“Apa Nyonya Adeline akan ikut menyambut mereka di bawah, Tuan?” Setelah Denio memberikan sebuah jas biru dongker yang terlihat mewah itu kepada Kendrick, barulah Denio bertanya.
Kendrick melirik pria itu dari ujung mata. “Jangan tanyakan dia lagi, aku tidak mau mood-ku rusak hanya karenanya.”
Denio lantas mengangguk dan mengunci bibirnya. Dari perkataan Kendrick, dia sudah mendapat jawaban bahwa Adeline tidak akan ikut.
Pantas saja bosnya itu menyuruhnya menyiapkan pakaian satu jam lalu. Karena kalau Adeline ikut, maka Kendrick tidak akan mengganti pakaian di ruang kerjanya, melainkan bersama Adeline.
“Ck, aku menyesal telah mengiyakan saranmu. Harusnya aku membuatnya di res
“Dasar perempuan murahan!” Adeline menggebrak meja itu sambil berdiri. Membuat beberapa gelas yang penuh malah jatuh, membasahi taplak meja. Hingga orang-orang yang duduk pun ikut berdiri seperti Adeline, sebagai bentuk reflek untuk melindungi dirinya dari ketumpahan cairan.Kirby yang mendapatkan hinaan itu tentu membulatkan matanya terkejut. “Apa maksudmu?”“Adeline tenangkan dirimu.” Bisikan dari Kendrick malah membuat Adeline semakin berang. Sebelum memberikan Kirby pelajaran, terlebih dahulu Adeline memberikan satu bogeman di perut Kendrick hingga pria itu merintih kesakitan. Tidak hanya pria itu sebenarnya, tangan Adeline juga ikut sakit. Tetapi itu diabaikan begitu saja olehnya.“Aaaaw! Sakit! Lepaskan!” Kirb
Rahang Kendrick mengetat kuat. Matanya tak pernah lepas dari pintu, dimana Robinson dan Samu telah pergi meninggalkannya seorang diri di area kolam renang.Dengan langkah penuh tegas bercampur amarah, Kendrick masuk ke dalam mansion. Kakinya berhenti kala ujung matanya menangkap Kirby yang sedang menggigil dengan handuk kering yang membungkus tubuhnya, terduduk di sofa.“Denio.” Panggilan itu sontak membuat Denio yang ada di sudut ruangan menarik pandangan dari Kirby ke Kendrick. Matanya membulat, segera dia mendekat. “Kau belum mendapatkan pelajaran dariku, tunggulah,” desis Kendrick tajam.Denio menelan ludah. Sudah pasti ini karena dirinya yang memilih mundur saat perkelahian Adeline dan Kirby. “M—ma—“
Setelah kejadian itu, Adeline tidak pernah lagi bertegur sapa dengan Kendrick. Pria itu pun sama. Bahkan ketika mereka berpapasan secara tak sengaja saat Kendrick datang untuk mengurus pekerjaannya, hanya ada saling lirik melirik, tidak dengan bertegur sapa.Adeline juga merasakan kehampaan yang besar. Kasur ukuran king size ini hanya ditidurinya seorang diri, tanpa Kendrick. Ingin mengajak anak-anaknya untuk tidur bersamanya pun tak bisa lantaran mereka belum kembali dari liburan yang entah kapan berujung.Entah dimana Kendrick tidur selama ini, yang jelas bukan di mansion mewah ini.“Tunggu sebentar. Aku tidak akan lama,” pesan Adeline pada supir di depan sesudah mobil berhenti di depan rumah sakit.
“Ck, awas!”“Ck, jangan mengatur! Siapa cepat dia dapat!”Adeline yang mendengar mereka pun sontak berbalik, matanya membulat terkejut. Tak menyangka kalau Kirby dan Denio sedang meributkan siapa yang keluar dari lift pertama kali.“Apa kalian akan bertengkar terus seperti ini?” Mendengar pertanyaan yang dilontarkan dengan nada kesal itu, membuat mereka berdua sontak mendongak ke arah Adeline. “Cepatlah mengalah atau lift itu akan rusak karena kalian tidak kunjung keluar!”Karena pada dasarnya Kirby yang tidak mau kalah, langsung saja dia mendorong Denio ke belakang, membuatnya lebih dulu keluar dari sana. “Ayo, Nyonya,” seru Kirby semangat.
Mendengar panggilan yang tiba-tiba itu, Kendrick menoleh ke samping. Meskipun wajahnya tidak menampilkan tampang terkejut, ia tetap terkejut. “Adeline ....”Sayangnya Adeline mengabaikan panggilan suaminya itu. Ia malah melangkah cepat dan menarik putranya dari pelukan seorang wanita yang tak ia kenal sama sekali. “Berikan!”“Ck, apa maksudmu?” Wanita itu tidak mau memberikan putranya, yang malah membuat Adeline semakin emosi.“Berikan padaku!” Suara Adeline meninggi. Menatap dengan tajam ke mata wanita yang ada di hadapannya.“M—momy ....” Putranya—Max— terbangun akibat goncangan dan teriakan Adeline. Kini, tangan Max sudah te
“Kami baru saja sampai kemarin, Mom. Tapi, daddy malah membawa kami ke penthouse. Padahal, aku sudah sangat merindukan Mommy,” celoteh Nadine pada Adeline yang saat ini tengah menyisir rambutnya. Anak perempuan dengan bola mata besar itu melihat ke wajah ibunya dengan menggunakan bantuan cermin kaca. “Juga, kami bertemu dengan Aunty Sarah.”Sontak, kegiatan Adeline seketika berhenti. Mendadak, rasa sakit kembali timbul. Dia ingin menyudahi rasa sakit ini dengan mengalihkan pembicaraan, namun, rasa penasaran ternyata lebih kuat. “Apa yang dia lakukan?”Kedua alis Nadine bertemu. “Aunty Sarah?” tanyanya memastikan. “Aku tidak tahu siapa dia, Mom. Aku dan Kakak baru bertemu dengannya kemarin. Daddy juga tidak menjelaskan apapun. Setelah kami berbincang sebentar dengannya, Daddy langsung menyuruh kami ke kamar untuk istirahat, kecuali Adik Max.”Adeline mendengkus.
Ketika pintu kamar itu terbuka, Adeline kini bisa melihat Xavier yang sedang duduk di kasur. Sedang memangku tablet, mungkin anak tampan itu sedang melukis. Salah satu kegiatan favoritnya.Menarik napas, Adeline akhirnya melangkah mendekat dan duduk di kasur, tepatnya di sebelah Xavier. Awalnya anak laki-laki itu menoleh, namun setelahnya langsung kembali pada tablet. Dia memalingkan wajahnya dari Adeline. Membuat wanita dengan rambut di cepol itu kembali teringat di pertemuan pertama mereka.“Apa kau ada masalah dengan Mommy, Xavier?” Tidak mau berdiam diri dengan perasaan berkecamuk, akhirnya Adeline memilih bertanya.Dia membuat kesalahan ... sepertinya. Mungkin karena Adeline tidak melihatnya setelah mereka pulang? Kalau begitu, Adeline akan
Tangan Adeline yang hendak memberikan rasa panas di pipi Sarah untuk yang kedua kalinya pun terpaksa harus berhenti. Telapak tangan itu langsung jatuh berbarengan dengan tubuhnya yang memutar ke samping, melirik Kendrick yang juga sedang sama marahnya sepertinya apa.“Apa?!” Adeline mendongak. Menatap manik biru yang sangat pekat itu. “Kau mau membelanya? Membela wanita yang sama sekali tak jelas asal usulnya ini dibandingkan diriku?”“STOP!” Kendrick mengerang penuh amarah dengan badan yang maju, menarik lengan Adeline hingga tubuh mereka bersentuhan. “Jangan pernah katakan begitu,” desisnya. Kalimatnya sangat penuh penekanan.Awalnya Adeline heran lantaran tak mengerti maksud kalimat Kendrick. Namun setelah itu, m
Tubuh pria itu kian mengeras seperti batu. Sungguh, Kendrick baru menyadari kalau saat ini mereka ada di makam Katrin.Kendrick tak berbohong kali ini. Awalnya, ia kira mereka sedang berziarah ke sebuah makam keluarga pria itu, makanya dia tak melirik batu nisan itu di awal.“Kenapa kau terdiam, Kendrick?” tanya Adeline. Menarik kerah mantel pria itu sehingga mata mereka kembali bertemu. “Ayo, jawab aku! Apa kau tidak punya jawaban? Apa kau tidak bisa berbohong untuk yang kesekian kalinya lagi? Jawab!” bentak Adeline hebat.Meskipun pria itu sedang dilanda rasa terkejut, mimik wajahnya tetap tidak menunjukkan itu. Malah terkesan sangat santai. Yang berhasil membuat emosi Adeline semakin mendidih.
Gustav mengernyitkan alisnya kala mendapati ada sebuah bayangan yang kini menutupi cahaya yang menerangi punggung bagian belakangnya hingga Adeline. Merasa penasaran, kepala pria itu berputar 180 derajat ke arah belakang, diikuti dengan sebagian tubuhnya. Dan kini, tubuh pria itu mematung kala matanya menatap netra biru yang sangat dingin.Adeline— yang posisinya tepat di seberang Gustav— juga menyadari ada sesuatu yang janggal. Perlahan namun pasti, juga dengan detak jantung yang kencang— wanita itu mendongakkan wajahnya. Mata dan bibir wanita itu terbuka lebar kala melihat seorang pria tengah menarik pandangan dari arah Gustav ke dirinya.“Kendrick.” Adeline menggumam kaget. Tanpa sadar, dia berdiri dari tempat semula. Tatapan yang Kendrick layangkan, seakan dapat membuat tubuhnya terasa sa
Dalam perjalanan, sebenarnya Gustav sudah ingin memberitahukan dimana alamat itu berada. Namun karena melihat reaksi Adeline yang sungguh semangat, itu membuatnya mengurungkan niat untuk menjelaskan apa yang terjadi.Gustav tidak ingin membuat ekspresi bahagia di wajah itu luntur begitu saja. Namun, ketika mereka sudah sampai, Adeline pasti akan berada dalam tahap itu. Sungguh, Gustav sangat dilema sekali.Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil itu berjalan melambat. Menandakan kalau sebentar lagi mereka akan sampai di tempat yang dituju.Adeline kerap kali memutar kepalanya ke kiri dan kanan. Seakan sedang mencari-cari namun sayangnya tak menemukan apa yang ia cari. Dengan penuh perasaan campur aduk, wanita itu melirik ke samping, ke arah Gustav. “Ap
Adeline meringis pelan. Dia terus berjalan dengan menatap ke arah samping. Sungguh merasa tidak enak.“Aku pasti sudah sangat mengecewakanmu.”Ucapan Adeline, membuat Gustav sontak memberhentikan langkahnya. Memutar kepalanya ke samping, menatap Adeline dengan alis yang menyatu bingung. “Mengecewakan?” tanyanya.Adeline mengangguk pelan. Ketika ia hendak menjelaskan, Gustav segera berbicara lebih dahulu.“Oh, aku paham. Soal permintaanku tadi di dalam?” Gustav bertanya dengan alis yang naik ke atas, juga telunjuk yang menunjuk ke belakang. Melihat Adeline yang mengangguk lagi, Gustav pun terkekeh ramah. “Astaga, Adeline, tidak perlu merasa seperti itu. Aku
“Maaf.”Satu kata itu membuat Adeline menoleh ke sebelah. “Tidak masalah.”Gustav mengembuskan napas. Dirinya merasa tidak enak sama sekali. “Aku sungguh bersalah. Ehm ... aku punya kenalan, dia seorang pria juga, kau mau bersamanya untuk mencari Katrin?” tanya Gustav, memberikan saran.Adeline terlihat berpikir. Sebenarnya, dia membutuhkan informasi mengenai Katrin dengan sangat cepat. Namun dengan tawaran itu, itu sama saja semakin merepotkan Gustav.“Tidak perlu. Aku maklum. Malah, aku yang merepotkanmu. Seharusnya tadi, kau meninggalkanku saja di restoran. Biar aku saja yang mencari keberadaan Katrin.”
Adeline tak mengerti kenapa dia bisa sepercaya ini pada seseorang yang baru ia kenal. Bahkan, kini dia sudah masuk ke dalam apartemen pria itu untuk menunggu sang pemilik apartemen bersiap.Wanita itu mencoba untuk menarik kesimpulan sendiri. Mungkin saja dikarenakan Adeline sudah sangat pasrah dan tidak tahu harus mencari kemana Katrin, makanya dia menerima tawaran yang diberikan oleh Gustav .... Ya, itu adalah alasan yang paling masuk akal.“Maaf. Kau jadi lama menungguku.”Suara berat dan harum parfum maskulin itu masuk ke indra pendengaran dan penciuman Adeline. Wanita itu sontak menoleh ke sumber suara.Di depan sana, sudah ada Gustav yang penampilannya jauh berbeda dari sebelumnya
Seseorang itu mengucek matanya berkali-kali dikarenakan habis bangun dari tidur nyenyaknya. Dan secara bersamaan, mata mereka berdua terbuka untuk saling menatap satu sama lain.Tanpa sadar, napas Adeline tertahan. Dia memang menemukan sosok manusia, namun bukan sosok wanita yang bernama Katelyn, melainkan sosok pria tampan. Amat sangat tampan.Rambut pria itu yang sedikit panjang, juga ikal di bagian ujungnya, yang ditata ke belakang. Sungguh menampilkan kesan bad boy. Juga, manik pria itu yang berwarna abu cerah, berhasil menahan Adeline untuk mengedipkan kedua matanya. Dan bagian terakhir, yang sungguh membuat tubuh wanita itu panas adalah tubuh pria itu yang benar-benar tidak ditutup oleh sehelai benang apapun. Dibiarkan terbuka. Membuat Adeline bisa melihat secara bebas bagaimana dada padat dan bidang, juga perut kot
Sesudah menghabiskan waktu beberapa hari bersama Samu di kota kecil yang ada di negara Perancis, akhirnya wanita itu kini menginjakkan kaki di Kota Paris yang kerap disebut kota cinta. Adeline mendecak, kota cinta ... seharusnya dia pergi bersama pasangannya bukan?Abaikan.Tujuan kedatangan Adeline ke kota ini sebenarnya jauh sekali dari kata liburan. Dia mengunjungi tempat ini dikarenakan ingin mencari keberadaan wanita yang telah menghilang lebih dari dua tahun dan baru mengganggu pikiran Adeline untuk mengingatnya.Katrin. Ya, dia akan berusaha mencari wanita itu.Berbekal dari informasi yang Denio dapatkan, kini Adeline berada di depan salah satu unit apartemen yang berada tepat di seber
Dingin. Namun tidak terlalu menusuk kulit dan memberikan rasa gigil yang berlebihan. Karena suhu udara itu, seorang wanita dengan rambut tergerai kini mengembangkan sebuah senyuman amat lebar. Mempertontonkan bagaimana indahnya senyumnya dan gigi putih bersih itu.Hidungnya yang tinggi itu terlihat mengempis, menjadi pertanda kalau dia sedang membawa masuk oksigen yang menyegarkan ke dalam paru-parunya. Hal ini sungguh sangat merilekskan diri. Seakan pikiran-pikiran berat lenyap begitu saja untuk beberapa saat.Dikarenakan kencangnya angin, jaket bentuk jubah yang melekat di tubuhnya bergerak-gerak dengan sangat indah. Celana jeans hitam itu pun membentuk pahanya yang seksi. Ditambah lagi heels berbentuk boats itu. Sangat indah.“Apa kau sudah lama menunggu