"Lily mau ke mana?" Liam yang akhirnya berhasil mengejar saudara perempuannya, mencengkram tangan Lily dan bertanya. Lily tidak menjawab dan hanya menunjuk ke seberang jalan. Leon mengikuti arah telunjuk saudarinya dan bisa melihat seseorang memeluk boneka beruang besar. Mungkin lebih tinggi dari Lily. "Beruang?" tanya Liam dan Lily mengangguk dengan antusias. "Kita mau ke mana?" Leon yang datang sedikit terlambat bertanya dengan napas sedikit tersengal. "Ikut beruang," jawab Liam asal saja. Melihat Leon yang bingung, Lily kembali menunjuk ke seberang jalan. Begitu melihat boneka beruang, Leon langsung mengangguk mengerti. "Mau?" tanya Leon pada Lily. Dan saudarinya itu mengangguk antusias. "Leon ambilkan." Leon membalas dengan penuh percaya diri. Tapi baru saja mau melangkah, beruang itu sudah menghilang dari pandangan. Lily menarik-narik lengan baju Leon untuk meminta perhatian. Lebih tepatnya meminta Leon untuk mengikutinya. Tanpa banyak tanya, Leon dan Liam mengg
"Astaga, Dan. Kenapa lama sekali baru mengangkat telepon? Sudah sepuluh menit berlalu sejak aku meneleponmu," Eli mengeluh begitu mendengar suara Danny.Danny baru saja kembali ke kamar rawat inap setelah memeriksakan diri sekaligus jalan-jalan tak tentu arah di rumah sakit, ketika mendengar ponselnya yang diletakkan di atas nakas berdering. "Memangnya ada hal penting apa?" Danny bertanya dengan nada malas-malasan, sambil naik kembali ke atas ranjang. Danny hanya perlu sehari untuk bisa berjalan kembali secara normal, setelah medapat serangan brutal dari Mary. Tidak ada masalah berarti pada 'benda pusakanya', tapi dokter tetap menyarankan untuk mengistirahatkan diri dari aktifitas ranjang. Tidak masalah bagi Danny, karena dia sudah lama vakum 'melakukannya.' Danny juga sebenarnya sudah bisa pulang begitu pemeriksaan lanjutan menyatakan dia baik-baik saja. Tapi dia masih ingin malas-malasan di rumah sakit. Mungkin sekalian memikirkan soal Mary dan anak-anak. "Hei, apa kau mendeng
"Apa yang kau temukan?" tanya Danny pada Ian lewat panggilan telepon. "Apa maksudmu?" tanya Ian dengan nada bingung. "Aku bertanya soal anak-anakku brengsek. Mereka hilang di area gedung kantormu." Danny mendesis marah. "Santailah sedikit, Bung. Kami masih mencarinya. Dan hei, ini juga gedung kantormu." Ian terdengar kesal saat membalas kata-kata Danny. "Mana bisa aku santai ketika anakku hilang?" tanya Danny makin kesal dengan kata-kata sahabatnya. "Kau mengakuinya sebagai anakmu?" Suara Ian terdengar lirih. "Aku sudah lihat CCTV. Memang mirip denganmu sih, tapi siapa yang tahu kan?" "Apa maksudmu brengsek? Mereka anakku," jawab Danny dengan nada suara naik satu oktaf. "Oke, sorry." Ian memilih untuk mengalah. Ian cukup tahu sifat sahabatnya yang satu itu. Danny jarang marah walau mulutnya kadang cukup pedas. Jadi ketika intonasi suaranya naik seperti itu, bisa dipastikan Danny benar-benar marah. Hal yang harus dihindari adalah memprovokasinya lebih lanjut. Karena itu Ian
"Mana anakku?" Suara Eza bergema di ruang IGD. Danny menoleh cepat ke arah Eza yang baru masuk ke ruangan IGD. Perawakan Danny yang terbilang tinggi, membuat Eza mudah untuk melihatnya. "Apa yang kau lakukan pada Liam?" tanya Eza mencengkram, kemeja pasien yang Danny pakai. "Aku menyelamatkannya," jawab Danny tenang. Dia tahu perempuan di depannya sangat meledak-ledak, jadi dirinya harus tenang. Eza memejamkan mata, berusaha untuk tenang. Dia tahu tadi adalah pertanyaan yang tidak masuk akal, tapi mulutnya tidak bisa bekerja sama. "Tenanglah. Liam sudah baik-baik saja. Leon dan Lily juga sudah ditangani dengan baik." Danny segera memberi info agar Mary-nya bisa tenang. "Kenapa dengan mereka?" suara Eza akhirnya terdengar lebih tenang, tapi tangannya masih menggenggam baju Danny. "Leon dan Lily terjatuh. Mereka terluka, tapi tidak ada masalah serius. Sementara Liam ...." Kata-kata Danny yang menggantung membuat Eza yang tadinya menunduk, kini mendonggak menatap pri
"Huwa. Mau Papa." Liam menangis meraung-raung. "Liam sayang. Papa sibuk, Nak. Gak bisa main sama Liam dulu." Fika berusaha menenangkan cucunya itu. Sementara Eza mengurung diri di kamar sambil menutup telinga. Sudah sejak setengah jam yang lalu Liam merengek ingin bertemu papanya. Dia merasa cemburu karena kemarin tidak sempat bertemu Danny sedetik pun. Kemarin, Liam langsung diizinkan pulang oleh dokter yang merawatnya setelah infus yang terpasang habis. Gejala alergi yang timbul pun sudah hilang sepenuhnya dan juga tidak ada masalah lain. Lily dan Leon pun sama. Karena enggan berlama-lama berdua saja dengan Danny, Eza memutuskan untuk melarikan diri ketika Danny pergi mengurus administrasi. Bahkan Eza membawa pulang anak-anak dalam keadaan tertidur. "Leon ketemu Papa." Celakanya, Leon bercerita pada kedua eyangnya bahwa mereka bertemu papa. Liam yang ikut mendengar cerita itu langsung cemberut karena tidak sempat bertemu papanya. Pagi ini, Liam langsung merengek dan men
Danny menutup telepon dengan perasaan tak menentu. Dia sudah mengiyakan permintaan Mary, padahal dia sendiri tahu besok ada banyak hal yang mau dia kerjakan di lab, tapi tetap saja mulut dan otaknya tidak bisa diajak kerjasama. "Besok jadwalku apa saja ya?" tanya Danny pada sekretarisnya. Masih dengan gaya melambainya. Sulit untuk melepas kebiasaan itu, karena sudah lama Danny berakting demikian. Danny berpura-pura menjadi banci untuk menjauh dari wanita yang pernah dicintainya, yang tidak lain adalah ibu tirinya sendiri. Dia bahkan mengaku dirinya menyukai lelaki dan melukai perasaan Laura dengan mengatakan, menyatakan cinta pada Laura adalah bentuk taruhan dengan teman-temannya. Siapa pun pasti sakit hati mendengar hal seperti itu kan? Laura juga begitu, dia bahkan sampai menampar Danny waktu itu. Tapi Laura yang lembut dan baik hati melupakan hal itu dengan cepat. Dia bahkan bersedia memperlakukan Danny seperti anak kandungnya sendiri. Padahal jarak usia mereka tidak sejauh i
Eza sengaja mengurung diri di kamar sore ini. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan Danny yang sudah berjanji akan datang menemani anak-anak bermain. Dia sudah berharap Danny tidak datang, tapi nyatanya pria itu datang dengan membawa banyak kantongan. Eza bisa tahu karena dia melihat Danny yang baru turun dari mobil dari jendela kamarnya di lantai dua. Dari atas, Eza bisa melihat Danny dengan penampilan kantornya yang rapi. Dia juga bisa melihat kalau gerak-gerik Danny sudah terlihat sedikit lebih baik. "Harusnya kau turun ke bawah, Za. Kau harus mengawasinya agar tidak membawa kabur anakmu." Eza mendoktrin dirinya seraya berjalan mondar-mandir di dalam kamar seperti setrikaan rusak. Berkali-kali perempuan itu menghampiri pintu, namun segera membatalkan niatnya untuk membuka pintu. "Kau kenapa sih, Za?" Eza bertanya pada dirinya sendiri. Beberapa waktu lalu, Eza memang takut bertemu Danny karena berpikir lelaki itu mungkin akan mengambil anaknya. Tapi sekarang ini rasanya,
Eza tidak bisa tertidur. Sejak jam sembilan malam tadi dan setelah Danny pulang, Eza langsung naik ke kamar untuk tidur. Tapi yang terjadi hanyalah dirinya yang berguling ke kiri dan ke kanan. Dan berakhir dengn Eza menendang selimutnya sekuat tenaga. "Apa-apaan sih banci itu?" Eza mendesis pelan. Eza sih inginnya berteriak, tapi dia tidak mau membangunkan seisi rumah. Terutama karena anak-anak tidur di kamar sebelah dan pintu penghubungnya terbuka lebar. Eza menyugar rambut panjangnya asal-asalan. Gara-gara satu kalimat pendek dari Danny, kepala Eza dipenuhi wajah tampan nan kinclong pria itu. "Sialan," Eza mengumpat ketika mengingat kata-kata Danny yang lain saat memberikan kantongan berisi tester yang dibicarakannya tadi. "Aku memilihkan lipstik yang launching kemarin untukmu. Aku membuat warna seperti itu karena yakin kau akan cocok memakainya." Eza mendesah pelan kemudian menatap paper bag tebal, berukuran besar dan berwarna hitam keemasan di atas nakas. Jujur saja Eza p
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel