Pagi pun tiba. Jihan sudah bangun lebih awal, bahkan kini dia sudah menyiapkan sarapan tanpa ibu mertuanya dan juga para Asisten. Dimeja makan pun sudah tersaji beberapa menu makanan untuk sarapan. Bukannya ikut menikmati, Jihan hanya menaruh selembar kertas tanpa ikut menikmati sarapan bersama keluarga suaminya itu. Aleta yang baru saja akan menuju dapur terkejut karena sudah mencium bau aroma masakan dari ruang makan.
"Wah sudah banyak makanan nih pagi-pagi. Siapa yang menyiapkan makanan sepagi ini ya?" Tanya Aleta pada dirinya sendiri. Lalu dia melihat selembar kertas yang ditaruh dibawah piring.
Jihan.
Bunda, Jihan sengaja masak pagi-pagi, sekali-sekali gak apa-apa ya, masak tanpa bunda. Tapi maaf, Jihan gak bisa ikut sarapan bersama kalian. semoga kalian suka ya sama masakan Jihan. Bunda, Jihan pergi ke kampus lebih awal karena ada tugas penting semoga kalian menikmati sarapan kalian.
Dikampus. Lebih tepatnya dikelas. Jihan sedang duduk termenung memikirkan hubungan nya dengan Septian, dia ingin sekali menemui suaminya itu, dan mengalah untuk minta maaf. Dia menyerah jika Septian ingin mengumumkan hubungannya dan statusnya yang memang sudah menikah. Dan mereka kini sudah menjadi suami istri."Han, kamu kenapa? Kok ngelamun terus sih, dari tsdi? Ini masih pagi loh." Sandra yang baru saja datang menghampiri Jihan yang terlihat sedang melamun. Jihan yang mendengar sapaan Sandra, langsung menatap Sandra dan kemudian tersenyum tipis pada gadis itu."Gak apa-apa kok, San. Cuma pusing aja mikirin buat persiapan skripsi yang tinggal sebentar lagi," Sahut Jihan. Dengan mencoba seramah mungkin."Oh gitu. Kirain aku kamu sakit, ya udah kalau gitu, aku balik ke meja dulu ya, takutnya Maura datang. Soalnya Maura kayaknya gak suka, kalau aku deket-deket sama kamu," Ucap Sandra. Lalu kini dia pun berjalan kearah
Kini Jihan terus berlari menuju gerbang kampus. Lalu dia menyetop taksi, Gilang yang baru masuk kehalaman ksmpus pun terlihat bingung dengan Jihan, yang pulang sebelum waktunya. Gilang pun memarkir mobilnya lalu menuju kelasnya, sesampainya di kelas, Gilang menanyakan tentang Jihan kepada Maura. Setelah mendengar penjelasan dari Maura. Dia langsung ketempat duduknya karena dosennya, sudah memasuki kelas. Maura pun memberi tahukan pada sang dosen, perihal kepulangan Jihan. Karena mendadak tidak enak badan.Sementara itu didalam taksi, Jihan kebingungan karena tidak tahu akan kemana. Lalu dia berhenti disebuah taman tempat dia menghabiskan waktu jika sedang bersedih, kini dia duduk di sebuah kursi tempat biasa dia menghabiskan waktu. Biasanya Septian akan datang untuk menggoda dan menjahilinya. Jihan tersenyum dalam tangisnya saat mengingat kejahilan Septian, dia juga mengenang kenangan manisnya bersama Septian.Kenapa kamu berubah lagi, Sep
Septian pun baru saja membuka matanya karena sempat tertidur, dia mencari keberadaan Jihan. Namun dia tak menemukannya."Kak Tian, kenapa malah enak-enakan tidur! Kakak tahu kak Jihan belum pulang dan ini sudah jam 8 malam kak, apa kakak tidak cemas padanya," Ucap Kiara. Yang kini berdiri didepan pintu kamar Septian dan Jihan dengan wajah kesalnya.Diem anak kecil, kamu ini berisik sekali sana pergi! Aku mau mandi," Ucap Septian.''Issh..., kamu ini Kak benar-benar bikin kesal, terserahlah awas ya kalau terjadi sesuatu pada kak Jihan. Kakak yang bertanggung jawab!" Ketus Kiara. Lalu pergi meninggalkan kamar Septian. Kini Septian pun pergi ke kamar mandi dengan perasaan gelisahnya.Jam pun kini sudah menujukan pukul 10 malam tapi belum ada tanda-tanda Jihan pulang. Septian pun kembali menelepon ibu mertuanya. Namun, jawabannya tetap sama. Dan jujur itu membuat Septian semakin gelisah. rasanya ingin se
Dokter pun kini sudah selesai menangani Jihan, dia keluar dari ruang UGD, melihat dokter yang menangani Jihan keluar. Septian yang tengah terduduk dengan penuh kecemasan pun langsung menghampiri sang dokter."Bagai mana keadaan istri saya Dok? Apa dia baik-baik saja?" Tanya Septian yang masih terlihat khawatir."Dia baik-baik saja, hanya demam karena terlalu kedinginan. Usahakan mulai sekarang jangan sampai dia kedinginan dan kelelahan, karena tidak baik untuk kesehatan janinnya." Lalu sang dokter pun tersenyum ke arah Septian."Apa! Janin, maksud Dokter, istri saya sedang hamil Dok? Ja-jadi aku akan menjadi Ayah?" Tanya Septian, yang kini terlihat sangat bahagia. Dokter pun mengangguk dan tersenyum melihat tingkah Septian yang terlihat sangat bahagia."Iya dan usia kandungannya baru Tiga minggu. Jadi akan sangat rentan untuk keguguran, karena kandungannya masih sangat muda. Jadi usahakan jangan buat dia t
Septian pun membuka matanya, karena kini malam sudah beranjak pagi. Namun, saat Septian meraba tempat tidur disebelahnya. Dia tidak menemukan menemukan Jihan disampingnya. Septian pun langsung terbangun, dia terlihat begitu khawatir saat tidak menemukan istrinya disampingnya."Sayang kamu dimana?" Teriak Septian sambil duduk di ranjang. Dan matanya terus melihat sekeliling ruangan kamar itu, dia terlihat begitu khawatir, namun saat dia akan beranjak dari tempat tidurnya. Septian urung melakukannya, dia malah tersenyum saat melihat istrinya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan mini dress selutut berwarna hitam, dan berdiri didepan meja rias. Dia pun tersenyum sambil menatap sang istri yang memang terlihat sangat cantik."Kamu sangat cantik sayang," Bisik Septian yang kini sudah berada di belakang Jihan dan memeluknya dari belakang, lalu dia mengecup Leher jenjang milik Jihan dan berlama-lama disitu, sehingga meninggalkan bekas kemeraha
Beberapa hari kemudian.Kini Jihan dan Septian pun sudah sampai di kampus mereka. Septian pun meminta izin kepada dosen-dosen yang ada disitu untuk mengumpulkan Mahasiswa dan mahasiswi dari kelas kedokteran dan bisnis untuk di kumpulan di Aula kampus, setelah mendapat izin Septian pun mengajak Jihan menuju ke Aula kampus mereka."Sep, apa kamu yakin ingin memberi tahukan tentang status kita pada semuanya?" Tanya Jihan. Yang kini terlihat gugup."Aku sangat yakin, sayang. Dari pertama kita menikah aku sudah yakin ingin memberi tahu semua teman-teman kita dikampus tapi kamu yanh melarang. Tapi kali ini, kamu tidak bisa melarangku lagi. Aku tidak ingin kamu dikucilkan, saat nanti mereka tahu kamu hamil. Jadi kalau mereka sudah tahu, aku bisa tenang, karna tidak akan ada yang berani membully kamu, dan juga mengejek kamu karena sedang hamil, karena ada aku, suamimu, ayah dari anak yang sedang kamu kandung," Uca
Kini Jihan dan Septian pun sudah pulang ke rumahnya, tak disangka Sabrina, Angga dan Oma Nadia sudah berkumpul dirumah keluarga Wijaya, setelah tahu Septian dan Jihan datang mereka pun langsung menyambut kedatangan Putra putri mereka dengan suka cita."Akhirnya calon orang tua muda kita sudah pulang," Ucap Aleta. Sambil menghampiri Jihan. Lalu menggandeng tangan Jihan, dan mengajaknya duduk ditengah-tengah diantara Aleta dan Sabrina."Hey calon Ayah muda kita, kemarilah. Kau memang hebat putraku baru menikah 2 bulan tapi sudah menghasilkan anggota Wijaya junior dalam Rahim ibu muda kita," Ucap Reno. Membuat Angga terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. Reno."Apaan sih, Yah. Gak usah berlebihan gitu ngomongnya. Lebay," Ucap Septian yang kini sudah menahan malu dan wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus sedang Jihan hanya bisa menunduk dan tersipu malu. Karena Angga dan Reno yang sudah menggodanya."Ja
bulan pun berlalu Dengan cepat, kini waktunya wisuda pun tiba, akhirnya Jihan menjadi seorang dokter, begitu juga dengan Maura, meski harus melewati satu proses lagi, agar Jihan dan Maura benar-benar menjadi seorang dokter. Sedangkan Septian dan Alex. Mereka pun kini menjadi seorang pembisnis meski dengan cara melanjutkan perusahaan milik keluarga masing-masing. Dan usia kandungan Jihan pun sudah memasuki bulan ke 7, perut jihan pun sudah membuncit dan untuk sementara Jihan hanya bisa berdiam diri dirumah dan menunda keinginan nya untuk menamatkan pendidikan terakhirnya untuk jadi dokter.Sementara Septian, kini dia mulai bergabung dengan perusahaan milik ayahnya."Tian...!" Teriak Jihan. memanggil suaminya dengan teriakan dasyatnya sehingga Reno, Aleta dan Kiara pun mendengarnya, sedangkan Septian hampir tersedak makanan yang baru saja akan Septian kunyah."Dengar tuh mam, pasti Jihan baru bangun tidur deh. Terus li
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men