“Bagaimana mungkin kalian berdua terlambat bangun, di hari yang penting seperti sekarang ini?” “Ya, maaf,” jawab Audrey dengan santainya, dan ponsel menempel di telinga. “Ini juga bukan sesuatu yang disengaja.” “Bukan disengaja kepalamu.” Carl kembali menghardik. “Kau pikir Dad tidak bisa menebak apa yang kalian lakukan sampai terlambat bangun? Hanya orang bodoh yang tidak tahu.” Damar yang ikut mendengar hal itu karena teleponnya dalam mode pengeras suara, langsung meringis. Siapa sih yang tidak malu karena ketahuan oleh mertuanya? “Daddy seperti tidak pernah menikah saja.” Audrey yang kesal balas menghardik. “Lagi pula, kan Daddy yang mau cucu. Jadi jangan protes.” “Ya sudah, tapi jangan terlalu lama ya. Biar bagaimana, kau yang sekarang memimpin. Mereka ingin bertemu denganmu.” “Aku tahu, makanya Damar sedang berusaha untuk menyetir dengan cepat dan aman. Daddy tunggu saja di sana.” “Bagaimana?” tanya Damar setelah panggilan teleponnya dimatikan. “Pihak dari sana mas
“Ada apa lagi dengan dia?” Damar bisa samar-samar mendengar suara yang dia kenali. Kalau dia tidak salah menebak, itu adalah suara mertua perempuannya yang terdengar khawatir. “Dokter bilang tidak ada apa-apa,” gumam Audrey terdengar pelan. “Katanya mungkin hanya terlalu stres saja.” Kali ini, Damar mendengar suara mertua lelakinya. Hal yang membuatnya ingin sekali segera membuka mata dan mencari tahu apa yang terjadi. Hal yang juga mengingatkan Damar kalau mereka sedang ada pertemuan. Merasa situasi yang dia alami tidak benar, Damar memaksakan diri untuk membuka mata. Agak sulit, tapi akhirnya dia berhasil. “Audrey.” Itu adalah kata pertama yang Damar katakan, walau dengan terbata-bata. “Damar?” Audrey dengan cepat meraih tangan lelaki yang sedang terbaring itu. Tidak peduli ada selang infus yang tertempel di sana. “Bagaimana perasaanmu?” “Tidak buruk,” jawab Damar disertai dengan senyuman. “Tapi bisakah tidak menekan tanganku terlalu kuat? Rasanya agak sakit.” “Oh
“Damar coba ke sini kenalan dulu sama bibimu.” Yang empunya nama berbalik dan tersenyum riang. Damar kecil yang bahkan belum berumur sepuluh, segera berlari menghampiri perempuan yang sudah sekitar setahun dia panggil Madre. “Madre.” Damar kecil segera berlari dan memeluk pinggang sang ibu. Dia baru setinggi itu. “Astaga! Dia lucu sekali.” Seorang perempuan lain ikut berbicara, sampai berjongkok untuk melihat Damar dengan lebih saksama. “Dia sedikit mirip dengan suamimu.” “Benar kan.” Fiana yang lebih muda, nyaris saja memekik girang. “Kami sangat beruntung karena bertemu anak ini, apalagi dia sangat pintar.” Mendengar dirinya dipuji, telinga Damar langsung memerah. Dia memang masih agak canggung berbahasa Italia, tapi sudah bisa memahami perkataan orang lain dengan sangat baik. “Ayo, Nak.” Fiana mendorong pelan bahu putranya. “Ini adiknya Madre, namanya Tante Fiona. Dia baru saja selesai berkuliah Bologna dan memilih untuk liburan dulu di sini.” “Halo, Tante.” Damar ke
“Itu tidak benar.” Fiona berlutut sambil menangis. “Kakak tahu kalau aku itu sangat sayang pada Damar aku tidak mungkin melakukan hal tidak senonoh padanya.” Fiana mengembuskan napas cukup keras. Dia sama sekali tidak tahu pihak mana yang harus dia bela, karena keduanya adalah orang yang berharga untuk dirinya. Apalagi, kasus kali ini bisa dibilang cukup berat. “Kakak.” Fiona mendekati perempuan yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya itu. Dia menangis dan kembali berbicara dengan suara bergetar, juga nada manja yang tidak hilang. “Aku mungkin nakal, anak manja dan lain sebagainya. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal yang seperti itu. Mungkin ... mungkin justru aku yang korbannya kan? Damar yang pelakunya.” “ITU BOHONG,” teriak Damar yang rupanya mendengar dari balik pintu yang sedikit terbuka. “Damar.” Fiana segera berdiri dan memeluk putranya. “Kenapa kau ada di sini? Kenapa belum tidur.” “Aku tadi terbangun karena mau pipis dan mendengar suara teriakan.” Suara Dam
“Entah kenapa aku merasa kalian berdua terlihat lebih segar dari kemarin,” gumam Vita dengan mata menyipit. “Sungguh?” tanya Audrey sok polos. “Baguslah kalau begitu, kami jadi bisa bekerja dengan lebih baik.” Damar hanya bisa tersenyum lebar pada ibu mertuanya. Tidak mungkin juga kalau dia mengatakan kemarin mereka bercinta di kamar rumah sakit ini kan? Menyenangkan, tapi tidak untuk dibagikan. Membayangkannya saja napas Damar langsung berubah berat. Sungguh, yang semalam adalah yang terbaik baginya. “Jangan membayangkan yang tidak-tidak,” gumam Audrey dengan sangat pelan, agar hanya Damar yang bisa mendengar. “Nanti yang di bawah sana bisa meledak.” “Aku tidak membayangkan apa pun, jadi tolong jangan memancing,” desis Damar agak kesal, tapi jelas merupakan sebuah kebohongan. “Masa?” Audrey memundurkan tubuh, untuk menatap wajah sang suami kontrak. “Lantas kenapa wajahmu merah begitu? Apa ini efek tidak pakai pengaman?” “Audrey.” Damar menegur dalam desisan. “Tolong be
“Apa kau sudah akan pergi?” Fiana bertanya, ketika dia melihat Audrey turun dari lantai atas. “Tidak.” Audrey menggeleng dengan cepat. “Aku sedang mencari minum.” Fiana mengembuskan napas dengan pelan. Dia antara merasa kecewa dan juga lega saat bersamaan. Kecewa karena Audrey belum mau pergi juga, lega karena Damar tampaknya cukup tenang kali ini. “Bagaimana kau bisa menenangkan Damar?” Fiana menanyakan hal itu, sembari mengulurkan sebotol air mineral. “Biasanya dia tidak bisa tenang selama beberapa hari, setelah kena serangan.” “Benarkah?” Audrey tentu saja agak terkejut. “Tapi dia tidak pernah mengamuk. Ini bahkan sudah yang kedua kalinya.” Kini giliran Fiana yang terkejut. Ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi, setidaknya sejauh pengetahuannya merawat sang putra. Damar biasanya tidak akan tenang hanya dalam sehari. “Bagaimana kau melakukannya?” tanya Fiana dengan kening berkerut. “Biasanya dia akan mengurung diri dan gemetaran selama beberapa hari.” “Ah, itu per
“Bagaimana kau bisa bergantung pada perempuan itu?” Fiana bertanya pada putranya, tepat sebelum Damar sampai di ruang makan. Hari sudah berganti. Audrey pun sudah pulang ke rumahnya, sementara Damar memilih menginap di rumah sendiri. Tentu saja, itu untuk mencegah sang ibu yang sepertinya akan ngambek. “Aku tidak mengerti perempuan mana yang Madre maksud.” Damar tidak berniat menjawab, setidaknya sampai sang ibu bisa menyebut nama Audrey dengan benar. “Kau tahu siapa yang aku maksud, Damar.” “Terlalu banyak perempuan dalam hidupku. Sebagian besar dijodohkan oleh Madre dan tentu saja sudah kutolak. Jadi yang mana?” Fiana mengembuskan napas pelan. Dia tahu permainan sang putra, tapi rasanya enggan sekali untuk mengalah. Ingin sekali Fiana memaki Damar yang sementara mengambil sarapan pagi, tapi dia juga tidak tega. Lelaki itu baru sembuh. “Maksudku Audrey,” geram Fiana dengan terpaksa. “Ah, istriku.” Damar mengangguk dengan senyum tipis. “Ada apa dengan dia?” “Bagaimana
“Kau lagi?” tanya Damar dengan ekspresi lelah. “Aku hari ini sudah punya janji dengan Audrey dan Jennie,” jawab Mathilda dengan santainya. “Aku juga tahu itu, tapi ....” Damar menjeda untuk menarik napas, tapi pada akhirnya dia tidak melanjutkan kalimatnya. “Sudahlah lupakan saja, aku sedang tidak ingin berdebat.” “Tidak apa-apa, katakan saja,” ucap Mathilda sedikit memaksa. “Apa pun yang kau katakan, akan aku dengar dan akan berusaha menerimanya dengan baik. Ingat ya, berusaha. Bukan langsung menerima.” Damar menaikkan satu alis mendengar nada memaksa itu. Nada suara seperti itu, sesungguhnya membuat Damar merinding. Untung saja kali ini dia bisa menahan diri dengan baik, karena ada orang lain di ruangan. Keberadaan orang lain, membuat Damar merasa sedikit lebih tenang. Hanya sedikit saja, karena sekarang tangannya masih basah oleh keringat. “Ayo bicara saja, aku akan mendengar,” desak Mathilda sekali lagi. “Maaf, Nona ....” Tere ingin mencoba untuk menengahi, tapi Dam
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka