"Biar kuiingatkan sekali lagi Tuan dan Nyonya Alan Adipramana. Ini rumah sakit loh, tempat umum. Tempat untuk berobat, bukan untuk mesum."Alan kembali mengumpat dan melepaskan pelukannya dari Gita. Dia menurunkan pembatas ranjang yang menahannya agar tidak jatuh dan duduk di pinggiran ranjang, sementara sang pasien masih dengan posisi tidur dan wajah cemberut."Seriously? Kalian beneran mau ngapa-ngapain?" tanya Eza tidak percaya. "Wah, untung Mbak Perawat gak jadi masuk. Kalau nggak pasti sudah sakit mata." Perempuan itu berbalik ke sebelah kirinya untuk berbicara.Perawat yang memang sedari tiga puluh menit lalu batal masuk, melongokkan kepala dari balik pintu. Siapa juga yang mau masuk ketika pasiennya sedang bermesraan dengan suaminya? Ketika dua orang itu hanya tidur berpelukan saja, para perawat sudah malu-malu sendiri untuk melakukan pemeriksaan, apalagi kalau mereka tengah curhat sambil berpelukan. Mungkin hanya Eza yang cukup gila untuk melakukan itu."Loh, ngapain semua or
"What the hell are you saying right now?" tanya Eza dengan mata membulat tidak percaya.Hanya perlu waktu beberapa menit untuk Gita dan Eza berbaikan. Julie juga lebih memilih berangkat ke kantor karena kesal dengan kelakuan putrinya, sementara Alan ke kantin rumah sakit untuk mencari makanan."Alan ternyata adalah orang yang menolongku dulu. Waktu kejadian di SMA dulu, sebelum kita pindah." Gita enggan mengatakan kejadian itu secara detail dan gamblang. Dia mungkin sudah terlihat baik-baik saja, tapi masih ada trauma yang tersisa."Serius? Kenapa aku tidak mengenalinya?" tanya Eza makin membulatkan mata."Jangankan kau, Za. Aku saja gak mengenalinya. Atau lebih tepatnya melupakan bagaimana tampangnya dulu.""Harusnya aku yang lebih bisa menyadarinya, Ta. Kondisimu saat itu lebih tidak memungkinkan untuk mengingat apa pun."Gita tersenyum tipis. "Sayangnya ingatanku sangat bagus, Za. Tapi, justru aku tidak terlalu mengingat orang yang sangat penting bagiku. Malah yang lain yang terin
Setelah perdebatan panjang dengan orang tuanya dan terutama Alex, Gita akhirnya bisa pulang keesokan paginya. Sesuai permintaan Gita, hanya ada Alan dan sopir yang menemaninya pulang."Ada apa? Kok belum turun?" Alan bertanya karena setelah dibukakan pintu, Gita hanya duduk di sana sambil melihat Alan membantu sang sopir menurunkan barang yang tidak seberapa."Aku mau digendong dong," gumam Gita manja, membuat sang suami terkekeh mendengarnya."Tumben banget nih tuan putri manja banget." Alan menyandarkan kedua tangannya pada kursi jok tempat Gita duduk, membuat mereka berdua saling berhadapan."Mumpung lagi dianggap pasien, jadi aku pengen manja maksimal. Lagian manjanya juga sama suami sendiri."Alan tersenyum tipis mendengar Gita menyebutnya sebagai 'suami'. Dia sudah mendengar ini berulang kali dari kemarin, tapi tetap saja membuat hatinya bahagia.Setelah dua hari lalu Alan dibuat ketakutan karena Gita diculik, dia jadi banyak berpikir. Hal yang membuat Alan tersadar kalau dia s
Seperti yang dijanjikan Gita, selama dua hari dia beristirahat di rumah. Lebih tepatnya bekerja dari rumah. Sebenarnya tidak terlalu banyak yang dikerjakan, tapi ada beberapa pekerjaan yang sudah hampir deadline.Lalu seperti yang dikatakan perempuan itu sebelumnya, Alan sekarang tidur bersamanya di ranjang. Benar-benar hanya tidur saja, tidak melakukan hal lain. Ingin melakukan hal lain pun tidak bisa karena Gita sedang tanggal merah. Selain itu, Alan juga tidak cukup tega melakukan apa-apa karena takut Gita masih trauma. Nanti saja, setelah sang istri merasa lebih baik.Karenanya hari ini rutinitas pagi dijalani seperti biasa, tapi dengan cara yang berbeda. Alan bangun lebih dulu seperti biasa dan membangunkan Gita, dengan cara diberi kecupan bertubi-tubi di pipi dan bibir. Hal itu membuat Gita sampai langsung tertawa begitu terbangun.Alan masih mandi duluan, tapi ketika keluar kamar mandi pakaian kerja Alan sudah tersedia di atas ranjang. Sementara Gita pergi menyiapkan sarapan p
Isabella berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk BG kantor pusat. Sudah seminggu berlalu, ketika dirinya yang sedang bekerja tiba-tiba diseret ke kantor HRD dan dipecat dengan tidak terhormat.Isabella berpikir dirinya selamat dari kasus penculikan Gita, tapi nyatanya tidak seperti itu. Sehari setelah kejadian dan ultimatum Erik, dia malah dipecat. Sekarang? Masuk ke BG saja tidak bisa, bagaimana mau minta tolong pada Alan?Setahu Isabella, Alan dan Gita biasanya turun di lobi. Jadi satu-satunya cara agar bisa bertemu Alan, hanyalah menunggu di depan pintu masuk."Mas Alan." Isabella langsung berteriak senang begitu melihat Alan turun dari mobil. Sayangnya senyuman itu segera hilang begitu dia melihat sang mantan mengulurkan tangan, membantu Gita turun dari mobil dengan penuh perhatian. Dengan sangat kesal dan marah, dia berlari kecil menghampiri pasangan itu dan mendorong Gita. Tidak menyadari kehadiran Isabella, Gita yang tidak siap hampir saja terjatuh. Untung saja Gita belum
"Al?""Ya, Ta kenapa?" Alan berteriak dari dalam kamar, menjawab Gita yang ada di walk in closet."Boleh tolong bantu tarik resletingnya? Aku gak nyampai." Gita berjalan dari walk in closet sudah dengan dandanan lengkap, minus tas tangan dan baju yang belum sempurna.Hal itu membuat Alan yang baru keluar dari kamar mandi berdecak pelan. Dalam keadaan begitu saja, dia sudah tertegun melihat sang istri yang terlihat makin cantik. Belum lagi ketika Alan dihadapkan dengan punggung putih mulus istrinya."Al?" Gita memanggil suaminya lagi."Hah? Ya?""Aku minta tolong resleting bajuku, Al. Kamu kenapa sih bengong mulu?"Alan berdehem pelan setelah mengatakan permohonan maaf karena suaranya sedikit serak. Dengan hati-hati dia membantu Gita. Sebisa mungkin Alan berusaha tidak menyentuh kulit istrinya, namun gagal.Gita menahan napas ketika kulitnya bersentuhan ringan dengan tangan Alan. Dirinya tidak bisa memungkiri kalau dia juga sebenarnya sudah ingin, tapi acara malam ini membuatnya harus
Julie dan Isabella refleks menoleh ke arah Erik dan Anton, kemudian beralih ke Alan. Menatap tiga orang itu bergantian. Alex tidak lagi terkejut dengan fakta itu, karena dia sudah menyelidiki tentang Alan dan menyimpan informasi itu untuk diri sendiri."Mungkin Mas Alex, Mbak Julie dan Gita mungkin belum tahu. Tapi, saya ini bukan ayah kandung Alan. Beliau ini yang ayah kandung Alan." Anton memberikan penjelasan panjang lebar yang makin membingungkan.Bukan bingung karena tidak mengerti, tapi karena hubungan yang disebutkan barusan sangatlah berbelit. Berbelit layaknya benang kust, yang membuat pusing."Pak Erik mungkin sudah tahu, Alan sudah menikah dengan Gita. Putrinya Mas Alex dan Mbak Julie." Anton kembali menjelaskan.Alan tidak mengerti, kenapa juga ayah tirinya harus repot menjelaskan pada orang di depannya itu. Erik selama ini tidak pernah menganggapnya ada, bahkan mungkin baru mengingat dirinya beberapa menit lalu."Oh, benarkah?" tanya Gita pura-pura kaget. "Benar begitu, A
"Ke mana sih anak itu?" Eza bergumam kesal sembari mencari Gita di tengah kerumunan tamu pesta.Begitu mendengar Gita akan menghadiri pesta ulang tahun perusahaan sampai selesai, Eza yang tiap tahun dapat undangan namun tidak pernah hadir, malah mengikuti jejak sahabatnya. Eza khawatir dengan sang sahabat, apalagi dengan tamu undangan yang sebanyak ini."Ah, sialan. Tahu begini aku tidak akan datang." Eza langsung mengeluh ketika melihat Gita dan Alan berjalan berdampingan, menuju ke araha pintu keluar.Eza baru saja akan menyusul pasangan itu, ketika dia melihat sosok familiar mendekat ke arah pintu. Umpatan refleks keluar dari bibir penuh milik Eza. Niatnya, dia ingin segera mengarah ke pintu keluar, tapi beberapa orang menahannya dan mengajak berfoto bersama.Sayang sekali dia agak terlambat. Ketika Eza berhasil keluar, dia sudah melihat sang sahabat beserta suami, berhadapan dengan lelaki yang tadi dia lihat."Hei, menjauh dari Gita." Eza berteriak dan mendorong lelaki itu dengan
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel