Sandra hanya diam, membiarkan Adriel menjelaskan semuanya yang mungkin saja belum diketahuinya. Tubuhnya bagaikan patung es yang siap untuk meleleh.
"Ada sesuatu hal yang membuat kami batal menikah saat itu, padahal semua sudah kupersiapkan. Itulah sebabnya, aku menikah denganmu." Sandra mulai merasakan akan ada badai yang menerpanya."Tapi kini, Alena sudah siap menikah denganku." Deg, Sandra sudah bisa menebak kelanjutannya."Lalu?" Bibirnya bergetar."Kita akhiri saja sandiwara ini." Adriel mengucapkannya dengan perlahan."Warisanmu? Bukankah itu tujuan semua ini?" Sandra berharap Adriel masih mempertimbangkan keputusannya. Entah mengapa, ini begitu sulit diterimanya."Aku bisa mendapatkannya bersama Alena. Syarat dari kakek hanya aku harus menikah." Penjelasan Adriel sama sekali tak diharapkan, bahkan seolah tak peduli pada perasaannya."Lalu aku?""Bukankah semua sudah kulakukan untukmu?" Mata Adriel ikut menegaskan kalimatnya."Lalu, kemudian aku akaAlena memasuki halaman rumah milik Dewanda. Ini adalah kali pertamanya diajak Adriel yang harusnya pada malam itu. Penyesalan kembali menggerogoti hatinya, mengapa tidak sejak awal. Namun, senyuman licik kembali samar di wajahnya, mengingat sebentar lagi, Adriel akan kembali ke pelukannya.Tak putus ia mengagumi kemewahan milik keluarga kekasihnya itu. Tanpa sadar, Adriel mendengar decakan kagum yang meluncur begitu saja dari mulutnya."Rumah kakek kamu, besar sekali, Sayang." Alena bergelayut manja di lengan Adriel sambil memandang sekitarnya. Laki-laki itu hanya tersenyum melihat kebahagiaan wanitanya."Kamu harus buat mereka menyukaimu, ya." Adriel menyentuh puncak hidung Alena."Siap, Pak Bos." Alena menggeser wajahnya hingga puncak hidungnya yang mancung menyentuh pipi Adriel. Keduanya tertawa bahagia.Dewanda dan Melati telah menanti di dalam rumah. Mereka dapat menyaksikan kemesraan cucunya dengan wanita lain yang bukan istri sahnya. Melati menatap dengan sendu
"Nenek gak setuju kamu menikah dengan dia," tukas Melati. Dia menatap cucunya penuh harap.Adriel sangat menyayanginya, demikian sebaliknya. Keduanya saling bergantung dan tidak dapat menolak permintaan masing-masing. Tapi, kali ini Melati tidak akan menuruti keinginan cucunya itu."Kenapa, Nek? Apa karena dia tidak bisa masak? Semua butuh proses, Nek." Adriel mencoba meyakinkan neneknya dengan wajah memelas. Dia tidak berani berkata keras terhadap wanita yang telah membesarkannya itu."Bukan hanya itu, nenek rasa dia bukan perempuan yang cocok denganmu. Apa kurangnya Sandra?" Sama halnya dengan Melati, tidak pernah ada kata atau nada keras darinya mesikipun sedang marah pada cucu tunggalnya itu."Pasti karena Sandra, kan? Nenek suka karena lebih dulu mengenalnya daripada Alena.""Ya, Nenek suka pada istrimu itu. Jangan pernah menggantikannya dengan wanita lain!" Melati menekankan setiap katanya.Adriel tahu, Melati sudah tak terbantahkan jika sudah sep
Adriel berada dalam dua pilihan. Memilih Alena, sama halnya merelakan apa yang sudah diperjuangkan keluarganya pada orang yang salah. Denis akan mendapat kesempatan untuk memiliki warisan Dewanda. Tapi, jika dia memilih, mengikuti persyaratan Dewanda, dia takut akan terikat pada sesuatu yang tidak mudah dilepaskan.Seperti biasa, dia melakukan aktivitasnya, mengurus tiga perusahaan sekaligus. Adriel bersyukur punya orang-orang yang dapat dipercaya. Arman, meski tidak terlalu disenanginya, cukup membantu pekerjaannya."Permisi, Pak," pamit Arman setelah mendapatkan beberapa kritik dan saran dari Adriel.Adriel bukan saja pimpinan yang keras dan tegas, tapi dia juga mampu mengayomi karyawannya agar bekerja lebih efektif dan loyal. Tidak sedikit karyawan yang memuji gaya kepemimpinannya itu. Yang tidak suka, justru adalah mereka yang berlaku curang dan mencari kepentingan sendiri dan merugikan perusahaan.Baru saja Arman memegang handle pintu, pintu itu terdorong da
Sandra hanya bisa pasrah pada perlakuan Adriel. Entah itu karena kelemahannya yang tak sanggup melepaskan diri atau karena perasaan yang tak dapat dipungkiri. Dan kenyataan sangat menyakitkan hati. Adriel melakukan hanya demi harta.Air mata mengalir deras ketika Adriel selesai menuntaskan misinya. Sandra tidak pernah menyangka akan sejauh dan sesakit ini. Dia melepas tangis setelah Adriel meninggalkan kamar kembali ke kamarnya.Sejak awal, mereka memang tidur di kamar terpisah. Sesuai perjanjian, tidak boleh saling menyentuh. Namun, dengan egois Adriel mengubah perjanjian demi kepentingannya sendiri tanpa memikirkan nasib dan perasaan Sandra. Tangisnya semakin pilu melihat bercak darah di sprei.Di kamarnya, Adriel segera membersihkan diri. Sebenarnya, ada sedikit rasa bersalah yang muncul di bilik hatinya. Namun, tidak ada pilihan. Semua dilakukannya demi kelangsungan Dewanda Group. Dia tahu betul bagaimana kakeknya, tidak pernah main-main jika membuat keputusan. Adriel t
Adriel tak sabar untuk segera menemukan nama yang dicarinya. Lebih cepat, tapi tetap teliti agar tak ada yang terlewatkan. Jantungnya berdetak kencang, tumpukan map semakin menipis, tapi data Adriana belum ditemukan."Pasti ada." Adriel tidak putus asa mencari meski sudah habis memeriksa.Teringat pada map miliknya tadi yang tak sempat dibuka. Diambilnya kembali untuk dilihat isinya, berharap ada sesuatu yang dapat ditemukannya.Ya, seperti yang diharapkannya, sebuah kertas yang bertuliskan nama Adriana sudah berada di tangannya. Adriel juga yang menyebutkan nama adiknya pada Bu Ani saat itu.Ani menuliskan bahwa mereka adalah korban kecelakaan yang ditemukan warga. Di balik kertas tadi, ada kertas lagi yang menyatakan pengadopsian Adriana. Dengan jelas, Adriel membaca nama pasangan suamu istri itu. Damar dan Maria.Napas Adriel tersekat. Pikirannya menerawang pada foto yang ditemukannya dari koper Sandra saat itu. Adriana dengan seorang anak perempuan yang seba
Melihat ekspresi Adriel yang aneh, Sandra menjadi takut."Ada apa?" Dahinya berkerut.Adriel diam sejenak, mematung, melihat wajah Sandra. Dia tak menyangka, adik yang selama ini dicari-carinya telah berada di dekatnya. Namun, dalam posisi yang berbeda.Adriel menggosok-gosok wajah dengan kedua tangannya. Berharap semuanya hanya mimpi atau berubah. Tapi, tetap yang di hadapannya adalah pemilik kalung yang telah menjadi istrinya bahkan telah ditidurinya."Aku sudah memutuskan, kita akan bercerai." Kalimat itu meluncur begitu saja dari Adriel. Dia masih mematung, menatap Sandra, membuat wanitanya itu merasa ada yang aneh."Baik, itu yang terbaik." Raut wajah Sandra yang awalnya senang setelah menemukan kembali kalung itu, berubah tegang.Tak pernah sebelumnya, Adriel salah tingkah di hadapan wanita. Ini kali pertama dialaminya. Dia yang biasanya mendominasi dan angkuh, kini bingung menetapkan sikap."Aku masuk dulu." Ada rasa sesak yang kian lama kian terasa di di
Adriel pergi dari rumah Alena. Di perjalanan dia mulai menganalisa apa yang sudah dan sedang terjadi. Barulah, ia mengingat-ingat kejadian pada saat Alena menolaknya malam itu. Dia memacu mobil dengan kecepatan tinggi, meski tak tahu harus ke mana. Apa yang menimpanya bertubi-tubi mendadak merobohkan keangkuhannya.Akhirnya, Adriel memutuskan untuk ke club. Berharap di dalamnya dia dapat mengurangi beban pikiran yang menimpa dalam waktu bersamaan. Minuman menjadi pelarian, tapi tidak dengan wanita. Itu bukan kebiasaan Adriel sejak bersama Alena.Baru beberapa teguk yang dicicipinya, ponselnya berdering. Adriel yang berencana tak ingin mengangkat, terkejut melihat yang tertera di layar ponselnya.Rumah, gumamnya merasa aneh.Jarang sekali dia mendapat panggilan dari rumah. Kalau pun pernah, itu karena kedatangan kakek dan neneknya. Pelayannya dengan cepat akan memberi kabar jika dia tidak sedang berada di rumah.Juan melirik jam di tangannya. Sudah hampir tengah malam.
Setelah mendapat kabar dari Alena mengenai keputusan Adriel yang akan menceraikan Sandra, Denis langsung bergerak cepat menemui Dewanda. Bayangan harta warisan yang akan jatuh ke tangannya, sudah berada di depan mata."Ada apa?" tanya Dewanda dingin. Dia tahu, Denis tidak akan menemuinya jika tidak ada keperluan.Hubungan keduanya memang tidak dekat, apalagi sejak Dewanda mengetahui kecurangan yang dilakukan Melisa, nenek Denis. Sulit baginya mencintai Denis dengan sepenuh hati. Sementara, Denis sejak kecil telah ditanamkan padanya ketidakadilan Dewanda terhadap nenek, ayah dan dirinya sendiri."Ada yang ingin kusampaikan, ini mengenai Adriel."Dewanda menatap Denis penuh kecurigaan. Dia tahu mereka berdua tidak pernah akur sejak dulu. Tanpa mereka akui, jelas ada persaingan di antara keduanya."Ada apa dengan Adriel?"Denis memperbaiki posisi duduknya, dia tahu mata Dewanda tak lepas menyelidikinya. Sekali deheman mengawali perkataannya."Aku tahu, Kakek
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan."Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakan
Sandra terlena, pertahanannya kacau oleh sihir Adriel. Dia tak mampu menahan ketika bibir Adriel bekerja nakal. Pagutan laki-laki itu tak terbantahkan.Mereka masih berada di depan pintu kamar. Adriel tidak perlu takut ketahuan oleh siapapun di dalam rumah, ini adalah rumahnya. Dia juga tak perlu takut dimarahi karena Sandra adalah istrinya.Sandra merasakan dirinya semakin lemah. Bukan, hatinya yang lemah. Lidah Adriel telah menerobos masuk, mencari pasangannya. Organ tak bertulang itu begitu liar, memberi sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Sandra.Ya, ini adalah kali pertamanya meski sebelumnya mereka pernah menyatu. Tidak seperti waktu lalu, Adriel tanpa permisi langsung pada intinya. Menerobos masuk tanpa pembukan, sangat menyakiti. Kali ini, Adriel meminta dengan penuh kelembutan.Dengan mudah, tanpa melepas pelukan dan pagutan, Adriel berhasil membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dengan pelan, sepelan langkah mereka menuju ranjang lu
Adriel mendongak sebentar, lalu kembali menatap meja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi kaget kedatangan mantan kekasih.Ya, mantan. Sejak dia melihat langsung, kekasihnya itu berada dalam kamar bersama Denis, dia sudah tak menganggapnya kekasih lagi. Rasa yang selalu bergejolak setiap kali bertemu Alena, mendadak sirna, bagaikan goresan pasir terhapus ombak."Aku gak masalah, kamu kembali padanya untuk sementara waktu. Semua demi masa depan kita, kan? Tapi, gak gini juga, Sayang. Masa kamu mau makan di tempat seperti ini." Suara Alena terlalu nyaring, tak menyadari sepasang telinga milik penjual nasi goreng itu ikut mendengarnya. Wajahnya mengguratkan ketidaksenangan atas ucapan Alena."Kalau sudah selesai makan, kita langsung balik, ya," pinta Adriel pada Sandra. Wajahnya yang tenang berubah kusam.Alih-alih menjawab dan menanggapi Alena, dia malah menarik tangan Sandra yang tidak jadi menghabiskan nasi gorengnya. Seleranya menguap akibat kedatangan Alena.Sandra men
Sandra memaksa matanya untuk terbuka meski terasa sangat berat. Hampir pagi baru dia berhasil terlelap setelah lelah dengan segala pikirannya.Dia merasa ada aktivitas di dalam kamar. Terbiasa sendiri di dalam kamar, membuat dia merasa risih jika ada orang lain.Adriel sudah berpakaian lengkap, bersiap ke kantor. Tidak dapat dipungkirinya, laki-laki itu sangat tampan dan mampu mendominasi hati setiap wanita yang berada di dekatnya. Seperti Sandra saat ini yang berada sekamar dengannya.Aroma parumnya menyeruak di hidung Sandra. Wangi, tapi entah mengapa Sandra merasa mual. Dia langsung menutup mulutnya."Mual lagi?" Adriel menghampirinya.Sandra menahan dengan telapak tangannya, memberi isyarat agar Adriel menjauh. Kedua alis laki-laki itu terangkat, membentuk beberapa lipatan vertikal di dahinya."Aroma parfummu," ucap Sandra dengan mulut tertutup.Adriel mencium kedua pundaknya sendiri bergantian, memastikan aromanya yang sebenarnya sangat wangi."Ada beber
Sandra sudah berada di dalam mobil bersama Adriel. Membahas mengenai hubungan mereka akan semakin membuatnya lelah hati. Akhirnya, dia memilih untuk diam dan menunggu apapun keputusan laki-laki yang sedang sibuk dengan kemudi di sampingnya.Mereka sampai di rumah Adriel. Ibu Tuti sudah menunggu, berlari mendapati Sandra untuk membantunya turun dari mobil."Dokternya sudah dihubungi?" tanya Adriel pada wanita paruh baya itu."Sudah, Tuan. Sebentar lagi dia akan sampai," jawab Tuti punuh hormat.Tidak lama kemudian, dokter yang dimaksud juga datang. Sandra sudah dibawa ke kamar Adriel."Kenapa di sini?" tanya Sandra pada Bi Tuti."Tuan yang menyuruh, Nyonya."Sandra mengernyitkan dahinya, tidak mengerti pada perubahan sikap Adriel. Bukankah dia berencana akan menceraikannya, lalu mengapa harus berlaku seperti ini."Apa jangan-jangan dia mengubah keputusannya kembali? Dasar plin plan. Dia mau aku melahirkan anak ini untuknya. Cuih, dasar laki-laki egois." Sandra
Bu Ani sedang tidak dalam keadaan sehat. Sejak pertemuannya dengan Dewanda dan Melati, kondisinya menurun. Beruntung tidak sampai dirawat kembali, cukup istirahat di rumah.Saat Adriel ke rumahnya, menantunya yang selalu ada mendampingi, memperingatkan. Adriel berjanji hanya membicarakan soal panti asuhan agar mendapatkan izin.Benar saja, saat Ani keluar dari kamarnya, Adriel dapat melihat kelelahan di wajahnya. Tapi, dia tampak sedikit bersemangat ketika mendengar siapa yang datang."Apa Ibu kuat?" tanya Adriel tulus karena melihat kondisinya."Tidak apa-apa, saya hanya kecapean. Namanya juga sudah tua." Ani memaksa senyum di wajah keriputnya."Saya hanya memberitahu bahwa saya sudah selesai dengan data-data itu. Ternyata tidak semudah itu menemukan mereka kembali." Adriel tampak murung dengan kalimat terakhirnya."Maaf telah merepotkan," sesal Ani."Tidak apa." Adriel meresponnya dengan senyuman."O ya, ada yang ingin saya tanyakan perihal Sandra." Adriel