"Apa maksudmu?" Eza berteriak marah pada seorang satpam yang sedang bertugas. "Anak-anak anda dilarang memasuki lokasi acara, Bu." Pak satpam yang sedang bertugas itu sudah berkeringat dingin melihat wajah emosi Eza. "Kenapa tidak bisa? Jelas-jelas aku diundang. Undanganku juga undangan VIP dan di sana tertulis untuk sekeluarga. Kenapa anak-anakku tidak boleh masuk?" Eza tidak mau kalah dan juga tidak peduli jika anak-anaknya mendengar dirinya berteriak. "Karena anak-anak memang tidak diizinkan, Bu. Tolong mengertilah." Pak Satpam yang sudah agak tua itu terlihat makin nelangsa menghadapi wanita keras kepala di depannya. Belum lagi lirikan orang-orang yang melintas. "Undangannya tidak tertulis seperti itu. Aku hanya akan membawa anak-anakku dan ibuku, pengasuhnya tidak akan dibawa masuk." Eza yang kepalanya terbuat dari batu atau bahkan lempengan logam super tebal, tidak mau mengerti sama sekali. "Udah, Za. Biar Bunda dan anak-anak pulang saja deh. Kamu juga tidak akan bisa k
"Ya, El. Ada apa? Tumben nelpon?" Daniel menjawab telepon sahabatnya pada dering kedua. "Tamu VIP ku ditahan di bawah sama satpam karena dia bawa anak-anaknya dan maksa masuk. Kamu tolong urusin ya, Dan. Biarkan saja mereka masuk." Eli segera menjelaskan secara singkat. "Masa anak-anak dibiarkan masuk ke acara sih? Mereka bisa bikin ribut loh." Daniel protes tidak terima. "Lagian kenapa bukan Fabian yang ditelepon? Yang CEO kan dia, aku cuma bagian racik-racik." "Dia gak bisa dihubungi, Dan. Lagian kau memang turun tangan di divisi cosmetic science, tapi kau juga wakil CEO. Jadi tamu VIP pun harus bisa kau urus." Eli mendebat Daniel dengan nada malas-malasan. "Lagipula kau tidak usah pedulikan anaknya. Justru ibunya yang akan menimbulkan masalah. Jadi bertanyalah pada satpam di sana dan urusi dia dengan baik. Aku mau tidur." Eli langsung mematikan telepon sebelum Daniel bisa membalasnya lagi. Daniel menghela napas. Terpaksa dia harus turun tangan menghadapi tamu aneh Eli. Ken
"Aku tidak punya utang apa-apa padamu." Eza tak segan berteriak meski Lily ada dalam gendongannya. "Lalu bagaimana kau menjelasakan tentang anak yang mirip denganku?" Daniel bertanya dengan nada lebih lembut, tapi lumayan ngegas. Dengan emosi yang selalu tak bisa ditahannya, Eza menyerahkan Lily pada si babysitter. Dirinya kemudian maju mengkonfrontasi Daniel. Eza mengulurkan tangannya. "Selagi aku meminta baik-baik, tolong berikan anak itu padaku." Eza menggeram rendah, kemudian mengatupkan rahangnya berusaha menahan diri untuk tidak menonjok Danny. "Tidak akan." Bukannya memberikan Leon kembali pada Eza, Danny malah memberikannya pada satpam yang masih berdiri di belakangnya. "Apapun yang terjadi jangan sampai anak ini diambil dan jangan sampai mereka keluar dari gedung ini." Danny memberi perintah pada si satpam. "Eh, seenaknya saja kau membiarkan orang asing menggendong anakku." Eza maju selangkah dan langsung ditahan oleh Danny. "Kau tak boleh mendekat sebelum mem
"Mama sedih?" Lily bertanya dengan wajah cemberut. Seharian ini Eza cemas setengah mati. Dia takut, tiba-tiba Danny datang dan mengambil semua anaknya. Bahkan mungkin Lily juga akan dipisahkan darinya. Bahkan Eza sempat berpikiran ingin pulang ke Indonesia. Belum lagi Cassie si babysitter keceplosan tentang Danny dan membuat Ayah Attha mengamuk. Lalu Liliy menyadari kecemasan sang ibu. Mungkin Lily tidak sepandai dua saudaranya yang lain, tapi anak itu sangat peka. Rasanya hampir menyamai kepekaan tingkat dewa Gita, sahabatnya. Atau mungkin melebihi. "Gak kok,Nak." Eza tersenyum meyakinkan Lily. "Mama sedih." Kali ini bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Eza mendesah. Tidak tahu bagaimana harus menjawab anaknya itu. Lily pada dasarnya jarang berbicara, tapi sekalinya bicara kata-katanya pasti selalu tepat sasaran. Seperti sekarang ini. Eza sebenarnya tidak sedang sedih, tapi dia memang tampak menyedihkan. Itu sangat terlihat dari rambutnya yang acak-acakan. Eza yang baru semenit
"Apa maksudmu?" Eza berteriak tidak peduli jika hari masih pagi dan suaranya mungkin bisa membangunkan anak-anak. "Kau sudah menandatangani kontraknya, Kak. Tidak bisa batal lagi. Kecuali kau mau bayar tiga kali lipat dari harga kontrak dan harus dibayar satu kali. Tidak boleh dicicil." Eli menjelaskan dengan nada santai. "Kau gila? Bagaimana caranya aku mengumpulkan uang tiga jutaan dollar? Itu setara empat puluh milyar," teriakan Eza tidak kunjung mereda. Sekarang dia malah berjalan mondar-mandir sambil menempelkan ponsel di telinga. "Itu bukan urusanku lagi, Kak. Sori aku tidak bisa membantu." "Kau tidak bisa meminjamiku uang?" tanya Eza frustasi. "Kalau satu atau dua milyar mungkin masih bisa kupinjamkan, tapi empat puluh? Maaf saja," jawab Eli masih dengan gaya santainya. "Jalani sajalah, Kak. Kak Eza bisa hidup enak hanya dengan kontrak itu. Apalagi kalau pulang ke Indonesia. Uang sejuta dollar itu bisa banget buat beli dua atau tiga yacht mewah." "Brengsek, aku ti
"Lily mau ke mana?" Liam yang akhirnya berhasil mengejar saudara perempuannya, mencengkram tangan Lily dan bertanya. Lily tidak menjawab dan hanya menunjuk ke seberang jalan. Leon mengikuti arah telunjuk saudarinya dan bisa melihat seseorang memeluk boneka beruang besar. Mungkin lebih tinggi dari Lily. "Beruang?" tanya Liam dan Lily mengangguk dengan antusias. "Kita mau ke mana?" Leon yang datang sedikit terlambat bertanya dengan napas sedikit tersengal. "Ikut beruang," jawab Liam asal saja. Melihat Leon yang bingung, Lily kembali menunjuk ke seberang jalan. Begitu melihat boneka beruang, Leon langsung mengangguk mengerti. "Mau?" tanya Leon pada Lily. Dan saudarinya itu mengangguk antusias. "Leon ambilkan." Leon membalas dengan penuh percaya diri. Tapi baru saja mau melangkah, beruang itu sudah menghilang dari pandangan. Lily menarik-narik lengan baju Leon untuk meminta perhatian. Lebih tepatnya meminta Leon untuk mengikutinya. Tanpa banyak tanya, Leon dan Liam mengg
"Astaga, Dan. Kenapa lama sekali baru mengangkat telepon? Sudah sepuluh menit berlalu sejak aku meneleponmu," Eli mengeluh begitu mendengar suara Danny.Danny baru saja kembali ke kamar rawat inap setelah memeriksakan diri sekaligus jalan-jalan tak tentu arah di rumah sakit, ketika mendengar ponselnya yang diletakkan di atas nakas berdering. "Memangnya ada hal penting apa?" Danny bertanya dengan nada malas-malasan, sambil naik kembali ke atas ranjang. Danny hanya perlu sehari untuk bisa berjalan kembali secara normal, setelah medapat serangan brutal dari Mary. Tidak ada masalah berarti pada 'benda pusakanya', tapi dokter tetap menyarankan untuk mengistirahatkan diri dari aktifitas ranjang. Tidak masalah bagi Danny, karena dia sudah lama vakum 'melakukannya.' Danny juga sebenarnya sudah bisa pulang begitu pemeriksaan lanjutan menyatakan dia baik-baik saja. Tapi dia masih ingin malas-malasan di rumah sakit. Mungkin sekalian memikirkan soal Mary dan anak-anak. "Hei, apa kau mendeng
"Apa yang kau temukan?" tanya Danny pada Ian lewat panggilan telepon. "Apa maksudmu?" tanya Ian dengan nada bingung. "Aku bertanya soal anak-anakku brengsek. Mereka hilang di area gedung kantormu." Danny mendesis marah. "Santailah sedikit, Bung. Kami masih mencarinya. Dan hei, ini juga gedung kantormu." Ian terdengar kesal saat membalas kata-kata Danny. "Mana bisa aku santai ketika anakku hilang?" tanya Danny makin kesal dengan kata-kata sahabatnya. "Kau mengakuinya sebagai anakmu?" Suara Ian terdengar lirih. "Aku sudah lihat CCTV. Memang mirip denganmu sih, tapi siapa yang tahu kan?" "Apa maksudmu brengsek? Mereka anakku," jawab Danny dengan nada suara naik satu oktaf. "Oke, sorry." Ian memilih untuk mengalah. Ian cukup tahu sifat sahabatnya yang satu itu. Danny jarang marah walau mulutnya kadang cukup pedas. Jadi ketika intonasi suaranya naik seperti itu, bisa dipastikan Danny benar-benar marah. Hal yang harus dihindari adalah memprovokasinya lebih lanjut. Karena itu Ian
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel