“Rendi…! Buruan cari cantuan!” Nesa menjerit histeris.
“Iya Mbak. Tutup dulu telponnya,” Rendi ikut berteriak panik dari seberang telepon.
Dengan perasaan tidak karuan, Nesa mengamati isi kamar, berharap menemukan peralatan yang bisa dijadikan senjata jika Lee berhasil menerobos pintu.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah pemukul bisbol yang berdiri di sudut lemari pakaian. Bergegas, ia mengambil benda tersebut dan menunggu. Nesa bersiaga di belakang pintu. Ia memegang pemukul kayu itu dengan erat sambil mengatur detak jantungnya yang bergemuruh tak menentu.
“Pilihannya, aku atau kamu!” batinnya dengan nekat, siap mengayunkan pemukul kayu jika Lee muncul.
Namun pintu dengan kayu tebal itu masih berdiri kokoh meskipun Lee berkali-kali menghantam dari luar.
Susan tampak mulai menggerak-gerakkan badan sembari membuka mata. Pandangannya sayu menatap Nesa yang tengah berjaga di depan pintu dengan waja
“Perempuan sialan!” Sosok itu berusaha menusukkan pisau ke arah jantung Nesa.Nesa terperanjat. Rudi dan Rudi tak kalah kaget. Mata mereka terbelalak ketika Lee tiba-tiba menerjang Nesa.“Hei! Apa-apaan!” seru Rudi dengan suara keras.Dengan gerakan refleks, Nesa memutar tubuhnya menghindari serangan Lee. Pisau Lee terlempar, sedangkan Lee tampak terhuyung-huyung. Ia kaget, tak menyangka Nesa berhasil menghindari serangannya.Melihat Lee terhuyung, sontak Rudi dan Roni memegangi tubuhnya dengan kuat.“Tangkap dia, Pak!” Teriak Nesa kencang begitu berhasil selamat dari tusukan pisau Lee. “Jangan sampai lolos!”Namun, entah mendapat kekuatan dari mana, Lee berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Rudi dan Roni. Ia melarikan diri. Kedua orang suruhan Raga itu mengejar Lee yang melesat menuju halaman belakang. Lalu masuk ke dalam sebuah bangunan yang berdiri di sebelah kolam renang. Dengan cekatan
Raga kembali menyentuh tangan Susan dengan lembut, lalu berpaling pada Nesa.“Kamu di sini jaga Ibu, Sayang. Aku mau ketemu Rudi dan Roni dulu.” Ia berjalan keluar kamar. Nesa mengikuti dan berbisik ketika mereka sampai di luar pintu.“Pastikan bajingan itu tidak kabur, Mas. Dia harus mempertanggungjawabkan kejahatannya pada Ibu.”“Iya. Kamu tunggu di sini. Aku ke sana dulu.”Raga meninggalkan Nesa dan berjalan cepat menuju halaman belakang. Ia disambut Rudi dan Roni dengan salaman dan langsung melaporkan keadaan.“Dia masih di dalam, Pak,” kata Rudi, disambut Roni dengan anggukan.“Tadi dia nyaris mengenai Mbak Nesa dengan pisau. Untung Mbak Nesa refleks menghindar. Kalau tidak bisa sangat fatal,” Kata Rudi dengan wajah masih menyisakan kemarahan.“Kok bisa lolos?” Raga menatap keduanya dengan penasaran.“Tadi sudah berhasil kami tangkap, tap
Sementara itu, di lantai Penthouse Gedung Global Holding Company, Pram tengah termenung memikirkan ucapan Nesa tadi siang. Meskipun tampak tidak mempedulikan apa yang dikatakan Nesa, tetapi setelah kepergian gadis itu, Pram terhanyut dengan berbagai pikiran dan spekulasi.“Apa mungkin benar Nesa anak kandungku?” Pikiran itu terus menghantuinya. “Tapi kenapa Susan tidak pernah memberitahuku?”Sebenarnya ada rasa kagum menyeruak di hati laki-laki jelang enam puluh tahun itu. Ia tak menyangka tim kuasa hukum yang mewakili perusahaan dan juga sekaligus calon menantunya itu memiliki keberanian dan kenekatan yang membuatnya merasa nyaris tidak percaya.“Aku tak pernah bertemu gadis senekat dia,” gumam Pram sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Sebuah kebiasaan yang ia lakukan jika tengah berpikir serius. “Perempuan pendiam yang terlihat lembut itu ternyata menyimpan nyali yang sangat besar. Semua orang memperlak
Pagi hari, Pram merasakan semangatnya kembali pulih. Meskipun energinya terkuras karena Susan tak henti-henti membuatnya terbang melayang, tapi ia merasakan jiwanya seakan berada di puncak nirwana. Kebahagiaan semalam yang ditawarkan Susan bena-benar membuat Pram kembali merasakan kehangatan cinta.“Terima kasih, Sayang,” ucapnya ketika berpamitan di pagi hari. “Aku akan kembali untuk kamu.” Sebuah janji yang ternyata tak semudah itu dapat ia wujudkan.Butuh waktu tiga bulan hingga akhirnya ia memiliki kesempatan untuk menjumpai Susan kembali. Namun kehadirannya di kesempatan kedua itu sangat mengecewakan. Susan sudah bersama orang lain. Ia tidak bisa bersama gadis yang telah dinantinya sekian lama. Pram menghabiskan malam itu di Mike House dengan semangat yang terasa sangat jauh berbeda.“Semua tak sama tanpa, kamu, Sayang,” keluhnya karena tak bisa bersama Susan.Namun, Mike dan Juliana cukup berbaik hati padanya. Mer
Pertemuan keluarga yang semula untuk saling mengenal calon besan, berubah menjadi pembicaraan kaku dan penuh tekanan. Pram terpaksa harus bersandiwara agar tidak membuat Vita dan Raga curiga. Begitu pula Susan. Ia terlihat sangat berusaha agar tetap bisa mengendalikan diri. Meskipun wajah cantiknya terlihat pucat, ia tetap bersikap tenang. Saat berbicara pun ia berupaya agar tetap fokus dan tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi Suami Susan tampaknya sangat protektif pada sang istri dan terus menatap Pram seakan hendak menerkam.Pram dapat merasakan kegelisahan Susan karena ia pun tak kalah resah dengan pertemuan tak disangka sangka itu.“Ternyata bumi ini begitu sempit,” batinnya.Pertemuan itu sontak membuat kenangan masa lalu menari-nari di kepala Pram. Dia tidak banyak berubah,” lirihnya dalam hati. Ingin rasanya ia memeluk perempuan itu saking bahagianya bertemu kembali, dan melepaskan segala rasa rindu yang puluhan tahun ia tahankan, tapi
Pram terdengar menghela napas lega.“Saya segera ke sana,” katanya dengan suara terdengar sungguh-sungguh.Nesa tercenung. “Apa aku tidak salah dengar?” gumamnya. Pikirannya melayang ke sana kemari. Satu sisi hatinya bahagia karena Pram ternyata masih peduli pada Susan, tapi di sisi lain, ia mengkhawatirkan nasib cintanya dengan Raga.“Jika benar dia ayahku, apa yang harus kulakukan dengan Raga? Apa cinta yang kupunya untuk Raga bisa kualihkan menjadi cinta adik pada kakak?” Tiba-tiba Nesa bergidik ngeri teringat apa yang telah ia perbuat dengan Raga di malam sebelumnya.Tergesa ia menggelengkan kepala menghapus bayangan itu. “Aku khilaf ya Tuhan,” keluhnya dengan perasaan tak karuan.Dengan langkah gontai, Nesa kembali menuju ke ruang perawatan Susan. Tadi ia memilih keluar agar Susan tak mendengar pembicaraannya dengan Pram.“Apa yang akan Ibu lakukan jika Pram benar datang ke sini?&rdq
Pram memandangi Susan. Perasaannya berkecamuk. Rasa bahagia bercampur prihatin membuat laki-laki itu menghembuskan napas berat. Lalu, secara tak terduga, ia mengelus tangan Susan dengan lembut.Nesa menatap tak percaya. Pemandangan di depan matanya seakan tidak nyata.“Dia mau apa?” batinnya sambil memperhatikan setiap gerakan Pram.Tiba-tiba Susan membuka mata dan terbelalak melihat Pram berdiri begitu dekat di hadapannya.“Pram…..” Ia berbisik dengan suara lemah.“Bagaimana keadaan kamu?” Pram bertanya dengan suara lembut.Susan tampak masih belum percaya. “Pram….Kenapa kamu ada di sini?” Ia menoleh ke arah Nesa, seolah meminta penjelasan.“Nesa dan Raga mengabari yang terjadi sama kamu.” Jawaban Pram membuat Susan menutup mata dan memalingkan wajah.“Seharusnya kamu tidak boleh di sini,” katanya dengan suara lemah. “Aku terlalu malu b
“Terima kasih Pram. Aku benar-benar berharap Nesa anak kamu. Tidak ada yang lebih pantas untuk jadi ayahnya selain kamu. Dan aku sangat yakin Nesa memang anakmu. Sifat keras kepalanya persis kamu.” Susan merasa kedekatan yang dulu pernah ia rasakan dengan Pram kembali menyeruak. Ia tak merasa sungkan sama sekali. Malah merasa begitu nyaman berada di dekat mantan pelanggan dan juga kekasihnya itu. Wajahnya penuh dengan air mata. Genggaman tangan Pram serasa obat penenang yang membuat tubuhnya tiba-tiba menjadi kuat.Pram memaksakan sebuah senyum untuk Susan, meskipun hatinya benar-benar sedang galau. Hanya dalam waktu hitungan hari, calon menantu yang sangat ia banggakan, tiba-tiba saja dinyatakan sebagai anak kandungnya.“Entah aku harus sedih atau bahagia,” batinnya. “Jika ternyata Susan salah, dia pasti sangat tersiksa karena sudah begitu yakin dengan perasaannya.”Sejumput rasa kasihan menyelinap di hati Pram melihat batapa
Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.
Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan
Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat
Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora
Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m
“Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da
Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb
Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke
Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat