Perlahan kelopak mata nan indah itu terbuka, desiran napas terasa menyentuh kulit wajahnya. Mata itu melihat dengan seksama wajah tampan sosok yang ada di depannya.
Sosok seorang pria yang telah menggantikan tempat sang kakak untuk melindunginya. Sosok pria yang kini membuatnya yakin dan percaya.
Perlahan tangan kirinya membelai lembut bibir seksi milik pria itu. Irish terkejut saat tangan Benjamin memegang tangan dan mata itu terbuka, menatapnya lekat.
Lama mereka saling menatap satu dengan lainnya. Tangan Benjamin mengarahkan tangan Irish ke dadanya yang bidang.
"Kau tidak ke kantor?" Irish berusaha mengalihkan suasana.
"Tidak. Aku sudah mengambil cuti," jawabnya tanpa senyum dengan sorot tajam menatap Irish.
Tik ... tok ... tik ... tok ... tik ... tok .... Suasana menjadi hening saat itu, hanya suara denting jarum jam yang terdengar. Irish masih merasa nyaman dalam rengkuhan pelukan Benjamin. Dalam keadaan tidur saling berhadapan dan saling berpelukan. Kedua mata Irish masih terjaga dan menatap wajahnya. "Kenapa kau terus memandangku?" Benjamin membuka kedua matanya karena dia merasa sedang diperhatikan. "Aku tidak bisa tidur." "Biasanya kalau sudah posisi seperti ini, kau akan langsung tidur." Ben kembali mempererat pelukannya. "Aku merasa sangat gugup," lirih Irish. "aku juga merasa takut." "Apa yang kau takutkan?" Benjamin bertanya. "Aku tidak tahu." Irish semakin erat memeluk Ben dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang pria itu. Hening .... Merasa sudah tidak ada aktiv
Malam semakin larut, suasana semakin hening. Tampak kedua sejoli yang masih diam sambil melepas lelah. Benjamin masih mendekap erat tubuh Irish. Gadis berparas cantik dan manis itu terlihat sangat kelelahan. Benjamin menyibakkan rambut Irish yang sedikit basah karena keringat. "Ben, apa kau bisa mencabutnya? Terasa sangat sesak di bawah sana," cicit Irish. Benjamin menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Kenapa kau malah tersenyum." Irish mengernyit bingung. "Aku masih ingin melakukannya sekali lagi." "Apa, kau ini!" Dengkus Irish memukul dada bidang pria itu. "Apa masih sakit?" Benjamin menggerakkan junior kecilnya pelan.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari yang sangat spesial untuk Irish dan Benjamin, dimana mereka berdua akan mengikrarkan janji suci sehidup semati dalam ikatan pernikahan. Resepsi pernikahan yang digelar di hotel Leiden sungguh sangat meriah. Acara hanya dihadiri orang-orang tertentu saja. Kedua sahabat Benjamin, Mike dan Duncan hadir di sana, begitu juga dengan kedua sahabat Alexander yaitu Howie dan Gareth. Benjamin begitu tampan memakai setelan jas berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu sedangkan Irish terlihat sangat cantik dan anggun memakai gaun pengantin warna biru. Gaun pengantin yang dipakai oleh Irish terlihat simple, akan tetapi sangat elegan. "Akhirnya kau menikah juga, Ben," ujar Mike. "Mantan-mantanmu adakah yang diundang ke pesta ini, Ben?" tanya Duncan. "Aku rasa tidak perlu mengundang mereka. Mereka hanya masa laluku. Kalau aku undang mereka yang ada pesta
Masih dalam rangka cuti paska menikah, Benjamin dan Irish hari itu kembali ke apartemen untuk mengemas barang-barang yang akan dibawa ke rumah orang tua Ben. Tadinya Benjamin meminta Irish untuk tinggal di rumah saja, tapi gadis itu bersikeras ikut suaminya ke apartemen. Entah kenapa akhir-akhir ini Irish menjadi lebih keras kepala. Di apartemen, keduanya sedikit berbenah dan membersihkan tempat itu. Rencana setelah Benjamin pindah dari sana, dia akan mengontrakkan apartemen itu pada orang lain. Mengingat Benjamin adalah anak semata wayang di keluarga Van De Haan, jadi mau tidak mau setelah menikah dia harus kembali ke rumahnya. Irish dengan cekatan membenahi semua pakaian yang akan dibawa. Dia mengosongkan lemari pakaiannya. Keduanya hanya mengambil pakaian dan beberapa barang penting. "Apa sudah dikemas semuanya?" "Sudah semua. Ayo kita pulang." "Apa kita langsung
Bulan madu yang didambakan oleh Irish ternyata harus berakhir begitu saja. Irish yang berharap bulan madunya akan seromantis seperti drama-drama korea harus kandas karena Benjamin harus segera kembali ke Belanda. Benjamin mendapat kabar dari ibunya jika sang ayah masuk rumah sakit. Hari itu juga Benjamin dan Irish langsung bergegas terbang pulang ke negeri kincir angin. Begitu sampai di Leiden, mereka langsung menuju rumah sakit tempat Tuan Robi dirawat. "Bagaimana keadaan Ayah, Bu?" tanya Benjamin dengan muka khawatir. "Sudah lebih baik sekarang, tidak ada yang parah. Hanya saja benturan di kepalanya yang menyebabkan Ayahmu belum sadar." "Syukurlah." Benjamin sedikit bernapas lega. "Irish, Ibu minta maaf karena telah merusak bulan madu kalian," ujar Nyonya Elaine menatap Irish dengan sendu. "Tidak apa-apa, Ibu. Bulan madu bisa dimana saja. Yang lebih penting adalah
Irish masih berdiri mematung. Irish melihat dengan seksama siapa perempuan yang sedang berdiri di depannya. Otaknya mulai berputar untuk mengingat siapa dia. "Maaf, kau siapa? Bagaimana kau bisa mengenalku, sedangkan aku sama sekali tidak mengenalmu." "Namaku Amber Brouwer. Apa kau sibuk?" tanyanya. "Aku——" "Lebih baik kita bicara di cafe itu saja," sela Amber, kemudian wanita itu menarik tangan Irish. Kedua perempuan itu masuk ke sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit tempat Tuan Robi dirawat. Mereka berdua mengambil tempat duduk di tengah-tengah, karena pada saat itu kafe belum terlalu ramai pengunjung. "Kau mau pesan apa?" tanyanya tersenyum ramah pada Irish. "Hmm ... aku pesan coklat hangat saja," sahut Irish sambil menaruh barang belanjaannya di bawah meja. "Baiklah." Amber mengangkat tangannya, tak berapa lama
Sekarang malam apa ya? Ada bonus nih 🌚 eh .... Bab sebelumnya .... Irish bertemu dengan Amber secara tidak sengaja di sebuah supermarket. Amber Brouwer adalah mantan pacar dari Benjamin Van De Haan. __________ Adegan saling berebut sepotong buah Pir akhirnya berhasil dimenangkan oleh Irish, lalu di kunyah dan menelannya. Adegan itu membuat Benjamin semakin berhasrat ingin bermain sore itu. Tanpa memberi kode kepada istrinya, Benjamin langsung mencium bibir Irish. Bibir Irish yang masih basah karena ulah Ben pada saat ciuman sebelumnya membuat sang suami semakin berhasrat untuk bercinta dengan istrinya. Intensitas ciuman perlu dibangun perlahan-lahan, Benjamin melakukan dengan sangat pelan dan hati-hati. Ketika Irish mulai merespon, barulah Benjamin masuk ke tingkat yang lebih tinggi. Perlahan tan
Bab sebelumnya .... Benjamin merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Pasalnya bukan hanya ibunya yang menahan tawa saat melihat dirinya, Bibi Carrol yang notabene asisten rumah tangga paling setia ikut menahan tawa bahkan pelayan-pelayan yang lain pun sama seperti itu. __________ Ada apa sebenarnya denganku? Kenapa mereka semua menatapku aneh dan menutup bibirnya? gumamnya dalam hati. Benjamin melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya dan di dalam kamar Ben sudah disuguhi pemandangan yang begitu menggoda hasratnya. "Bisa-bisanya dia tidur dalam keadaan yang seperti ini," beo nya. Ben mendekati sang istri yang masih tertidur lelap, selimutnya tersingkap sebelah membuat gundukan daging kenyalnya terlihat jelas dan menantang. "Ini adalah aset-ku, bisa-bisanya tidur dalam posisi seperti ini. Pakai mengumbar aset-ku
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al