"Eza boleh lebih rileks lagi gak?" Seseorang yang memegang kamera memberi arahan pada yang empunya nama. Eza sempat berkedip bingung beberapa kali, sebelum akhirnya mengangguk dan mulai memperbaiki posisinya. Dia menyandarkan telapak tangannya di kedua rahangnya dengan santai. Tidak lupa Eza mengatur napas dan menjernihkan pikiran dengan memejamkan mata beberapa detik. Hari ini, Eza sudah mulai bekerja sebagai muse dari Mar. Dimulai dengan melakukan pemotretan untuk beberapa produk Mar yang sudah pernah dipakai Eza sebelumnya. Ini bukan pemotretan pertama Eza, tapi hari ini dia sangat sulit untuk fokus. "Sialan," desis perempuan itu hanya bisa di dalam hati saja." Bagaimana Eza bisa fokus ketika Danny terus menatapnya. Apalagi setelah yang terjadi dua hari lalu. Mengingatnya saja membuat Eza salah tingkah, apalagi kalau Danny memperhatikannya seperti sekarang ini. Mereka bahkan tidak melakukan apa-apa. Hanya bibir bertemu bibir dan sedikit elusan singkat di paha, tapi itu
"Dad yakin?"Danny menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari memegang ponsel yang menempel di telinganya. Mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh Xavier. Ayahnya itu ingin mengajak Mary sekeluarga untuk makan malam bersama. "Baiklah, tapi nanti biar aku yang tentukan waktu dan lokasi. Bagaimana?" tanya Danny frustasi. Bagaimana tidak. Tadi siang dia baru saja bertengkar dengan Mary gara-gara Lily, sekarang tiba-tiba ayahnya mau makan bersama dalam waktu dekat. Bagaimana caranya dia memberitahu Mary? Danny hanya bisa menghela napas. Setelah diingat-ingat lagi, Danny memang salah sih. Dia masuk ke ruangan Mary tanpa mengetuk pintu. Seenaknya saja meyentuh kulit punggung wanita itu ketika sedang menurunkan resleting bajunya. Wajar kan kalau Mary marah? Lagi pula yang dikatakan Mary tidaklah salah. Secara biogis Lily memang bukan putri kandungnya. Danny juga tahu itu, tapi tetap saja dia tidak senang mendengarnya. Lily kan berada bersama Leon dan Liam saat berada d
"Menikah itu apa?" Liam bertanya dengan polosnya pada Eza. "Ehm .... Apa ya?" Eza jelas bingung menjawab pertanyaan anaknya. "Sepasang pria dan wanita yang saling mencintai, tinggal bersama dan punya anak bersama?" Eza menjawab dengan nada bertanya, tidak yakin dengan jawabannya. "Kalau begitu Papa dan Mama akan menikah?" Leon yang sudah berbaring di ranjangnya langsung duduk. "Tidurlah Leon." Eza memberi perintah, tapi anaknya itu bergeming. "Kita semua akan tinggal bersama kan? Seperti akhir pekan lalu?" Leon kembali bertanya dengan sangat antusias. Eza ingin sekali menjawab tidak, tapi dia tidak tega melihat wajah antusias anak-anaknya. Bahkan mata Lily sekalipun terlihat sangat berbinar. "Entahlah," jawab Eza singkat, membuat binar di mata anak-anaknya sedikit meredup. "Sekarang tidurlah. Ini sudah malam." Eza bertepuk tangan dua kali, memberi kode untuk anak-anak kembali berbaring di ranjang masing-masing. Tanpa diperintah dua kali, anak-anak langsung kembali ber
"Maaf." Eza membungkuk dalam pada ketua tim yang mengurus proyeknya. "Kau ini terlambat sejam lebih loh ya. Jangan mentang-mentang kau dekat dengan wakil CEO lantas kau seenaknya gitu dong." Ketua tim pemotretan menghardik. Mendengar hal itu Eza langsung mengernyit tidak senang. Dirinya segera menegakkan punggungnya, menatap Wlelaki di depannya dengan tajam. "Maaf itu maksudnya apa ya, Pak Wilson?" tanya Eza mencoba untuk sopan. "Gak usah sok lugu deh. Katanya kau dekat dengan wakil CEO kan? Untung dia banci, kalau tidak pasti sudah kau goda. Oh, atau mungkin kau menggoda CEO? Atau mau sekalian naik ke ranjangku?" tanya Wilson dengan senyum miring yang sangat memuakkan. "Maaf, ya. Aku mendapat tawaran ini dari investor kalian. Kebetulan saja dia temanku. Lagi pula, aku sudah menjelaskan. Aku terlambat karena mengurusi anak-anakku." "Oh, kau sudah punya anak? Biar kutebak siapa ayahnya. Pasti pemorkasa itu kan?" Wilson tertawa nyaring, sementara kru yang berada di rua
Eza menghela napas panjang. Setelah bertanya pada orang tuanya, Eza mengiyakan ajakan makan malam bersama keluarga Danny. Kesannya memang terlihat seperti pertemuan yang akan membicarakan pernikahan, tapi Danny sudah menjanjikan tidak akan terlalu mendesak soal itu. Makanya Eza berani menerima tawaran ini. "Tegang ya mau ketemu calon mertua?" tanya Fika dengan senyum mengembang. "Calon mertua apaan sih, Bun. Kan belum sepakat," jawab Eza canggung. "Ngaku ajalah, Za. Ayah sama Bunda dulu juga gitu kok." Kali ini, Attha yang bersuara dan juga kekeh mau menyetir sendiri. "Terserah deh," jawab Eza tidak peduli lagi. Dia memilih mengurusi Leon yang tidak bisa diam. "Yang ini bukan tempatnya, Za?" Attha bertanya pada Eza. "Iya, Yah. Itu si Danny udah nunggu di lobi." Eza menunjuk kekasihnya yang sedang berdiri dengan gelisah. Begitu melihat mobil yang sudah dikenalinya, Danny langsung tersenyum semringah. Segera saja, dia membukakan pintu mobil untuk Fika, Eza dan anak-anak. T
Eza menaikkan sebelah alisnya. Sedari tadi dia sudah mengamati Laura, ingin tahu apa yang sedang dipikirkan wanita itu. Keningnya berkerut ketika Laura menyinggung soal kasusnya dengan Tony dulu. Apa Laura ingin menjatuhkan mentalnya? "Ada masalah dengan itu?" Eza balik memberikan pertanyaan dengan raut wajah tenang, sambil menggoyangkan gelas winenya. Padahal yang lain (kecuali anak-anak dan Laura), sudah terlihat sangat masam. Terutama Danny, dia sudah terlihat sangat marah. "Memangnya kenapa kalau yang kau katakan tadi benar?" Eza bertanya sekali lagi. "Tidak apa-apa kok. Aku hanya ingin tahu kebenarannya." Laura menjawab dengan panik karena Eza tidak merasa tertekan. "Maaf, Laura memang selalu ingin tahu." Xavier meminta maaf mewakili istrinya. Xavier begitu sebal karena baru kali ini Laura terdengar sekurang ajar ini. Untungnya makan malam yang sudah dipesan Danny sebelumnya, telah datang. Jadi ketegangan bisa sedikit mereda. "Gak apa-apa kok, Om. Aku yakin maksud L
"Eh, jadi nama Mar yang direkomendasikan sama Danny ada makna lainnya?" Suara seorang selebriti perempuan terdengar indah. Trio pendiri Mar yang terdiri dari Danny, Eli dan Ian sedang duduk berdampingan dengan aktris dari kampung halaman Eza yang kini telah mendunia. Mereka diundang untuk kolaborasi di channel you tube wanita blasteran itu. "Seperti itulah," jawab Danny malu-malu. "Dan kami juga baru tahu ini loh." Ian segera menimpali. "Kau saja kali. Aku sudah bisa menduga hal ini," jawaban Eli sontak membuat Ian mengumpat. "Biar kutebak dulu." Cinta si selebriti, segera menahan Danny yang sudah akan memberitahu arti lain dari Mar untuknya. "Aku kan juga suka tuh beberapa produknya Mar. Dan aku liat line yang dibuat Danny semua ada embel-embel Mar-nya. Tadi kau bilang mau buat line skin care dengan nama DearMaria. Terus ini lipstik yang aku pakai sekarang kalau ga salah namanya Maria kan?" "Ya," jawab Danny singkat. "Mar dari Maria. Bener gak?" Cinta bertanya lagi. "
"Yakin gak apa-apa?" tanya Eza tidak enak hati. "Yakin, banget. Kali ini aku akan lebih hati-hati. Tenang saja." Danny meyakinkan Eza. Hari ini Eza ada pemotretan dan kebetulan Fika juga Attha sedang tidak bisa menjaga anak-anak. Cassie juga barusan resign karena ada masalah keluarga. Jadinya, Eza meminta tolong pada Danny. "Mau lihat Mama kerja." Liam sedari tadi sudah merengek ingin ikut Eza, tapi tidak diizinkan. Eza takut anak-anak berbuat onar. "Gak boleh Liam. Mama kan mau kerja, bukan mau main." Eza kembali membujuk anaknya. "Liam janji gak nakal." "Leon juga." Sekarang Leon juga ikut-ikutan dengan Liam. Bahkan Lily juga sekarang menarik-narik ujung dress Eza. Membuat Eza menghela napas frustasi. "Biarin aja lah, sayang. Nanti biar aku gendong Leon dan Liam. Kalau Lily kan biasanya tenang, jadi gak akan masalah kalau gak dipegang." Eza kembali menghela napas, sejujurnya dia tidak mau melakukan itu. Selain karena takut anak-anak berbuat onar, Danny juga pasti akan
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel