Irish masih mencerna kata-kata Anna waktu itu. Dia merenung duduk di sofa ruang tengah. Memangku dagunya dan berdecak heran.
"Peka? Apakah itu penting?" gumamnya. Alex yang memperhatikannya dari balik sebuah majalah yang sedang dia baca. Alex tersenyum sendiri mendengarkan celotehan Irish.
"Sssh ... aku tidak paham akan hal itu." Menjatuhkan dirinya di sofa. Sesaat setelah itu terdengar Alex berdehem. Kepala Irish pun menyembul untuk melihat Alex. Namun, Irish terkejut saat itu juga. Dia dibuat kaget karena sang Kakak sudah berjongkok di belakang sofa.
"Kak Alex ini sedang apa sih? Mengejutkan saja." Irish memegang dadanya yang berdegup sangat kencang saat itu. Alex tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... bisa terkejut juga, ya." Alex bangun dari posisinya yang jongkok di belakang sofa.
"Huh—untung aku tidak punya riwayat penyakit jantung, Kak," gerutu Irish mengomel-ngomel sendiri.
Ketika cinta datang secara tiba-tiba. Kita pun tidak bisa menolaknya jika hati ini juga memberikan sinyal. Mungkin itu yang dirasakan oleh Benjamin. Pemuda itu belum mengetahui hal sebenarnya antara Alexander dan Irish. Sudah beberapa kali Ben memergoki keduanya sampai-sampai Ben harus memberi peringatan tegas pada Alexander.Malam itu secara tidak diketahui oleh Irish dan Marky, ternyata Ben kembali membuat perhitungan untuk ketiga kalinya dengan Alex. Hal itu membuat pelipis Alex luka dan Ben pun mengalami memar di dahinya.❣❣❣Hotel Leiden siang itu."Tuan Muda, ini ada beberapa proposal yang harus Anda tanda tangani." Marky menyerahkan beberapa map berisi proposal."Taruh saja di meja," balas Alexander yang masih sibuk memasang plester di pelipis matanya."Oh, kenapa dengan pelipis anda Tuan Muda?" tanya Marky.
Di hari berikutnya, hotel Leiden masih menjadi tempat orang-orang terpandang mengadakan pertemuan dengan para relasi bisnis. Hari itu Alex mengajak Ayana ke Hotel. Sebenarnya Ayana tidak mau tapi berhubung Irish yang memintanya untuk ikut, agar bisa menemani Kakaknya, Alex. Sedangkan Irish sendiri ada urusan dengan Benjamin.Siang itu memang ada pertemuan antar beberapa perusahaan yang ingin bekerjasama dengan Alexander."Ayana—sedang apa kau di hotel ini?" tiba-tiba Hendric sudah berdiri di belakang Ayana. Pasti masih ingat kan, siapa Hendric? Laki-laki itu adalah mantan pacar Ayana.Ayana tersentak kaget melihat Hendric juga berada di hotel Leiden. Rasa kecewa yang mendalam masih Ayana rasakan dan membekas di hatinya."Kau sangat cantik memakai baju itu!" Hendric memandang Ayana dari ujung rambut sampai ujung kakinya, dia mulai melancarkan jurus mautnya. "Apa kau sedang menunggu seseorang atau kau
"Nona Muda, mau pulang?" tanya Bibi Dennisa melihat Irish tengah bersiap-siap. "Iya Bi, hari sudah semakin sore," jawab Irish tersenyum menatap wanita yang mengasuhnya dan Kakaknya sedari kecil. "Emm ... Nona Muda, tadi Tuan Muda menghubungi Bibi. Kata Tuan Muda, beliau akan menginap di hotel malam ini." Bibi Dennisa memberitahu Irish. "Menginap di hotel?" Irish mengernyit bingung, karena tidak seperti biasanya. Yang Irish tahu, jika Alex tidak pulang ke rumah, dia pasti akan tidur di apartemennya. "Kata Tuan Muda tadi siang ada keributan di hotel, jadi Tuan Muda akan tinggal dulu di hotel." Bibi Dennisa menjelaskannya. "Terima kasih ya, Bi. Bibi juga boleh pulang." Irish memeluk wanita tua tersebut. "Hati-hati, Nona Muda. Tuan Ben, Bibi minta tolong antar Nona Muda dengan selamat sampai ke rumah." "Ah, tenang saja Bi. Nona Muda Irish akan aman
Kejadian di gudang tua sudah teratasi dan tidak terjadi hal yang serius pada Alex. Namun, tidak dengan Ayana. Ben masuk ke kamar di mana Irish terbaring lemah selama enam jam. Alat infus menancap di pembuluh darahnya dan ventilator masih terpasang di hidungnya. Wajah cantik dan manis itu terlihat pucat. Ben begitu menyesali kejadian pada waktu itu. Tiit ... Tiit ... Tiit ... Suasana begitu sunyi dan yang terdengar hanyalah alat detak jantung Irish. Ben mendekati Irish yang masih tidak sadarkan diri. Dibelainya lembut surai keemasan milik Irish. "Irish, bukalah matamu. Cepatlah bangun!" Ben mengecup kening Irish. "Bagaimana keadaan Irish?" tanya Alex yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Dokter bilang keadaannya sudah stabil, tapi kenapa dia belum juga sadarkan diri?" ucap Ben terlihat sangat khawatir terhadap Irish, pasalnya Irish belum j
Irish merasa sangat risih ditatap dengan tatapan yang seperti sedang melihat orang aneh, akan tetapi Irish terlihat masa bodoh. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah makan, karena tidak dipungkiri, Irish sudah merasakan rasa lapar.Berbeda dengan para pegawai di sana, karena pusat perhatian mereka tertuju pada Irish. Entah karena Irish saat itu terlihat sangat anggun dan cantik atau mata mereka tertuju pada sosok seorang Benjamin.Irish memang mengakui jika Benjamin adalah pemuda yang tampan, akan tetapi Irish memang tidak menyukai sifat dan sikap Benjamin. Namun, di sisi lain Ben juga mempunyai sisi lembut yang baru diketahui oleh Irish akhir-akhir ini.Bola mata Irish terus berputar memperhatikan sekitar. Gadis cantik berlesung pipi itu masih menangkap sesuatu yang aneh di restoran itu."Selamat datang, Tuan Muda," sapa seorang perempuan yang membawakan daftar menu pada Benjamin."
Irish menghela napas panjang. Dia menengadah ke atas, menatap langit-langit ruangan tengah. Ayana yang menyadari hanya berdecak. "Aku akan sendirian, jika kau mengundurkan diri," celoteh Irish. "Ada si Bos Besar, dia pasti akan menemanimu setiap saat." Ayana terkekeh. Irish melengos mendengarkan ucapan Ayana. Melihat reaksi Irish yang sangat lucu, Ayana makin suka menggodanya. "Makanya buruan kalian menikah," celetuk Ayana. "Hah? Menikah? Dengan dia?" "Siapa lagi?" goda Ayana. "Sudah, ah. Aku berangkat sekarang saja, ya." Irish menyambar tasnya dan berlalu dari hadapan Ayana. "Kenapa jadi dia yang ngambek." Ayana mengangkat bahunya. ❣❣❣ Alex menyetir mobilnya dengan pelan saat memasuki area apartemen. Pria itu tampak tid
Benjamin van Dee Han, pemuda ini memang mempunyai banyak keistimewaan. Tak heran banyak wanita yang mengejar-ngejar dia, termasuk Grace, Anna, Nicole, dan masih banyak lagi. Salah satu dari mereka bertiga ada yang begitu terobsesi dengan Benjamin. Ben sendiri sudah ditagih oleh kedua orang tuanya untuk segera menikah. Namun, Ben masih enggan menjawabnya. Akan tetapi sejak bertemu dan mengenal Irish, Ben mulai memikirkan masa depannya. Selepas sang kakak menikah, Irish lebih sering menghabiskan waktunya untuk bekerja. Sahabat satu-satunya Irish juga sudah mengundurkan diri dari perusahaan tempat dia bekerja. Setelah Alexander menikah, dia memutuskan untuk tinggal di apartemen. Irish pun sering sendirian di rumah, tak jarang Benjamin sering menemani Irish. "Kenapa setiap kali aku ajak tinggal di apartemenku, kau selalu menolak." Ben bertanya sambil membereskan meja makan. Irish terdiam karena tidak mende
Ben tampak tidak tenang terbaring di atas ranjangnya. Pikirannya melayang teringat kejadian saat Nicole memeluknya. Wanita itu datang dengan tiba-tiba dan langsung mendekapnya erat. Apakah Irish marah padaku? Sejak kejadian itu dia jadi diam dan enggan berbicara padaku, batin Benjamin. Lantas dia menggelengkan kepalanya, bangkit dari baringnya dan meraih benda pipih. Menyalakannya dan mencari kontak Irish. Antara ragu dan tidak, Ben tampak bingung. "Apa aku harus meneleponnya?" Ben belum begitu yakin. "Aah, aku ini kenapa?" Ben mengacak-acak rambut. "Aku akan bicara dengannya besok di kantor." ❣❣❣ Siang itu Benjamin menemui Alexander di cafe milik Howie. Kebetulan sekali di sana ada Gareth juga. Ben menemui Alex untuk membicarakan masalah Irish. "Aku sih tidak masalah." Alex menatap Ben. "Selama dia setuju, aku pun akan mendukungnya," lanjut Alex kembali me
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al