Ting Tong... Ting Tong....
Suara bel rumah berbunyi beberapa kali, Irish yang sedang berberes-beres rumah segera melangkah dan membukakan pintu.
"Oh ... Ibu." Irish terlihat terkejut. Pasalnya tidak seperti biasanya wanita itu datang ke rumah tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
"Ibu sengaja mampir ke sini karena kebetulan jalan searah. Ibu membawa ini untuk kalian." Nyonya Elaine memberikan sekotak bekal makanan pada Irish
"Apa ini, Bu?" tanya Irish menerima kotak bekal dari Nyonya Elaine.
"Ibu tadi membuat sup kuah kental dan Macaroni Schotel. Benjamin sudah Ibu suruh untuk ke rumah, tapi selalu saja ada alasannya." Nyonya Elaine duduk di sofa.
"Kenapa Ibu tidak bilang padaku. Biar aku yang akan mengambilnya ke rumah, jadi Ibu tidak perlu repot-repot mengantar sampai ke sini."
Nyonya Elaine tersenyum menatap calon menantunya.
"I
Siang itu Alex keluar masuk supermarket hanya untuk mencari buah belimbing pesanan istrinya. Namun, nihil hasilnya. Terpaksa dia langsung tancap gas ke kota Rotterdam. "Mumpung masih siang, lebih baik aku mencari buah itu ke Rotterdam." Sesampai di sana, Alex langsung menuju pasar tradisional dan akhirnya dia mendapatkan buah itu. "Maaf Bi, apa di sini ada buah belimbing?" tanya Alex. "Belimbing? Sepertinya tinggal lima buah," kata bibi si penjual buah. "Lima buah? Aku ambil semuanya," sahut Alex. "Anak muda, kau membeli buah belimbing sebanyak ini untuk apa?" tanya si bibi. "Apa kau pernah memakan buah ini sebelumnya?" lanjutnya heran.
Kedua insan yang sedang bermalam di hotel itu akhirnya tertidur pulas sampai pagi. Irish membuka matanya dan melihat Benjamin masih tertidur pulas. Irish begitu seksama menatap Benjamin, lelaki yang kini telah menggantikan posisi kakaknya, Alex. Perlahan Ben membuka matanya dan menatap Irish. Laki-laki itu membelai lembut rambut Irish. "Selamat pagi calon istriku," sapa Benjamin mencium kening gadis itu. Mendadak muka Irish menjadi merah seperti tomat, dia pun menenggelamkan kepalanya kembali ke dada lelaki itu. "Kau kenapa?" tanya Ben. "Boleh aku begini dulu." Irish menghirup aroma tubuh lelakinya. Ben tersenyum dan membelai lembut gadisnya. "Ayo bangun, sudah pagi. Kita akan ke lantai bawah untuk sarapan." Ben bangkit dari ranjang. Tok ... Tok ... Tok .... Suara pintu diketuk beberapa kali. Ben melangkah d
Sekembalinya mereka dari hotel, Irish langsung membaringkan tubuhnya yang ramping ke ranjang. Benjamin yang menyusul masuk kamar juga langsung ikut menjatuhkan tubuhnya di samping Irish."Aku belum masak untuk makan malam." Irish langsung bangun."Tidak perlu masak malam ini." Benjamin menarik tangan Irish hingga jatuh dipangkuannya."Kenapa aku tidak boleh masak? Apa di kulkas tidak ada bahan makanan untuk dimasak?" tanya Irish menatap Benjamin."Kakak iparmu tadi membawakan bekal makanan dari hotel," jawab Ben menatap lekat mata Irish dan semakin mendekat, semakin dalam dan bibir itu saling bertemu kembali. Ben mencium lembut bibir Irish."Ah ... Benjamin, aku ingin ke kamar mandi," kata Irish beralasan."Kenapa kau selalu menghindar?""Tidak. Aku hanya ingin cuci muka saja." Irish kembali beralasan.Irish melangkah masuk ke kamar mandi,
Flashback seminggu yang lalu. Ayana terus memperhatikan sebuah benda yang dia pegang. Binar mata bahagia terpancar saat dua garis merah terlihat. "Aku hamil." Ayana mengusap perutnya beberapa kali. Dia benar-benar bahagia. "Aku harus memberitahukan ini pada Alex." Ayana menyembunyikan benda itu saat akan keluar dari kamar mandi. Ayana melangkah pelan dan melihat Alex yang sedang duduk santai sambil menikmati teh hangat. Ayana berdiri tak jauh dari tempat Alex duduk, sebelum akhirnya Ayana mendekati Alex. Alex menatap heran istrinya yang hanya berdiri menatap dirinya. Alex pun berdiri dari duduknya. Tiba-tiba Ayana memeluk Alex dengan erat.
Masih terngiang dalam benak Irish soal syarat yang akan diajukan oleh Benjamin. Namun demikian, sampai sekarang pun pemuda itu belum memberitahukan sama sekali. Rasa penasaran masih membayangi Irish.Siang telah berganti dengan sore, Irish mulai disibukan dengan rutinitas memasak untuk makan malam.Namun, karena pikiran Irish masih terbang melayang memikirkan syarat itu hingga Irish tidak sadar akan sesuatu hal."Kenapa aku mencium bau gosong?" Benjamin menumpuk berkas-berkasnya dan menghampiri Irish yang tengah melamun. "Irish!"Gadis itu langsung tersentak kaget. "Astaga!" Irish menatap Benjamin. "Maaf ....""Sudah terlanjur. Daging sapi ini sudah tidak enak untuk dimakan.""Aku minta maaf, karena m
Menjelang hari pernikahan Irish mulai tampak gelisah dan gugup. Gaun pengantin yang di pesan pun sudah jadi.Bahagia bercampur gugup itu sudah hal biasa untuk pasangan kekasih yang akan menikah.Pagi itu Benjamin sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, dia pun belum mengambil cuti sama sekali menjelang hari pernikahannya."Mana bekal makan siang ku, sayang?"Irish membungkus kotak bekal makan siang untuk Ben dan menyerahkannya pada kekasihnya itu."Kenapa kau belum mengambil cuti?" tanya Irish sembari tangannya merapikan dasi yang agak miring."Sebentar lagi, kerjaan di kantor masih banyak," jawabnya dengan langsung mendaratkan kecupan di bibir Irish."
Momen panas dan romantis yang hancur karena bunyi suara perut Benjamin yang kelaparan. Pemuda itu lantas tersipu malu. "Kau belum makan?" "Selera makan ku hilang saat sampai di rumah dan aku tidak menemukan siapapun di rumah," papar Benjamin cemberut. "Maaf. Aku benar-benar lupa memberitahukan ini padamu. Aku—" "Sudahlah. Yang penting aku sudah menemukanmu." Ben menyela kata-kata Irish dan membelai rambutnya. "Kalau begitu, ayo kita turun ke bawah dan makan malam bersama. Aku juga sudah lapar." Irish menggandeng tangan Benjamin. Mereka berdua turun ke lantai bawah menuju ruang makan. Di sana sudah menunggu Paman Ruth dan Bibi Dennisa, Marky, Alex, dan Ayana. Momen yang langka
Perlahan kelopak mata nan indah itu terbuka, desiran napas terasa menyentuh kulit wajahnya. Mata itu melihat dengan seksama wajah tampan sosok yang ada di depannya. Sosok seorang pria yang telah menggantikan tempat sang kakak untuk melindunginya. Sosok pria yang kini membuatnya yakin dan percaya. Perlahan tangan kirinya membelai lembut bibir seksi milik pria itu. Irish terkejut saat tangan Benjamin memegang tangan dan mata itu terbuka, menatapnya lekat. Lama mereka saling menatap satu dengan lainnya. Tangan Benjamin mengarahkan tangan Irish ke dadanya yang bidang. "Kau tidak ke kantor?" Irish berusaha mengalihkan suasana. "Tidak. Aku sudah mengambil cuti," jawabnya tanpa senyum dengan sorot tajam menatap Irish.
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al