“Kau menghancurkan segalanya, Sweetie,” cicit Aiden lemah.
Stephanie menggeleng. Memegang tangan Aiden supaya Aiden mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. “Maaf,” kata Stephanie tidak enak. Baru saja dia meminta maaf tadi pagi dan kali ini Stephanie mengulanginya. Dan topiknya masih sama, karena Amanda. Stephanie bukan bermaksud menghancurkan segalanya. Pertanyaan itu terlintas begitu saja dan anehnya malah keluar dari bibirnya.
“Itu tandanya kau masih belum percaya padaku,” jelas Aiden. Dia membuang napasnya panjang. “Lalu kenapa kau minta maaf tadi pagi?”
Stephanie semakin kalang kabut. Pertanyaan Aiden jelas membuat Stephanie tak berkutik. Apalagi dengan manik cokelat yang semakin menajam. Itu membuat Stephanie malah semakin takut.
“Aiden—”
“Aku mau kita berhenti membicarakan ini.” Stephanie men
Aiden menggerakkan tangannya, menyuruh Xander untuk segera keluar dari ruangan yang terdapat di dalam sebuah restoran. Segera Xander keluar layak seorang anak yang menurut pada ibunya. Barulah setelah itu Aiden melirik perempuan yang sedang duduk menghadap dengan dirinya. Perempuan itu tersenyum, tapi anehnya membuat emosi Aiden malah memuncak. Perasaan sesak mulai menghinggapi Aiden kala dia sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan Amanda.“Kenapa kau memanggilku ke sini?” Amanda segera mengeluarkan pertanyaan. “Kau rindu denganku?”Aiden meremas tangannya kala mendengar pertanyaan itu. Rindu ... tak pernah sekalipun Aiden mengizinkan dirinya merindukan perempuan licik yang tega meninggalkannya dengan penuh luka.“Buang jauh-jauh pemikiranmu itu,” tegas Aiden. Dia menatap tajam Amanda. “Apa tujuanmu datang ke sini setelah dua tahun berlalu?”Amanda
Setelah acara makan malam selesai, Ransom langsung menyuruh Aiden untuk menemuinya di ruang kerja Ransom. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh Ransom sebelum menyambut hari besar esok— hari pernikahan Aiden dan Stephanie. Dan Ransom sama sekali tidak menemukan alasan mengapa Aiden mempercepat semuanya .... Maka dari itu dia berniat membicarakan masalah ini dan mengabaikan sejenak tentang perselisihan yang mereka miliki.Aiden tidak berniat untuk mendudukkan bokongnya di salah satu kursi. Dia tetap berdiri sambil bersedekap dada. Mengarahkan pandangan ke Ransom yang sedang bersandar di kursi kebesarannya. “Katakan apa yang ingin kau bicarakan.” Aiden berucap langsung. Dia tidak ingin tinggal lebih lama di ruangan ini.Ransom mengangguk. Menarik napas panjang, lalu membuang. “Apa alasanmu mempercepat pernikahan ini?”Aiden memutar bola matanya jengah. “Ini bukan waktu yang te
Stephanie berjalan menyusuri lorong gereja yang telah dipermak sedemikian rupa dengan karpet merah yang langsung menuju ke arah podium. Di sana terdapat Aiden dengan seorang pendeta. Tak hanya musik yang indah sebagai peneman, Erland juga ikut menemani Stephanie menuju ke arah podium. Kilatan-kilatan cahaya yang berasal dari beberapa kamera juga ikut menyambut mereka. Tak lupa Stephanie memberikan senyumannya kepada setiap orang yang berdiri dari kursinya.Aiden berdiri dengan gagahnya di depan sana. Dia menatap Stephanie tanpa berkedip sekalipun. Seolah tidak ingin melewatkan setiap gerakan yang Stephanie lakukan. Walau Stephanie menggunakan penutup wajah, itu tidak mengurangi kadar kecantikannya. Dan itu berhasil membuat Aiden mematung sampai suara pendeta membuat semuanya kembali seperti semula.“Tolong jaga putriku, Aiden.” Erland bersuara disaat Aiden sudah mendekat. Disaat Aiden menganggukkan kepalanya, disitu pula Erland m
Stephanie terbaring dengan pasrahnya di atas kasur empuk. Napasnya terengah-engah karena permainan memabukkan yang Aiden lakukan dari tadi. Dengan pandangan yang bergairah, Stephanie memberanikan diri untuk menatap Aiden yang berada di atasnya— duduk di kasur dan berhadapan langsung dengan tubuh Stephanie yang sudah dalam kondisi tidak terbalut apapun.Aiden mendekat dengan tatapan yang sama seperti Stephanie. Dia memberikan kecupan di kedua mata Stephanie yang terpejam. Dan dengan suara serak basah, Aiden berkata, “Ini sedikit sakit tapi akan terasa nikmat nanti .... Rileks, Sweetie.”Stephanie tidak bisa merespon apapun. Karena sungguh dia sangat takut disaat Aiden mengatakan ‘sakit’. Itu membuat seluruh badan Stephanie mendadak menegang. Dan apa yang Stephanie rasakan dapat dipahami baik oleh Aiden.Aiden tersenyum. Walau dia sudah ada dalam ujung tanduk— dimana gairahnya yang benar
Disaat Stephanie ingin bergerak meninggalkan ruangan itu karena tidak sanggup untuk menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya, suara Aiden terdengar. Membuat Stephanie mendongak, menatap Aiden dengan mata berkaca-kaca.Aiden menautkan kedua alisnya. Merasa bingung karena melihat mata Stephanie yang sudah ingin menumpahkan air matanya. Dalam hati Aiden menerka-nerka apa yang terjadi.Apakah Aiden membuat kesalahan?Tidak ingin berperang lebih lama dengan kepalanya, dia langsung mendekat. Sesaat ingin memegang bahu Stephanie, perempuan itu langsung bergerak mundur. Stephanie memeluk badannya sendiri. Seolah melindungi tubu
Stephanie tersenyum miris melihat bagaimana kondisi kamar yang ia tempati semalam. Gaun dan pakaian Aiden tercecer di lantai, ditambah lagi kondisi kasur yang sudah tak berbentuk itu berhasil membuat dirinya kembali ke keadaan semalam. Keadaan dimana dia sepenuhnya telah menjadi seorang wanita …. Harusnya dirinya senang karena telah melakukan itu dengan suaminya, tapi sayangnya sebuah fakta yang dirinya dengar membuat semuanya berbanding terbalik.Dia pun memilih untuk merapikan semuanya seperti sedia kala. Berharap dengan rapinya kamar ini membuat bayang-bayang kegiatan percintaan mereka lenyap …. Sayangnya tidak segampang yang Stephanie kira. Dan pada akhirnya Stephanie memutuskan untuk pergi dari kamar, tapi sesudah dia memutar knop pintu, pintu itu tak kunjung terbuka.
Setelah pelayan itu pergi dengan membawa pesan kalau sepasang suami-istri itu akan turun ke bawah menemui Sean. Aiden memilih berdiri, berjalan-jalan di kamar. Sejujurnya terbesit rasa kecewa pada Aiden disaat mendengar pernyataan yang mengejutkan dari Stephanie .... Istrinya tidak percaya kepadanya. Apa yang harus dilakukan Aiden kalau begitu?“Sweetie.” Panggilan yang Aiden berikan membuat Stephanie menarik pandangan. Aiden menghela napasnya saat melihat wajah cantik Stephanie yang sekarang malah memerah. Terlebih lagi matanya yang bengkak. Hal itu membuat Aiden semakin merasa bersalah .... Tapi ia bingung harus melakukan apa. Haruskah Aiden menenangkannya disaat dirinya juga tidak tenang karena pernyataan Stephanie? “Kau bisa cuci wajahmu, lalu kita turun ke bawah .... Sean tidak boleh mengetahui kejadian ini.”
Tetapi yang dilakukan Aiden malah sebaliknya. Dia menolak bantuan Stephanie dengan mendorong tubuh Stephanie pelan. Lalu mundur ke belakang dengan sempoyongan.“Apa kau pikir dengan bertindak seperti hari ini bisa menyelesaikan masalah?” Aiden membalik pertanyaan Stephanie. Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak .... Kau malah membuatnya semakin rumit. Kau bertingkah dengan seenaknya. Mengusirku dari mansion kita dengan alasan pekerjaan. Apa yang kau pikirkan? Apa kau ingin semuanya tahu tentang masalah kita? Kalau iya, selamat .... Sean, kakakmu yang kau banggakan itu sudah tahu!”Stephanie menggeleng. “Aiden ....”“Dan kau ingin menyangkalnya?” Lagi, Aiden memotong. Matanya sudah memerah. Ingin sekali Stephanie membawa Aiden ke kamar. Tetapi sayang, Stephanie masih ragu. Dia takut kalau Aiden akan menolaknya untuk kedua kali.“Katakan .... Apa aku
Stephanie menghela napasnya bosan melihat Aiden yang terus saja mondar mandir mengelilingi kamar.“Apa kau tidak akan mengizinkannya tidur?” Stephanie bertanya yang berhasil membuat Aiden berhenti.“Dia sudah tidur, Sweetie,” jawab Aiden dengan suara pelannya. Dia menoleh ke bayi yang ada dalam gendongannya lalu kembali ke Stephanie. “See … dia bahkan tidak bergerak sama sekali.”Stephanie yang awalnya kesal malah terkekeh kecil. “Ya, kau sangat hebat. Tapi sekarang dia membutuhkan mommy-nya. Kemarikan putraku, aku ingin tidur bersamanya sekarang!”Aiden merubah wajahnya menjadi masam. Tidak ada pilihan lain. Dia pun berjalan dengan pelan lalu meleta
“Ma—ma—ma—ma!”Wanita berambut seleher itu terkekeh kecil karena mendengar ocehan bayi yang berada dalam pangkuannya. Karena tak tahan, akhirnya wanita itu memberikan ciuman bertubi-tubi di pipi gembulnya.“Kenapa kau sangat lucu sekali, hm?” tanya wanita tersebut sembari mengangkat bayi perempuan yang terkekeh karena kegiatan tersebut.“Rasanya aku ingin mengurungmu disini,” lanjutnya sesudah memberikan lagi dot yang berisi susu.Bayu tersebut sontak terdiam. Terlihat jelas dirinya yang sedang berusaha menyedot susu itu. Tak lu
2 hari kemudian …Mata Aiden tak pernah luput dari Stephanie. Dia bersandar ke daun pintu dan tangan yang bersedekap.Entah sudah berapa lama Aiden terus memandang Stephanie, yang jelas dia tidak pernah meninggalkan perempuan yang sedang terduduk di ranjang rumah sakit dengan pandangan kosong itu.Setelah berperang dengan kepalanya— berusaha mengambil keputusan, Aiden kemudian berjalan mendekat. Mendudukkan setengah bokongnya di kasur yang Stephanie tempati. Meskipun demikian, Stephanie tetap tidak menyadari kalau Aiden sudah berada di sampingnya.
Pria dengan setelan jas itu duduk terdiam di ruangan tertutup salah satu restoran Jepang. Ruangan yang semulanya ingin digunakan untuk membahas proyek namun tak kunjung terjadi karena mereka mendapat kabar buruk. Pria itu terus menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pria itu tidak melakukan apapun setelah mendengar teriakan Stephanie dan kata tolong yang ia katakan sebelum panggilan tadi terputus.“Apa yang harus kita lakukan?!” Bentakan itu keluar dari bibir Joshua yang terus mondar mandir. Dia berhenti dan menjatuhkan pandangannya ke arah Aiden yang masih setia diam. Melihat itu, emosi Joshua mendadak tak terkontrol.“KENAPA KAU DIAM SAJA?!”Alex yang berdiri di depan pintu sudah menduga hal itu akan terjadi. Sebelum Joshua meluka
Satu gelas susu panas sudah berada di tangan Stephanie. Kaki yang dibalut oleh sandal tipis itu melangkah ke luar. Mencari tempat paling nyaman untuk menjatuhkan bokongnya.Pilihannya jatuh di belakang villa yang menyuguhkan pemandangan sawah yang baru ditanam. Warna hijaunya terlihat sangat menyegarkan di mata Stephanie. Ditariknya oksigen banyak-banyak untuk masuk ke dalam paru-parunya. Udara di sini sungguh berbeda dengan udara kota mereka berasal.Jelas saja, ini adalah pulau pribadi Aiden dimana kendaraan sangat jarang lalu lalang. Bukan pulau baru, melainkan pulau yang sama dengan yang Stephanie kunjungi bersama Aiden, entah berapa bulan yang lalu, Stephanie tidak mengingatnya.
Erland dan Diana kompak masuk ke ruangan Stephanie, diikuti dengan Rose. Mereka mengabaikan Ransom yang sedang berhadapan dengan Alex.“Kau harus makan—“Kalimat Aiden berhenti karena mendengar suara pintu yang terbuka. Sontak mereka berdua menoleh bersamaan. Mendapati Erland dan Diana yang diam berdiri. Sedangkan Rose, dia berjalan, mendekap sang putra untuk melampiaskan rasa rindu yang sudah mengendap lama.“Mommy kangen.” Diana bergumam, mengelus punggung Aiden yang masih setia mendekap Rose.“Aku juga,” sahut Aiden. Mengecup puncak kepala Rose sebelum melepaskan pelukan tersebut.“S
“Apa yang kau bilang, Stephanie?” Aiden bertanya dengan nada tidak suka dan sedikit meninggi. Dia bahkan sudah mengganti panggilannya— menandakan kalau dirinya tidak menyukai apa yang Stephanie katakan.“Bagaimana bisa kau ingin menggugurkan darah dagingku?” tanyanya, mendesak Stephanie dengan mengguncang kedua bahu wanita yang sedang memejamkan mata karena rasa sakit dari apa yang Aiden lakukan.Stephanie membuka matanya. Bertemu dengan manik Aiden. “Kau menginginkannya karena harta, bukan? Agar Daddy Ransom memberikan harta kekayaan ini padamu, ‘kan?”Untuk sesaat, Aiden terkejut karena Stephanie mengetahui rahasia tersebut, tetapi Aid
“20 menit lagi kita akan meeting, Pak,” kata seorang pria yang menjabat sebagai sekretaris baru di perusahaan Aiden kepada Aiden yang sedang sibuk berperang dengan berkas-berkas.Aiden hanya mengangguk pelan saja lalu menggerakkan tangannya untuk menyuruh pria itu keluar.Dan tak menunggu waktu lama, seorang pria dengan muka yang babak belur masuk ke ruangan Aiden. Aiden menatapnya dengan tajam seraya berdiri menjumpai dirinya yang masih diam memaku di pintu.“Katakan!” desak Aiden setelah menutup pintu ruangan itu. Dia mendorong Alex sampai ke dinding. Mengambil kerahnya lalu berkata, “Jangan buat kepercayaanku hilang sepenuhnya untukmu! Harusnya kau berterima kasih padaku karena masih membiarkanmu hidup, Pengkhianat! Tapi sep
Aiden menahan dirinya untuk tidak menemui Alex yang sedang berjalan ke arah luar. Dan karena emosi yang ada dalam dirinya tak bisa disalurkan dengan benar, membuatnya mengepalkan kedua tangan.Mengetahui fakta tentang dalang dari kejadian dimasa lalunya tentu membuat Aiden kaget. Ditambah lagi ternyata hal itu sudah dirancang sedemikian rupa.Amanda tak bersalah … dapatkah Aiden menyimpulkan itu sekarang?“Akhhgg,” teriak Aiden sambil melemparkan ceret kaca tersebut. Suara gaduh terdengar disaat ceret itu sudah berbentuk kepingan-kepingan dengan ljnggiran tajam yang dapat membuat darah segar mengalir jika tersentuh.Pria yang sedang emosi itu langsung melenggak pergi. Menga