Gawat nih 😱
“Atau jangan-jangan, ada yang kalian sembunyikan?” Carl kembali bertanya, karena merasa curiga. “Kalian berbohong tentang sesuatu?” “Bukan seperti itu, Dad.” Audrey berusaha untuk menjelaskan, tapi dia pun sebenarnya tidak tahu harus mengatakan apa. “Audrey.” Damar memanjangkan tangan, untuk meraih tangan istrinya. Walau Audrey tampak cukup tenang, tapi entah kenapa Damar merasa perempuan itu tengah panik. Terbukti dengan telapak tangan Audrey yang terasa basah karena keringat. Begitu tangannya digenggam, Audrey menoleh. Dia bisa melihat Damar mengangguk, seolah mengatakan tidak apa-apa kalau rahasianya terbongkar. Lelaki itu tidak masalah, kalau dirinya yang kena marah. “Tidak ada yang mau berbicara?” tanya Carl mulai terlihat kesal lagi. “Saya akan bicara.” Damar mengajukan diri dengan senang hati. “Damar.” Audrey sempat menegur dengan nada pelan, tapi lelaki itu hanya tersenyum saja. Mengatakan dirinya tidak apa-apa. “Saya memang lahir sebagai yatim piatu.” Damar m
“Apa yang harus kita lakukan?” Audrey menanyakan itu, seraya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. “Mau tidak mau, kita harus jujur.” Damar pada akhirnya memberi solusi yang menurutnya paling masuk akal. “Kita tidak punya pilihan lain kan?” “Tapi memangnya ibumu mau langsung menerimaku begitu saja? Lalu bagaimana dengan kontraknya? Ayahku bisa kena serangan jantung kalau mendengar tentang kontrak itu,” hardik Audrey terlihat emosi. Damar mengembuskan napas pelan. Bukan hanya ayah Audrey saja yang akan kena serangan jantung kalau kontrak itu sampai tersebar. Ibunya juga akan bereaksi sama. Perempuan itu memang sudah lama tinggal di Italia, tapi pikirannya masih serupa orang Asia yang kuno. “Kita cukup katakan tentang pernikahan saja,” gumam Damar yang baru saja menyugar rambutnya dengan ekspresi frustrasi. “Tidak ada cara lain. Kita sudah berjanji.” “Atau kita langsung cerai saja?” “Kau lupa tujuanmu menikah? Perusahaan belum sepenuhnya di tanganmu, Re.” Audrey mengg
“Kenapa malah kau yang ada di sini?” tanya Damar, ketika melihat Mathilda sudah duduk cantik di meja yang sudah dia reservasi. “Tante Fiana yang menyuruhku datang,” jawab Mathilda dengan senyum lebar. “Katanya, kau mau mengajakku makan malam.” Malam ini, Damar sudah membuat janji dengan sang ibu. Dia memang tidak mengatakan akan mengajak Audrey, Fiana mau datang. Siapa yang sangka, kalau sang ibu justru menipu Damar. “Aku mengajak ibuku makan malam,” balas Damar setenang mungkin. “Bukan kau.” “Dari pada membahas itu, bagaimana kalau kau duduk dulu.” Mathilda menunjuk kursi kosong di depannya. “Kita bisa bicara sambil duduk dan makan malam.” “Menurutmu, kenapa aku memesan meja untuk empat orang?” tanya Damar, mengikuti permintaan Mathilda untuk duduk. Tapi, lelaki itu memilih duduk di arah berlawanan dari Mathilda. “Kau mungkin ingin memesan banyak makanan,” jawab Mathilda asal saja. “Kudengar selera makanmu cukup tinggi dan kuharap hormon seksualmu sama tingginya.” “Wah
“Pokoknya kau harus cerai.” Fiana mengatakannya, sembari mengikuti langkah sang putra masuk ke dalam rumah. Setelah nyaris saja terjadi perang di restoran, mereka pada akhirnya memilih untuk pulang. Itu pun Audrey terpaksa harus pulang sendiri, karena Fiana tidak ingin anaknya mengantar. Mau tidak mau, Damar pada akhirnya yang menyerah. Tentu saja dengan syarat Mathilda harus pulang sendiri juga. Apalagi, karena Damar tadi datang dengan mobil Audrey dan akan pulang dengan taksi. “Tidak bisa,” sergah Damar benar-benar terlihat sangat lelah. “Apa pun yang terjadi, aku tidak mau cerai.” “Mumpung kalian belum punya anak, segera saja pisah.” Sayang sekali Fiana tidak mau mendengar. “Lagi pula, kenapa bisa kau menikah tanpa izin?” “Madre.” Damar menghentikan langkahnya, tepat sebelum menaiki tangga. Lelaki itu tampak begitu gusar. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu bagaimana cara merangkai kata. Biar bagaimana, Fiana adalah orang yang sangat berjasa dalam membesarkan
“Kau yakin?” tanya Damar yang kini berjalan mondar-mandir, dengan ponsel menempel di telinga. “Aku yakin, Damar.” Suara Audrey bisa terdengar dari benda pipih yang dipegang oleh yang empunya nama. “Aku bisa ke kantor sendirian. Aku punya sopir. Selain itu, aku juga harus pergi menemani Mommy dulu.” “Oke.” Pada akhirnya, Damar mengangguk pelan. “Kalau kau bersama sopir dan Mommy, aku tidak masalah. Tapi tolong kabari aku kalau mereka berdua tiba-tiba berhalangan.” “Astaga! Kau pikir aku ini anak-anak? Aku bisa bawa mobil sendiri atau memesan taksi.” “Tapi itu berbahaya. Kau tidak boleh melakukan hal berbahaya,” sergah Damar dengan tidak sabaran. “Kau itu sebenarnya asistenku, suamiku atau ayahku sih?” tanya Audrey dengan nada gemas yang sangat jelas. “Rasanya kau lebih posesif dari Daddy padahal hubungan kita palsu.” Walau Audrey mengecilkan suaranya di beberapa kata terakhir, Damar tetap menoleh ke kiri dan kanan. Dia tidak ingin kalau ibunya tiba-tiba muncul dan mendengar
“Aduh, ini mobil kenapa ya?” Fiana bisa mendengar hal itu, ketika dia membuka pintu pagar. Sebuah mobil mewah dan seorang perempuan paruh baya, adalah hal yang pertama dia lihat. “Kok mobilnya parkir di sini ya, Bu?” Fiana tentu saja akan bertanya. “Aduh maaf.” Seorang perempuan paruh baya yang ternyata adalah Vita, langsung mendekati yang empunya rumah. “Ini tiba-tiba saja mobil saya mogok, gak tahu juga kenapa.” “Oh, sudah telepon bengkelnya?” Fiana bertanya, sekedar untuk basa-basi saja. “Bengkelnya belum buka, dan suami saya gak mau di bengkel lain. Anak saya juga gak bisa dihubungi karena ponselnya ketinggalan di dalam mobil.” Fiana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesungguhnya, dia merasa bingung harus melakukan apa. Ingin menolong juga, Fiana tidak tahu apa-apa. Lagi pula, dia juga tidak mengenali perempuan yang sepertinya lebih muda di depannya. “Apa di rumah, Mbak gak ada orang yang bisa bantu?” tanya Vita terlihat begitu nelangsa. “Mobil saya harus cepat di
“Isi sesuai dengan keinginanmu.” Damar mendongak, ketika mendengar suara itu dan melihat selembar kertas di lempar ke atas mejanya. Itu adalah sebuah cek kosong yang sudah ditanda tangani. Hal yang jelas membuat semua orang, termasuk Damar bingung. “Maaf, saya tidak mengerti.” Damar menatap perempuan di depannya dengan senyum sopan. “Astaga!” Patricia memutar bola matanya karena gemas. “Kau itu seorang asisten pribadi milik Audrey kan? Masa iya mengisi cek saja tidak tahu?” “Maksudnya, Bu Patricia mau dibantu untuk diisikan ceknya?” tanya Damar hanya untuk memastikan saja. “Isi dengan nominal yang kau inginkan,” balas Patricia dengan senyum sombongnya. “Aku bisa membayarmu jauh lebih besar, dari pada Audrey. Lalu jangan panggil aku dengan sebutan ibu.” Damar menaikkan kedua alisnya. Sungguh, dia tidak mengerti kenapa perempuan di depannya berpikir kalau dirinya bisa dibayar. Memang benar Damar menerima bayaran dari Audrey, tapi itu hanya sekedar gaji menjadi asisten saj
“Ada apa lagi dengan kalian berdua?” Carl bertanya pada putri dan menantunya. “Bertengkar lagi? Gara-gara tidak ada solusi untuk pernikahan tidak masuk akal kalian.” “Pernikahan kami adalah hal yang paling masuk akal yang pernah kulakukan.” Damar menjawab mertua lelakinya dengan cepat dan tegas. “Aku yang sedang marah, belum tentu karena kami bertengkar. Tolong jangan mengambil keputusan seenaknya.” Carl melongo melihat tingkah menantunya, apalagi Damar langsung naik ke lantai dua tanpa pamit. Itu jelas sesuatu yang sangat aneh, karena tidak biasanya sang menantu seperti itu. “Ada apa dengan dia?” Vita yang baru bergabung dan sempat melihat kejadian itu, bertanya pada sang putri. “Ada yang berbuat onar di kantor,” jawab Audrey tanpa berpikir. “Walau pekerjaannya berakhir dengan sangat baik, tapi dia jadi sensiif.” “Siapa yang berani berbuat onar?” Tentu saja Carl akan bertanya. “Apa sepupumu lagi?” “Bersama dengan beberapa orang yang lain.” Walau Audrey tidak berniat menc
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka