"Menginap?" tanya Fika untuk memastikan. "Ya, Bun." Eza menjawab sambil memijat pelipisnya. Sudah seharian ini kepala Eza sakit gara-gara permintaan Danny. Bukan hanya karena ajakannya, tapi karena gestur tubuh pria itu yang terlalu dekat. Untungnya Leon merusuh sehingga, Eza tidak perlu berlama-lama di posisi memalukan itu. "Akhir pekan kan?" tanya Fika untuk lebih memastikan lagi. "Iya, Bun. Akhir pekan ini anak-anak bakal nginap di sana." Eza menjawab masih dengan meimijat pelipisnya. Sejujurnya Eza sedikit khawatir, karena ternyata Danny tinggal sendiri di apartemen. Dia khawatir lelaki itu akan kesulitan mengurusi anak-anak sendirian. Apalagi Danny juga menolak ketika Eza memberi opsi pengasuh anak-anak ikut menginap. "Kalau kau yang menginap sih tidak masalah. Tapi aku tidak menerima orang lain." Itulah yang dikatakan Danny. Sungguh, Eza sudah nyaris menolak. Tapi begitu melihat Maureen dirinya jadi merasa sedikit bersalah. Pada akhirnya, Eza menyanggupi memb
"Sialan," umpat Eza kesal.Malam ini Eza merasa tidak akan bisa tertidur. Karena rengekan dan tangisan dari anak-anak, dirinya terpaksa ikut menginap tanpa persiapan apa pun Seharian ini dilewati Eza dengan perasaan tak menentu. Pagi tadi bisa dilewati Eza tanpa masalah. Siang juga bisa dilalui dengan aman-aman saja. Danny juga tadi sudah terlanjur memesan makana siang, jadi Eza tidak perlu masak. Tapi sekarang ini? Sepertinya akan jadi masalah. Ini sudah waktu tidur siang anak-anak. Sebenarnya sudah lewat lima belas menit dari waktu biasanya, tapi anak-anak masih belum mau tidur. Hanya saja mata mengantuk mereka sudah terlihat jelas dan dalam sepuluh menit, satu per satu ambruk. Danny memindahkan anak-anak satu per satu ke kamarnya. Menidurkan anak-anak itu dengan posisi melintang. Itu dilakukan agar tiga bocah itu tidak jatuh di ranjang queen size itu. "Jangan menggigit jarimu, Mary. Itu akan merusak cat kukumu dan itu tidak sehat." Danny menegur begitu melihat ibu dari anak
"Kau siapa?" Laura langsung emosi ketika melihat seorang wanita membuka pintu apartemen Danny. Makin merasa kesal karena wanita di depannya memakai pakaian anak tirinya itu. "Bukankah itu pertanyaanku?" Eza menantang wanita hamil di depannya. Eza menduga wanita itu adalah istri Danny, tapi mana mungkin ada istri sah yang tidak punya akses ke apartemen suaminya kan? Atas pemikiran itu, Eza mengkonfrontasi wanita hamil di depannya. "Apa maksud kata-katamu itu? Ini adalah properti milik keluargaku." Baru sebentar saja Laura sudah tersulut dan berteriak. "Astaga! Tidak bisakah kau mengatur intonasi suaramu di hadapan anak kecil? Dia ketakutan," sergah Eza mulai marah. Tidak sadar pada dirinya sendiri yang sering berteriak. Baru saja Laura ingin berteriak lagi, seseorang memanggilnya. "Sayang? Kenapa kau berdiri di sana?" Xavier, mendekati dan langsung merangkul istri mudanya itu. Pria paruh baya itu kemudian menoleh ke arah Eza. Menatap wanita yang menggunakan pakaian an
"Di mana aku bisa tidur?" Eza bertanya begitu melihat Danny masuk ke dalam kamar. "Tidur saja di sana. Kalau kau bersedia tidur telentang, masih muat kok untuk dua orang." Danny mengedipkan mata nakal, setelah mengedikkan dagu ke arah ranjang yang ditiduri anak-anak. Eza sedari tadi sudah mencoba untuk sabar dan tidak menegur Danny karena ada ayahnya. Tapi setelah sempat dilupakan, Eza akhirnya menegur Danny. "Apa maksud kata-katamu tadi?" Eza bertanya pada Danny yang baru masuk ke kamar mandi dan membiarkan pintu terbuka. "Yang mana?" tanya Danny sedikit berteriak. , "Soal menikah itu." Eza menjawab dengan sangat kesal. Eza yakin Danny hanya pura-pura tidak tahu. "Memangnya kenapa dengan itu?" Danny keluar dengan wajah segar setelah cuci muka. "Kalau kau tidak serius dengan hal itu, maka jangan mengatakannya." "Kata siapa aku tidak serius?" Jawaban Danny itu membuat Eza mengernyit. Perempuan itu tidak percaya dengan ucapan lelaki yang kini berdiri di depannya dengan
"Eza boleh lebih rileks lagi gak?" Seseorang yang memegang kamera memberi arahan pada yang empunya nama. Eza sempat berkedip bingung beberapa kali, sebelum akhirnya mengangguk dan mulai memperbaiki posisinya. Dia menyandarkan telapak tangannya di kedua rahangnya dengan santai. Tidak lupa Eza mengatur napas dan menjernihkan pikiran dengan memejamkan mata beberapa detik. Hari ini, Eza sudah mulai bekerja sebagai muse dari Mar. Dimulai dengan melakukan pemotretan untuk beberapa produk Mar yang sudah pernah dipakai Eza sebelumnya. Ini bukan pemotretan pertama Eza, tapi hari ini dia sangat sulit untuk fokus. "Sialan," desis perempuan itu hanya bisa di dalam hati saja." Bagaimana Eza bisa fokus ketika Danny terus menatapnya. Apalagi setelah yang terjadi dua hari lalu. Mengingatnya saja membuat Eza salah tingkah, apalagi kalau Danny memperhatikannya seperti sekarang ini. Mereka bahkan tidak melakukan apa-apa. Hanya bibir bertemu bibir dan sedikit elusan singkat di paha, tapi itu
"Dad yakin?"Danny menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari memegang ponsel yang menempel di telinganya. Mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh Xavier. Ayahnya itu ingin mengajak Mary sekeluarga untuk makan malam bersama. "Baiklah, tapi nanti biar aku yang tentukan waktu dan lokasi. Bagaimana?" tanya Danny frustasi. Bagaimana tidak. Tadi siang dia baru saja bertengkar dengan Mary gara-gara Lily, sekarang tiba-tiba ayahnya mau makan bersama dalam waktu dekat. Bagaimana caranya dia memberitahu Mary? Danny hanya bisa menghela napas. Setelah diingat-ingat lagi, Danny memang salah sih. Dia masuk ke ruangan Mary tanpa mengetuk pintu. Seenaknya saja meyentuh kulit punggung wanita itu ketika sedang menurunkan resleting bajunya. Wajar kan kalau Mary marah? Lagi pula yang dikatakan Mary tidaklah salah. Secara biogis Lily memang bukan putri kandungnya. Danny juga tahu itu, tapi tetap saja dia tidak senang mendengarnya. Lily kan berada bersama Leon dan Liam saat berada d
"Menikah itu apa?" Liam bertanya dengan polosnya pada Eza. "Ehm .... Apa ya?" Eza jelas bingung menjawab pertanyaan anaknya. "Sepasang pria dan wanita yang saling mencintai, tinggal bersama dan punya anak bersama?" Eza menjawab dengan nada bertanya, tidak yakin dengan jawabannya. "Kalau begitu Papa dan Mama akan menikah?" Leon yang sudah berbaring di ranjangnya langsung duduk. "Tidurlah Leon." Eza memberi perintah, tapi anaknya itu bergeming. "Kita semua akan tinggal bersama kan? Seperti akhir pekan lalu?" Leon kembali bertanya dengan sangat antusias. Eza ingin sekali menjawab tidak, tapi dia tidak tega melihat wajah antusias anak-anaknya. Bahkan mata Lily sekalipun terlihat sangat berbinar. "Entahlah," jawab Eza singkat, membuat binar di mata anak-anaknya sedikit meredup. "Sekarang tidurlah. Ini sudah malam." Eza bertepuk tangan dua kali, memberi kode untuk anak-anak kembali berbaring di ranjang masing-masing. Tanpa diperintah dua kali, anak-anak langsung kembali ber
"Maaf." Eza membungkuk dalam pada ketua tim yang mengurus proyeknya. "Kau ini terlambat sejam lebih loh ya. Jangan mentang-mentang kau dekat dengan wakil CEO lantas kau seenaknya gitu dong." Ketua tim pemotretan menghardik. Mendengar hal itu Eza langsung mengernyit tidak senang. Dirinya segera menegakkan punggungnya, menatap Wlelaki di depannya dengan tajam. "Maaf itu maksudnya apa ya, Pak Wilson?" tanya Eza mencoba untuk sopan. "Gak usah sok lugu deh. Katanya kau dekat dengan wakil CEO kan? Untung dia banci, kalau tidak pasti sudah kau goda. Oh, atau mungkin kau menggoda CEO? Atau mau sekalian naik ke ranjangku?" tanya Wilson dengan senyum miring yang sangat memuakkan. "Maaf, ya. Aku mendapat tawaran ini dari investor kalian. Kebetulan saja dia temanku. Lagi pula, aku sudah menjelaskan. Aku terlambat karena mengurusi anak-anakku." "Oh, kau sudah punya anak? Biar kutebak siapa ayahnya. Pasti pemorkasa itu kan?" Wilson tertawa nyaring, sementara kru yang berada di rua
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel