“Kenapa kalian semua tidak menungguku.” Seorang anak berteriak keras, diiringi dengan isakan pelan.
“Bukannya tidak mau menunggu.” Vita-ibu sambung dari Audrey yang menjawab. “Kan tanggalnya sudah ditetapkan, tapi Brian lebih memilih untuk ikut school trip dan habis itu sakit.” “Tanggal pernikahannya kan bisa diundur,” hardik anak itu tidak mau kalah. “Mana bisa seperti itu.” Vita meringis mendengar hal itu. Audrey yang sejak tadi dipeluk bocah bernama Brian hanya bisa mendesah pelan. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa bocah itu selalu menempel padanya, padahal tidak pernah diperlakukan dengan cukup baik juga. Inginnya sih Audrey mengusir anak itu, tapi jelas tidak bisa. Biar bagaimana, Brian adalah bagian dari keluarganya. “Brian.” Pada akhirnya Audrey bersuara juga. “Coba kenalan dulu sama kakaknya.” Damar tersentak pelan, ketika melihat bocah tadi memandangi dirinya dengan sengit. Dia tidak pe“Kalian ini.” Carl tidak mungkin tidak memarahi anak dan menantunya. “Masa melakukan hal tidak senonoh di kantor?” “Ada masalah dengan itu?” tanya Audrey dengan santainya. “Tentu saja ada masalah, terutama karena adikmu datang berkunjung,” desis lelaki paruh baya bermata sama dengan putrinya. “Siapa suruh dia datang tanpa membuat janji.” Kali ini, Audrey bahkan mengedikkan bahu. “Lain kali minta Brian untuk buat janji.” Carlisle Allen mendelik melihat tingkah putrinya. Makin dinasihati, malah makin mengejek. Entah mirip siapa putri pertamanya itu. Untung saja menantunya masih waras. “Maaf, Dad. Lain kali tidak diulangi.” Walau amat malu, Damar tetap mengatakannya. “Mungkin setelah anak baru kau bisa berubah.” Ayah dua anak itu berdecak pelan. “Berhentilah pakai pengaman, biar cepat jadi dan sisanya tidak dimainkan adikmu.” Damar menahan napas mendengar hal itu, sementara Audrey terlihat biasa sa
“Pak Damar? Kok gak masuk?” Seorang satpam menegur lelaki yang hanya berdiri di luar gedung. “Oh, tidak apa-apa, Pak.” Damar dengan cepat menggeleng. “Saya sedang izin dan cuma kebetulan lewat, jadi ....” Lelaki itu terlihat ragu pada awalnya, tapi pada akhirnya menyerahkan juga bungkusan yang dia pegang sejak tadi. Sebuah tas kanvas yang terlihat seperti tempat bekal. “Bisa tolong sampaikan ini untuk Bu Audrey?” tanya Damar terlihat agak sedih. “Tadi dia meminta tolong dicarikan makan siang, tapi hanya ini yang bisa saya dapatkan.” “Pasti bisa kok, Pak. Tenang saja.” Damar hanya bisa tersenyum melihat pak satpam paruh baya itu berlari masuk lagi. Satpam itu sepertinya pergi untuk meminta OB menyampaikan tas kanvas bergambar karakter kartun itu pada orang yang bersangkutan. “Semoga dia tidak marah lagi,” gumam lelaki yang berdiri di depan gedung itu dengan raut sedih. *** “Kau bilang ini
“Maaf.” Audrey segera menyela apa pun itu yang ingin dikatakan oleh Felix. “Tapi aku tidak mengerti kenapa kau terlihat ragu seperti itu." “Aku terlihat ragu bagaimana?” tanya Felix dengan kening berkerut. “Kau baru saja mempertanyakan Damar.” Felix dan Jennie yang mendengar itu refleks mengerutkan kening. Mereka berdua tampak berpikir cukup keras, sampai akhirnya Jennie duluan yang bersuara. “Kurasa Bu Audrey benar.” Perempuan itu mengangguk dengan cukup yakin. “Kenapa kau menanyakan Damar yang sudah jelas adalah asisten pribadi Bu Audrey?” Kening Felix jelas makin berkerut mendengar itu. Di sudah bisa menebak kenapa perempuan berjas putih di sebelahnya tidak tahu menahu, tapi masih bingung dengan alasannya. Untung saja lelaki itu tidak memperpanjang masalah. “Kalau begitu, di mana Damar?” Felix memilih untuk menanyakan lelaki yang dibicarakan. “Izin,” jawab Audrey refleks saja. “Ada urusan keluarga
“Kau barusan bilang apa?” tanya Audrey dengan sebelah alis terangkat. “Bercerailah dan menikah denganku saja. Kalau hanya untuk menerima warisan ....” Kalimat Felix terhenti begitu saja, ketika dia merasakan ada cairan yang mengenai wajahnya. Cairan cokelat berbau kopi itu, membuat pakaiannya yang berwarna terang jadi ternoda. Hal yang membuat lelaki itu nyaris saja mengumpat. “Aku bertanya baik-baik padamu dan ini yang kudapatkan?” Felix bertanya, setelah mengusap wajahnya dari cairan yang terasa sedikit lengket di wajahnya. “Apakah meminta orang yang sudah menikah untuk bercerai bisa disebut baik-baik?” tanya Audrey dalam desisan marah. “Harusnya kau bersyukur karena aku hanya menyirammu dengan kopi dingin.” “Aku tahu kau melakukan ini dengan terpaksa.” Felix mengucapkannya dengan lebih lembut. “Dari pada dengan lelaki tidak di kenal, lebih baik denganku kan?” Audrey memukul meja kacanya dengan keras. Suarany
“Kau ingin ke mana?” tanya Audrey dengan kedua alis terjungkit naik. “Taman hiburan,” jawab Damar dengan mata berbinar. “Kenapa harus ke sana?” “Karena kita akan pergi kencan kan?” “Tidak adakah tempat lain?” “Menonton film dan makan?” Audrey memegang keningnya yang tiba-tiba saja merasa tidak nyaman. Padahal dia sudah mengiyakan ajakan Damar pergi kencan di hari libur, tapi kenapa lelaki itu ingin pergi ke tempat yang terdengar kekanakan? Bukankah mereka sudah berumur lebih dari dua puluh tahun? Harusnya bisa pergi ke tempat yang lebih bermanfaat seperti tempat olah raga, museum dan sejenisnya kan? Kenapa malah taman hiburan? “Apa kau tidak mau?” tanya Damar dengan tatapan mata yang terlihat sedih. Sungguh, rasanya Audrey bisa melihat lelaki tinggi besar itu menjelma jadi anak anjing. Dia bisa membayangkan ada ekor yang melengkung lesu di belakang Damar. Hal yang membuat A
“Audrey, tolong jangan cari gara-gara.” Damar makin merapatkan diri ke jendela. “Aku sama sekali tidak cari gara-gara,” jawab perempuan yang tengah bersandar pada bahu bidang suaminya. “Memangnya aku tidak boleh bersandar padamu ya?” “Tentu saja kau boleh bersandar, tapi tolong tanganmu dijaga.” Setelah bersabar beberapa menit, pada akhirnya Damar menangkap tangan sang istri yang sejak tadi bertengger di paha dan dadanya. Bukan hanya sekedar diam, tapi tangan lentik nun putih itu menjelajah ke mana-mana. Tangan Audrey mengelus, sampai pada titik-titik tertentu yang membuat Damar merinding. Sesuatu hal yang memang disengaja perempuan itu. “Oh, apa sekarang kau ingin memimpin?” tanya Audrey melirik kedua tangan yang dipegang sang suami. “Aku mengajakmu berkencan dan naik bianglala bukan untuk ini,” pekik Damar dengan wajah bersemu merah. Sungguh, demi apa pun dia merasa malu. Walau apa yang dilakukan sang istri s
“Cieh, yang sudah punya pacar.” Ucapan bernada mengejek itu, terdengar ketika Damar muncul dan setelah Audrey masuk ke dalam ruangannya. “Apaan sih, Kak Jen.” Hanya itu yang bisa dikatakan Damar, sebagai jawaban pada sekretaris Audrey. “Padahal banyak yang suka padamu loh, Dam.” Perempuan yang dipanggil Jen tadi tetap menggoda lelaki yang lebih muda darinya itu. “Mereka jadi patah hati deh. Siapa cewek beruntung itu?” Tentu saja Damar tidak akan menjawab. Dia langsung duduk di mejanya, lalu mengatur beberapa barang. Walau terus didesak, Damar tentu tidak akan mengatakan apa pun. Dia tidak mungkin menyebut nama sang atasan kan? “Kau sungguh tidak mau bilang apa-apa?” tanya Jen dengan kedua alis yang naik turun. “Apa yang harus saya katakan?” tanya Damar dengan sopan dan senyum lebar. “Siapa perempuan yang kau foto kemarin?” “Bukan siapa-siapa.” “Ah, tidak seru.” Jen mendengkus kesal. “Masa yang seperti itu saja mau disembunyikan.” “Apanya yang disembunyikan?” Dua orang yang
“Bagaimana ini?” Bukannya menuntaskan hajat, Damar malah berjalan mondar-mandir di dalam bilik toilet yang sempit. “Kalau nanti Audrey malah mencari tahu sendiri, aku harus bagaimana?” Kali ini, lelaki itu menjambak rambutnya sendiri. “Woi. Yang di dalam cepat keluar dong, jangan malah bicara sendiri.” Damar terlonjak mendengar suara gedoran pintu yang begitu keras. Dia kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan dan rupanya sudah lebih dari lima menit. Tentu saja orang yang membutuhkan akan kesal. “Maaf.” Damar menyempatkan diri untuk mengucapkan kata itu, sebelum beralih untuk mencuci tangan. Dia memang tidak buang air, tapi merasa perlu untuk cuci tangan. Setelah sedikit membasahi rambut, Damar pun kembali ke tempat duduknya. Tapi dirinya malah dikejutkan dengan Audrey yang tengah memegang ponselnya, entah untuk apa. Yang jelas Damar menjadi tidak tenang karenanya. “Audrey.” Damar memanggil pelan.
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka