binar. Ia menoleh pada Auriga dan tersenyum lebar. “Mas! Jadi ini kejutan yang mau kamu kasih ke aku?”“Hm-hm.” Auriga mengangguk dan mengerjap pelan. “Gimana? Kamu terkejut? Sepertinya kamu terlihat senang bertemu Aurora, Love.”Lavina terkekeh kecil. “Aku kangen Aurora, Mas,” ucapnya seraya menepuk dada Auriga. Ia akan mendekati Aurora, tapi Auriga menahan lengannya, yang membuat Lavina menoleh dengan bingung. “Kenapa?”“Aku nggak yakin dengan hal ini, tapi… sikap Aurora mungkin akan membuatmu bingung. Sudah aku bilang sebelumnya ke kamu, Love, sejak hari itu Aurora berubah jadi murung.”Helaan napas Lavina terdengar berat, ia bisa melihat k
Pipi Lavina seketika merona merah.Sementara itu Gendarly memutar bola matanya dengan malas, lalu melepaskan pelukannya. “Kalau sampai kamu membuat menantu Mommy terluka lagi, Mommy yang akan langsung turun tangan,” tegas Gendarly sembari mencubit lengan Auriga keras-keras.“Auwh! Sakit, Mom,” keluh Auriga sembari meringis. Cubitan ibunya terasa sangat menyakitkan. “Oke, aku janji nggak akan membuat Lavina terluka lagi. Janji, Mom. Aku bahkan berani berjanji di hadapan Tuhan. Sekarang jauhkan tangan Mommy.”Aurora terkikik melihat penderitaan ayahnya.Kemudian Gendarly melepaskan cubitannya.Auriga mengusap-usap lengannya dan bicara pada Aurora, “Kamu sepertinya senang sekali melihat penderitaan Daddy, ya?”Aurora mengulum senyum. Lantas ia kembali tertawa saat sang ayah mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan menggendongnya sambil mencium pipinya bertubi-tubi. Aurora tertawa geli karena pipi sang ayah terasa kasar.Melihat tawa Aurora, hati Lavina menghangat. Rasanya hidupnya telah kem
Lavina mengerti, ia harus memberikan penjelasan pada Aurora. "Sayang, Mami Lavina pergi ke Korea karena Mami kuliah di sini. Maafin Mami karena dulu nggak sempat pamit ke kamu. Tapi, Mami janji, mulai detik ini Mami akan menemani kamu, Mami akan pulang ke Indonesia sesudah wisuda dan nggak akan meninggalkan kamu lagi tanpa memberitahu," jelas Lavina dengan yakin.Aurora menatap Lavina dengan tatapan penuh kekhawatiran, mencari kepastian dalam kata-kata yang baru saja didengarnya. "Mami nggak bercanda?"Lavina menggeleng mantap. "Mami serius. Dan Mami janji. Apapun yang terjadi, Mami akan selalu kembali ke kamu."Aurora perlahan mengangguk, dan Lavina merasa lega melihat senyuman kecil di wajah anak itu. Mereka tetap saling berpelukan, memberikan kehangatan satu sama lain. Lavina merasa dirinya bertanggung jawab untuk membuat Aurora merasa aman dan menstabilkan emosionalnya."Mami Lavina juga selalu kangen sama kamu, tahu? Di Korea, Mami selalu membayangkan wajah kamu dan rindu memeluk
Di dalam kamar yang hanya diterangi lampu tidur yang teronggok di atas nakas, Aurora terlihat sedang tertidur nyenyak. Wajahnya tampak polos dan napasnya teratur.Auriga yang melihat putrinya sudah terlelap, perlahan-lahan menyingkap selimut dari tubuhnya, kemudian bangkit tanpa menimbulkan gerakan yang berarti.Ia menurunkan kedua kaki ke lantai dan berjalan mengendap-ngendap keluar dari kamar tersebut. Ditutupnya pintu dengan amat sangat pelan.“Mas, Aurora udah bener-bener ti—”“Sssstt!!!” sela Auriga seraya menaruh jari telunjuk di depan bibirnya saat Lavina berbicara. “Kecilkan suara kamu. Nanti Aurora bangun.”Seketika itu juga Lavina melipat bibirnya ke dalam. Ia baru saja selesai mengobrol dengan ibu dan ayah mertuanya melalui telepon.Auriga menghampiri Lavina. “Di mana Bibik?” bisiknya, seakan takut suaranya akan membangunkan Aurora meski mereka tersekat dinding.“Bibik kayaknya udah tidur. Kenapa? Mau makan?”Auriga menggeleng.“Atau mau aku bikinin minuman hangat?” tanya L
“Mami mana?” rengek Aurora lagi. “Aku mau tidur sama Mami, Dad.”“Mami di sini!” seru Lavina dengan ceria sambil menghampiri mereka.Aurora melepaskan diri dari pelukan sang ayah dan merentangkan tangan ingin dipeluk Lavina, membuat Lavina seketika tertawa lalu memeluk Aurora sembari berusaha menghiburnya.Auriga memperhatikan Lavina dengan lekat. Lalu menelan saliva dan mengembuskan napas frustrasi.***“Akhirnya sang pangeran dan putri pun menikah. Lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya,” ucap Auriga dengan suara lembut, ia baru saja menyudahi dongeng yang ia ceritakan untuk Aurora. Dongeng yang sudah ada di luar kepala, karena hampir setiap malam Auriga menceritakan dongeng pangeran dan putri tersebut sebelum Aurora tertidur.Auriga membetulkan selimut Aurora. Lalu mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang. Ia berharap, setelah ini Aurora benar-benar tertidur nyenyak sampai pagi, sehingga tidak mengganggu aktifitas panasnya lagi bersama Lavina seperti beberapa saat yang lalu.
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab