Dokter pun kini sudah selesai menangani Jihan, dia keluar dari ruang UGD, melihat dokter yang menangani Jihan keluar. Septian yang tengah terduduk dengan penuh kecemasan pun langsung menghampiri sang dokter.
"Bagai mana keadaan istri saya Dok? Apa dia baik-baik saja?" Tanya Septian yang masih terlihat khawatir.
"Dia baik-baik saja, hanya demam karena terlalu kedinginan. Usahakan mulai sekarang jangan sampai dia kedinginan dan kelelahan, karena tidak baik untuk kesehatan janinnya." Lalu sang dokter pun tersenyum ke arah Septian.
"Apa! Janin, maksud Dokter, istri saya sedang hamil Dok? Ja-jadi aku akan menjadi Ayah?" Tanya Septian, yang kini terlihat sangat bahagia. Dokter pun mengangguk dan tersenyum melihat tingkah Septian yang terlihat sangat bahagia.
"Iya dan usia kandungannya baru Tiga minggu. Jadi akan sangat rentan untuk keguguran, karena kandungannya masih sangat muda. Jadi usahakan jangan buat dia t
Septian pun membuka matanya, karena kini malam sudah beranjak pagi. Namun, saat Septian meraba tempat tidur disebelahnya. Dia tidak menemukan menemukan Jihan disampingnya. Septian pun langsung terbangun, dia terlihat begitu khawatir saat tidak menemukan istrinya disampingnya."Sayang kamu dimana?" Teriak Septian sambil duduk di ranjang. Dan matanya terus melihat sekeliling ruangan kamar itu, dia terlihat begitu khawatir, namun saat dia akan beranjak dari tempat tidurnya. Septian urung melakukannya, dia malah tersenyum saat melihat istrinya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan mini dress selutut berwarna hitam, dan berdiri didepan meja rias. Dia pun tersenyum sambil menatap sang istri yang memang terlihat sangat cantik."Kamu sangat cantik sayang," Bisik Septian yang kini sudah berada di belakang Jihan dan memeluknya dari belakang, lalu dia mengecup Leher jenjang milik Jihan dan berlama-lama disitu, sehingga meninggalkan bekas kemeraha
Beberapa hari kemudian.Kini Jihan dan Septian pun sudah sampai di kampus mereka. Septian pun meminta izin kepada dosen-dosen yang ada disitu untuk mengumpulkan Mahasiswa dan mahasiswi dari kelas kedokteran dan bisnis untuk di kumpulan di Aula kampus, setelah mendapat izin Septian pun mengajak Jihan menuju ke Aula kampus mereka."Sep, apa kamu yakin ingin memberi tahukan tentang status kita pada semuanya?" Tanya Jihan. Yang kini terlihat gugup."Aku sangat yakin, sayang. Dari pertama kita menikah aku sudah yakin ingin memberi tahu semua teman-teman kita dikampus tapi kamu yanh melarang. Tapi kali ini, kamu tidak bisa melarangku lagi. Aku tidak ingin kamu dikucilkan, saat nanti mereka tahu kamu hamil. Jadi kalau mereka sudah tahu, aku bisa tenang, karna tidak akan ada yang berani membully kamu, dan juga mengejek kamu karena sedang hamil, karena ada aku, suamimu, ayah dari anak yang sedang kamu kandung," Uca
Kini Jihan dan Septian pun sudah pulang ke rumahnya, tak disangka Sabrina, Angga dan Oma Nadia sudah berkumpul dirumah keluarga Wijaya, setelah tahu Septian dan Jihan datang mereka pun langsung menyambut kedatangan Putra putri mereka dengan suka cita."Akhirnya calon orang tua muda kita sudah pulang," Ucap Aleta. Sambil menghampiri Jihan. Lalu menggandeng tangan Jihan, dan mengajaknya duduk ditengah-tengah diantara Aleta dan Sabrina."Hey calon Ayah muda kita, kemarilah. Kau memang hebat putraku baru menikah 2 bulan tapi sudah menghasilkan anggota Wijaya junior dalam Rahim ibu muda kita," Ucap Reno. Membuat Angga terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. Reno."Apaan sih, Yah. Gak usah berlebihan gitu ngomongnya. Lebay," Ucap Septian yang kini sudah menahan malu dan wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus sedang Jihan hanya bisa menunduk dan tersipu malu. Karena Angga dan Reno yang sudah menggodanya."Ja
bulan pun berlalu Dengan cepat, kini waktunya wisuda pun tiba, akhirnya Jihan menjadi seorang dokter, begitu juga dengan Maura, meski harus melewati satu proses lagi, agar Jihan dan Maura benar-benar menjadi seorang dokter. Sedangkan Septian dan Alex. Mereka pun kini menjadi seorang pembisnis meski dengan cara melanjutkan perusahaan milik keluarga masing-masing. Dan usia kandungan Jihan pun sudah memasuki bulan ke 7, perut jihan pun sudah membuncit dan untuk sementara Jihan hanya bisa berdiam diri dirumah dan menunda keinginan nya untuk menamatkan pendidikan terakhirnya untuk jadi dokter.Sementara Septian, kini dia mulai bergabung dengan perusahaan milik ayahnya."Tian...!" Teriak Jihan. memanggil suaminya dengan teriakan dasyatnya sehingga Reno, Aleta dan Kiara pun mendengarnya, sedangkan Septian hampir tersedak makanan yang baru saja akan Septian kunyah."Dengar tuh mam, pasti Jihan baru bangun tidur deh. Terus li
Hari-hari kini dilewati Jihan dan Septian dengan penuh kebahagiaan. Meski Septian harus bersabar karena sikap manja Jihan, yang kadang berlebihan, membuat Septian kewalahan dibuatnya, namun itu menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Namis, dia jadi merasakan betapa sulitnya jadi seorang ayah, dan mungkin Jihan lebih dari itu, karena dia yang semakin sulit untuk bergerak karna perutnya sudah semakin membesar karena usia kandungan Jihan sudah menginjak 6 bulan, setelah selesai makan Septian dan Jihan pun kini sedang bersantai dikamar mereka."Sep, lihatlah sekarang perutku semakin besar, dan aku tidak bisa memakai baju seksi lagi, dan kamu. apakah kamu akan mencari wanita lain diluar sana nanti?" Ucap Jihan. Dengan mata yang berkaca-kaca, sambil memperhatikan bentuk tubuhnya dicermin, membuat Septian terkekeh dengan tingkah istrinya yang tengah merajuk."Astaga, sayang. Kumat lagi ya bapernya " Ucap batin Septian sambil menggele
Jihan dan Septian kini sedang duduk berhadapan dengan Dokter Naina, untuk memeriksa kandungan Jihan.Setelah Dokter Naina memeriksa kandungan Jihan, dia pun menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Jihan agar kandungannya selalu sehat dan mendapatkan posisi yang terbaik untuk bayinya, setelah selesai Dokter Naina pun meminta Jihan untuk berbaring di Brankar yang ada diruangan itu. Dokter Naina adalah Dokter kandungan pribadi Jihan yang dipilihkan oleh ibu mertuanya. Aleta. Karena kebetulan dia adalah teman baik sang ibu mertua."Baiklah Han, kamu berbaringlah dibrankar itu! hari ini aku akan memeriksa jenis kelamin calon bayi kalian. Baik kita mulai USG ya.""Baik, Dokter." Jihan pun kini sudah berbaring dibrankar didampingi oleh Septian yang menggenggam erat tangan Jihan."Baiklah, apa kalian sudah siap untuk mengetahui jenis kelamin bayi kalian? Ayo kita lihat bersama-sama," Ucap Dokter Naina. Mendengar
Septian baru saja keluar dari kamar mandi. Dia kini melihat Jihan sedang bersandar di kepala ranjang sambil mengelus-elus perutnya yang semakin buncit. Septian pun tersenyum saat melihat apa yang Jihan lakukan.Jihan yang melihat suaminya menatapnya dengan terus tersenyum pun menjadi bingung. Apakah suaminya salah makan hari ini?"Sep, aku perhatikan kamu senyum-senyum terus dari tadu? Kenapa, hm?" Tanya Jihan. Sambil menatap Septian yang kini kembali memggosok rambutnya yang masih basah."Tidak ada sayang. Aku cuma bahagia dan aku tidak menyangka, Sebentar lagi aku akan sah menyandang gelar baru yaitu menjadi seorang ayah. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, iya akan bertemu dengan putri kita. Dan setelah dia lahir, maka aku dan kamu benar-benar akan jadi orang tua seperti ayah dan bunda. Kamu tahu ini seperti mimpi bagiku, mimpi yang sangat indah," Ucap Septian. sambil kembali tersenyum pada Istrinya. Mendengar apa
"Gi-Gilang." Jihan sangat terkejut sekaligus terlihat bahagia, karena dia bisa bertemu kembali dengan teman baiknya selain Maura dan Alex. Tapi tidak dengn Septian, kini dia terlihat kesal karena kedatangan tamu yang mungkin saja bisa disebut saingannya, meski dia kini sudah memiliki Jihan seutuhnya tapi entah kenapa Septian sangat tidak suka. Saat melihat Gilang hadir kembali dalam kehidupan Jihan."Jadi kalian sudah saling kenal?" Tanya Oma Nadia. Yang kini menghampiri Gilang dan tersenyum pada cucu angkatnya itu."Iya Nek, kebetulan kami pernah satu kampus, dan jujur aku pernah menyukai cucu nenek." Gilang pun tersenyum kearah Jihan. Membuat ibu hamil itu tersipu malu, sedang sang suami tersenyum sinis kearah Gilang sambil memeluk pinggang Jihan dengan sebelah tangannya dan terlihat sangat posesif. Namun, Gilang tidak menanggapinya dia malah kembali fokus pada sang nenek."Oh ya Nek. Maaf ya ayah dan ibuku tidak bisa da
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men