"Apa kau sudah gila?" Tony berteriak marah pada Isabella."Kecilkan suaramu, Kak. Kita lagi di tempat umum." Isabella berdesis marah.Sudah cukup dirinya dijadikan bulan-bulanan kemarin di kantor. Dia tidak mau lagi mengalami hal yang sama hanya karena suara keras Tony."Sudah kukatakan padamu, aku tidak mau melakukan hal gila. Itu kriminal, Vampir." Tony sempat melihat sekelilingnya sebelum berbisik pada Isabella."Ayolah, Kak. Ini satu-satunya jalan." Isabella ikut berbisik."Masalahnya adalah otakmu itu kosong. Pura-pura hamil ketika kau tidak pernah tidur dengan siAlan itu? Ide yang sangat cemerlang."Isabella memejamkan mata dengan penuh amarah. Dia sudah memberitahu Tony soal idenya yang gagal itu, tapi tak menyangka lelaki itu juga akan menertawakannya. Atau tepatnya, otak Isabella benar-benar tak ada isinya jika berpikir tidak ada yang akan menertawakannya."Kau tidak punya hak untuk menolak, Kak. Ingat uang yang diinvestasikan ke perusahaanmu." Isabella memberikan ancaman."M
"Eza."Perempuan remaja masih dengan seragam putih birunya berbalik ke arah datangnya suara, mencari tahu siapa yang memanggil. Orang yang memanggil langsung menubruknya dan memeluknya erat."Astaga Dina. Harus banget ya main tabrak-tabrak?" Eza langsung protes pada saudara kembarnya itu."Gimana ni, Za. Aku takut banget." Madina Felia Atthallah alias Dina, menagis terisak-isak dipelukan saudara kembarnya."Apa sih Din? Takut kenapa?" tanya Eza penasaran."A-Aku …. " Dina terbata-bata. Kesulitan bicara karena tangisannya yang begitu keras membuatnya kesusahan."Hei, sekarang coba kamu berhenti nangis dulu deh, Din. Abis itu baru cerita sama aku." Eza mencoba untuk menenangkan dan dijawab dengan anggukan pelan, berusaha menahan tangisannya.Dua saudara kembar ini sedang duduk di teras tempat mereka les. Mereka sedang menunggu dijemput oleh sang ayah.Walaupun wajah mereka nyaris sama, banyak yang bisa membedakan dua anak perempuan ini. Eza terlihat lebih tomboy dan Dina lebih kalem. D
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Eza. Ayahnya menampar dengan sangat keras dan penuh amarah, bahkan sang ibu tidak repot-repot mau membela putrinya itu. Mereka ketahuan. Bahkan Eza belum menemui Tony. Tapi entah bagaimana, Atthallah-sang ayah menemukan test pack yang disembunyikannya. Eza yang memegang benda itu, sehingga dirinyalah yang langsung diseret untuk dihakimi. Dina sendiri masih keluar karena disuruh belanja oleh sang ibu."Apa Ayah pernah mengajarimu untuk bergaul sebebas ini?" Attha berteriak marah sambil menunjuk-nunjuk putrinya yang terdiam."Siapa pria brengsek yang melakukan ini?" Attha masih membentak-bentak dengan sangat gusar. Sementara sang ibu hanya bisa menatap anaknya dengan nanar."Jawab Eza." Attha berteriak makin kencang.Eza bergeming. Tidak ada yang bisa dia katakan karena memang bukan dia yang melakukan. Namun dia juga tidak mau membawa-bawa Dina. Saudarinya itu sudah cukup stres, Eza tidak mau membuat Dina makin stres. Satu-satunya yang bisa d
Seharian ini Eza merasa gelisah. Sejak pamit berangkat ke sekolah tadi pagi, entah mengapa hatinya tidak tenang. Tidak. Bahkan sejak semalam tidurnya sudah gelisah. Sungguh tak ada yang bisa dilakukannya dengan benar sedari pagi.Pagi tadi tidak sengaja Eza memecahkan piring. Dalam perjalanan ke sekolah, dia juga nyaris saja ditabrak motor karena jalan sambil melamun. Selama jam pelajaran Eza juga tidak fokus, bahkan sampai ditegur berkali-kali oleh guru.Satu-satunya yang menghibur Eza adalah pesan singkat yang dikirim oleh Dina. Saudarinya menyatakan bahwa ayah dan ibu Tony sangat baik. Dina bahkan dibawa menemui keluarga yang lain. Lagi-lagi, Dina membicarakan soal pernikahan, juga meminta Eza untuk berbahagia. Eza tersenyum saja melihat pesan yang dikirimkan saudaranya. Dirinya ikut bersyukur dan bahagia untuk kembarannya.Dina dan Eza sedari kecil memang diperlakukan berbeda. Karena Eza lebih tomboy dan aktif, dia akan lebih banyak kena masalah dan selalu dimarahi. Sementara Din
"Ada apa denganmu?" Gita bertanya begitu melihat sahabatnya muncul di kantornya pagi ini.Pagi ini Eza mengenakan kaos turtle neck lengan panjang dan celana panjang. Bahkan leher kaosnya menutupi keseluruhan leher perempuan itu. Jujur saja, Gita merasa heran dengan pakaian sahabatnya yang luar biasa tertutup itu. Tidak seperti biasanya dan membuat dirinya yakin ada sesuatu yang terjadi dengan sang sahabat.Sayangnya, Eza tidak langsung menjawab pertanyaan Gita dan memilih duduk di hadapan sahabatnya, bukannya di sofa seperti biasanya. Tapi karena yang empunya ruangan agak sibuk, ada jeda beberapa saat sebelum ada yang bersuara."Jadi kau kenapa?" tanya Gita sambil kembali mendongak sebentar, untuk melihat ekspresi sahabatnya."Kau sungguh ingin tahu?" tanya Eza sok penting."Kalau kau tidak mau menjawab ya sudah. Paling kau sedang demam saja." Gita menjawab dengan santai, bahkan dia sudah kembali sibuk."Coba kau lihat ini." Eza berdiri dari kursi dan mengangkat kaosnya, memamerkan b
Eza menatap penampilannya di cermin. Memastikan tidak ada bekas kemerahan dua hari lalu terlihat di tubuhnya. Dia memakai dress lengan panjang selutut dengan bahan melekat sempurna di tubuhnya"Ok. You can do this, Za." Eza bergumam pelan dan menatap dirinya di cermin untuk terakhir kalinya.Perempuan itu mengendarai ferari merahnya menembus jalan kota Jakarta yang selalu macet. Hari ini, Eza sengaja keluar lebih cepat agar bisa sampai tujuan ke Heaven tepat pada waktunya, salah satu klub malam terbaik.Eza menghembuskan napas dengan pelan, dia sudah menyusun rencana. Walaupun dia cukup yakin dengan rencananya, dia masih ragu-ragu. Ada begitu banyak celah dalam rencananya dan dia bisa saja gagal.Eza sengaja duduk di tempat yang mudah terlihat, seperti di depan bartender. Kebetulan saja bartender itu mau berkompromi dengan Eza. Tentu dengan bayaran yang cukup mahal.Minuman yang dipesan Eza sudah ada dihadapannya. Hanya segelas wine saja, tapi dia belum mau menyentuhnya. Selain karena
Gita mengerjap pelan mendengar suara ponselnya yang berdering nyaring. Dengan malas dirabanya nakas terdekat dengannya untuk mematikan ponselnya. Sayang sekali bunyi yang dia kira alarm ternyata merupakan panggilan masuk. Dengan kesal, Gita terpaksa menggeser tombol hijau."Halo," seru perempuan yang masih setengah sadar itu dengan suara parau."Jam segini kau masih tidur, Ta? Main berapa ronde sih semalam?" suara pelan Eza terdengar di telinga Gita."Aku akan membunuhmu kalau kau menelpon untuk urusan yang tidak penting," jawab Gita galak meski belum sepenuhnya sadar."Apa kau mau menjemputku di kantor polisi?""Kenapa harus aku ya .... " Kata-kata Gita terhenti, mencoba mencerna apa yang dia dengar dan langsung bangkit dari posisi tidur telentangnya menjadi duduk bersila. "Bagaimana bisa kau ada di kantor polisi?""It's a long story. Nanti saja kujelaskan. Sekarang pergilah mandi dan jemput aku," jawab Eza dengan tidak bersemangat. "Oh, tapi tolong jangan sampai kau dan Alan main di
"Kau gila?" Gita menghardik sahabatnya. "Bagaimana bisa kau menggunakan dirimu sendiri untuk membawanya ke penjara?"Eza hanya mengangguk pelan sembari menyesap hot vanilla latte dan menggigit croffle originalnya. Tadi Alan juga menyempatkan diri memesan menu brunch untuk mereka semua, karena lelaki itu masih belum cukup hanya sarapan susu kemasan berukuran mini.Saat ini Eza juga sudah duduk cantik di depan meja makan, di dalam kamar suitenya di rumah sakit. Memang ada beberapa luka lebam yang terlihat di tubuh Eza, sehingga tidak mengherankan bagi publik jika dia terlihat rawat inap di rumah sakit.Selain luka lebam di pergelangan tangan kanan, ada juga bekas cekikan di leher. Bahkan di daerah pribadi Eza juga mengalami luka lecet yang cukup parah, sehingga membuatnya kesulitan berjalan. Sepertinya obat yang diberikan Eza terlalu mujarab."Apa kau tidak ada otak? Menurutmu kalau kau terlihat bergairah di CCTV klub, netizen akan membelamu?""Masalahnya itu tidak terjadi, Ta. Menurutm
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel