Walau tadi pamit ke kantin, Gita nyatanya hanya duduk di barisan kursi panjang dengan bantalan empuk di luar kamar Eza. Masih banyak yang ingin ditanyakan pada sahabatnya, tapi dia perlu memberi sang sahabat waktu untuk berbicara dengan kedua orang tuanya. Karena Gita merasa dia belum boleh meninggalkan rumah sakit. Jadinya dia menunggu bersama Alan di luar.Perempuan itu menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Dia cukup terkejut karena orang tua Eza tidak lama berada di dalam. Tidak sampai setengah jam malah. Makin kaget ketika tiba-tiba Shanti-ibu dari sang sahabat terduduk di lantai dan menangis tersedu-sedu. Bahkan Attha juga terlihat sedih ketika berusaha menenangkan istrinya.Alan dan Gita refleks berdiri dan mendekati kedua orang itu, ikut berjongkok dan berusaha membujuk Shanti untuk pindah ke kursi panjang terdekat dan membiarkannya melanjutkan tangisnya."Saya bisa minta tolong pada kamu?" tiba-tiba saja Attha bertanya pada Gita setelah diam nyaris sepuluh menit. Sela
Demi apa pun juga. Alan sudah mengumpat puluhan kali di dalam hati. Entah sudah berapa kali dirinya mencuri pandang ke arah Gita yang duduk tepat di sampingnya pagi ini. Yang paling parahnya, Julie yang ikut sarapan bersama menyadarinya."Kamu kenapa, Al? Kok melirik ke arah Gita terus?" tanya Julie dengan senyum mengembang."Hah?" seru Alan canggung. "Gak kok Mom. Cuma perasaan Mom aja kali." Alan segera mengambil gelasnya dan menandaskan isinya dalam sekejap, akibat terlalu canggung.Alan yang tidak sengaja berbalik dan bertatapan dengan Gita. Sialnya wanita itu sedang menatapnya penuh tanya. Dengan terpaksa, lelaki itu hanya memberikan senyum seadanya, sebelum kembali fokus pada sarapan paginya.Alan berpikir mungkin dirinya hanya sekedar terdistraksi akibat pertanyaan dan kelakuan Gita kemarin. Oleh karena itu, Alan berusaha mati-matian melupakannya. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya.Setiap mendengar nama Gita disebut, Alan langsung teringat lagi. Apalagi kalau sampai bertemu l
Alan terkejut melihat Gita sudah tidak ada di kamar ketika dirinya terbangun. Ini adalah hal yang sangat langka, mengingat perempuan itu tidak pernah bangun kalau bukan Alan yang membangunkan. Dia makin terkejut ketika melihat Gita sedang menata meja makan dalam keadaan sudah rapi."Sudah bangun?" tanya Gita dengan senyum sangat samar. "Aku memasak nasi goreng ikan asin kesukaanmu. Pakai jagung dan kacang polong, sesuai pesananmu." Gita menambahkan sebelum Alan menjawab pertanyaannya."Sorry?" tanya Alan sedikit bingung, sambil menarik kursi dan duduk di tempatnya yang biasa."Aku memasak sarapan pagi sesuai permintaanmu kemarin, Alan," jawab sang istri, terdengar sedikit kesal.Masalahnya adalah Alan tidak ingat dia meminta dimasakkan nasi goreng ikan asin pakai jagung dan kacang polong. Alan memang ingat Gita menanyakan makanan favoritnya, tapi Alan yakin tidak meminta sang istri untuk membuatnya."Rasanya aku tidak minta dibuatkan," Alan menyuarakan pikirannya dan membuat Gita makin
Setelah kelakuan manis Gita sepanjang pagi sampai siang hari ini, Alan merasa intensitasnya melirik ke arah sang istri makin tinggi. Bahkan kadang-kadang dia menatap kosong ke arah pintu ruangan Gita.Bukan hanya sekedar menatap saja dan melirik saja. Alan juga sudah mulai punya pemikiran aneh, seperti masuk ke ruangan Gita dan bekerja berdua di dalam. Lelaki itu menggeleng cepat dan mengerjap beberapa kali, merasa ngeri dengan pikirannya sendiri.Alan mulai mengatur nafas dan menenangkan dirinya sendiri. Berusaha meyakinkan diri bahwa dia hanya sedang halu karena kelelahan. Mungkin karena sikap Gita yang tiba-tiba jadi baik."Kau hanya terpengaruh dengan sikap manis Gita, Alan. Gak lebih gak kurang," Alan bergumam pelan dan langsung mengumpat pelan. Dia barusan mengatakan Gita manis? Yang benar saja? Sepertinya Alan harus mulai fokus dengan pekerjaannya dan melupakan semua pikiran gilanya.Tadinya Alan pikir dia sudah kembali waras. Dia juga berpikir Gita akan kembali normal, tapi k
Gita menatap jalanan sepi di depannya, kemudian kembali menatap layar ponselnya. Memeriksa kalau saja dirinya melakukan kesalahan."Udah sesuai map kok. Masa Alan salah titik sih?" Gita bergumam pelan sambil kembali menatap ponselnya.Sekitar dua puluh menit lalu, tak lama setelah Alan pamit untuk mengunjungi tim PR, Gita menerima chat dari sang asisten. Lelaki itu memintanya untuk pergi ke suatu tempat dan meminta Gita menunggu di sana.Karena Alan yang mengiriminya pesan, Gita tidak menaruh curiga dan merasa senang akan diajak kencan. Dia pun segera bergegas, ketika Alan sudah mngirimkan lokasinya. Gita bahkan rela naik ojek online agar bisa lebih cepat sampai.Lalu di sinilah dia berada. Di depan sebuah gang sempit yang sepi. Bahkan setelah melihat lokasi ini, Gita masih mempercayai Alan."Mungkin maps-nya bermasalah. Biar kutelepon saja dia."Baru Gita mau menekan tombol telepon di aplikasi chatnya yang terbuka, seseorang merebut benda pipih itu dengan cepat. Membuat Gita refleks
"Pak, kami menemukan lokasi terakhir ponsel Bu Gita." Rian memanggil Alan kurang dari lima menit kemudian. "Letaknya di sebuah gang sempit, sedikit jauh dari sini.""Periksa CCTV di sekitar sana," Alan memberi perintah yang tegas."Sudah di cek Pak, tapi tidak ada kamera yang menyorot langsung ke gang itu. Kamera di sekitarnya cukup buram, jadi kami sedikit kewalahan." Kali ini Marco yang menjawab. "Akan coba saya lihat lagi, Pak."Alan mengangguk pelan pada Marco. Dia harus bersyukur karena tim IT perusahaan mereka sangat mumpuni, walau hanya beranggotakan sepuluh orang, belum termasuk Jelita, Alan dan Gita, juga dua orang admin."Pak, saya sudah mengurai pesan di chat yang terhapus." Nia memberikan tablet miliknya pada Alan."Sepertinya seseorang mengirimkan pesan dari ponsel Pak Alan. Saya juga sudah melihat CCTV kantor sesuai permintaan Pak Alan."Alan mengangguk memandang tablet itu. Sesuai dugaannya memang Isabella yang mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Gita, memintany
Alan mengetukkan jarinya pada kemudi mobil dengan tidak sabaran. Hari masih bisa dibilang pagi, tapi jalanan sudah macet. Padahal tinggal sedikit lagi dia sampai di tempat tujuannya.Sudah sejak sepuluh menit tadi Marco mengirim titik GPS dari jam tangan pintar Gita. Sudah selama itu pula Alan terjebak macet yang membuat dirinya mulai tidak sabaran. Umpatan demi umpatan sedari tadi keluar dari mulutnya. KAlau tahu akan macet begini, harusnya tadi Alan naik ojek online saja.Degupan jantung Alan makin kencang seiring berjalannya waktu. Dirinya makin gelisah memikirkan Gita yang sedang dalam bahaya seorang diri. Terutama karena Tony yang menjadi pelaku. Memikirkannya saja Alan sudah ingin meninju lelaki itu.“Woi, yang di depan cepatan.” Alan tak kuasa menahan diri dan memilih untuk meneriaki kendaraan di depannya.Walau penuh kekesalan, tapi ada satu hal yang setidaknya patut disyukuri. Selama terjebak macet, Alan jadi punya waktu untuk berpikir tentang perasaannya pada Gita. Pada aw
Gita melangkah ceria di koridor sekolahnya. Dirinya sedang mencari-cari sang kekasih, yang sudah dipacarinya selama lima bulan belakangan, karena mau memberitahu kabar gembira pada lelaki itu.Perempuan itu menemukan sang kekasih dan teman-temannya duduk di dekat gudang sekolah. Menghindari hingar bingar pensi yang sedang berlangsung di halaman utama."Jadi, bagaimana pacarmu itu? Bisa diajak main gak?" tanya salah seorang teman Zayn-pacar Gita."Boro-boro diajak main, dicium aja gak mau. Kalau bukan karena banyak duit, sudah kuputuskan dari dulu."Gita membeku mendengar percakapan dengan suara keras itu. Dia refleks bersembunyi di balik salah satu pohon, agar tidak terlihat oleh Zayn dan kawan-kawan."Makanya, kan udah kubilang percuma berhubungan sama si cupu itu." Itu suara yang dikenali Gita. Itu suara Reina, satu dari sekian orang yang dianggapnya sahabat."Hei, tapi bodinya Gita itu luar biasa tahu. Berisi depan belakang." Zayn yang lebih tua dua tahun itu kembali berbicara."Ta
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel