Hari ini adalah Jumat, akan ada ujian penting hari ini dan terpaksa aku masuk kuliah—kemarin aku benar-benar tidur seharian. Sebenarnya aku tak terlalu fit hari ini, tapi apa boleh buat karena quiz hari ini adalah quiz terakhir sebelum ujian semester.
Aku nekat berangkat. Aku mengambil celana bahan longgar dengan blouse berwarna hitam, kupakai kembali jaket super tebalku yang memiliki hoodie, setidaknya tubuh dan leherku terasa hangat. Aku berjalan kaki ke kampus, aku tahu jalur cepat dan hanya akan memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki, melewati kampung bergang sempit.
"Hem! Kau ke mana kemarin? Kenapa ponselmu tak diangkat!" omel seorang perempuan yang menyambutku di gerbang kampus. Ia memakai setelah serba pink, entah itu brand dari fashion house mana.
"Sakit," jawabku irit. "Ponselku hilang, waktu aku ke downtown untuk membeli peralatan lukis, aku dicopet."
"Jangan bilang kau marah denganku! Yang berulah kan David, jangan aku yang jadi sasaran. Kalau ponselmu hilang, kenapa tak langsung beli?" protesnya lagi.
Aku berjalan masuk menuju fakultasku membiarkan Lindsay berjalan di belakangku sambil menggerutu. "Aku sakit, Linds, malas berdebat!" ucapku malas. "Oh ya, aku tidak membeli ponsel karena aku orang miskin, remember?" jawabku santai.
"Lalu aku nanti harus hadir appointment mencicipi kue dengan siapa kalau kau sakit?" protesnya lagi.
Ah ya, aku baru ingat, Lindsay pernah bilang dia ada pertemuan untuk mencicipi kue, sebuah acara penting dan menarik, khususnya untukku, tapi dengan keadaanku seperti ini sepertinya aku akan berucap, 'Pass'.
"Masih ada Lili, Rowena, dan Gracia, mereka sahabatmu juga kan? Lagi pula mereka sudah komplain karena mereka merasa 'kurang dilibatkan' dalam acara besarmu," jawabku menoleh ke belakang.
"Huft... gara-gara David! Aku akan menghajarnya nanti!" geram Lindsay kesal.
"Pastikan kau meng-castrate kemaluannya... demi kepuasanku!" jawabku tersenyum sinis.
***
Kuliah hari ini berhasil kulewati, quiz itu juga lumayan bisa kujawab. Kuliahku tinggal esok lalu libur minggu tenang dan ujian semester. Ah, setelah itu aku akan pulang kampung ke rumah orang tuaku. Menghirup udara Texas yang kering dan panas. Aku tertawa sangat sarkas. Karena kenyataannya aku terlalu miskin untuk pulang ke Texas.
Dosen metodologi penelitianku tadi bersikap sedikit kurang ajar denganku. Di dalam kelas yang ia awasi, ia sengaja berdiri di belakangku sepanjang waktu. Dan aku baru sadar kalau aku memakai sebuah kaus berbelahan dada sedikit rendah. Dasar pervert! Selama aku mengerjakan ujian, ia cuci mata melihat belahan dadaku.
"Rose, kau sudah nggak ada ujian lagi, kan?" tanya Lindsay. Saat ini kami sedang berada di kantintadi pagi ia memintaku menemuinya di sini saat jam istirahat.
"Masih ada satu Matkul. Kenapa memang?" tanyaku seraya menyeruput sebuah lemon juice dingin yang dibelikan oleh Lindsay.
"Okay, kalau gitu aku tunggu kau pulang," ucap Lindsay menatapku mantap.
"Why?" tanyaku curgia.
"Cake tasting!"
Aku mengembuskan napas kesal. "Kan sudah kubilang beberapa waktu yang lalu, kau bisa ajak yang lain, Linds!" ucapku. Bukan aku tak mau mengantarkannya mempersiapkan hari besarnya, tapi cake tasting… pasti akan ada David di sana karena pria busuk itu yang akan membayar semuanya.
"Aku maunya sama kamu, Rose. Mereka kurang asyik diajak diskusi urusan ini!" ucap Lindsay memberi alasan.
"Wait... wait..." aku berhenti dari aktivitasku menyeruput minuman nikmat dengan kesan kecut dan segar di depanku. "Kau memaksa aku ikut karena urusan kue, begitu? Menurutmu aku yang paling pas menemanimu, gitu?" tanyaku dengan nada sakit hati. Kenapa sahabatku juga memperlakukanku seperti ini? Aku menangis dalam hati.
"No... hell, no! Kenapa kau berpikiran seperti itu sih? Ini gara-gara David! Aku nggak maksud gitu, Rose... jujur deh!" rengeknya.
"The answer is still no! Aku ada pertunjukan lukisan jalanan, dan aku mau memajang lukisanku... mungkin saja laku, lumayan untuk makan minggu ini," jawabku ketus.
Lindsay sepertinya kehabisan kata-kata. Ia tahu betul, walaupun ia ingin memberikanku uang untuk menunjang hidupku yang sulit ini, aku takkan mau menerimanya.
"Berapa lukisan yang akan kau jual?" tanyanya lagi.
"Satu. Aku tak sanggup membeli kanvas dan semua catnya karena harganya terlalu mahal. Jadi aku cuma membuat satu lukisan saja dan semoga saja laku mahal," jawabku sambil berdoa. Lukisan itu adalah harapan hidupku minggu depan, karena menurut e-mail yang kuterima, beasiswaku baru cair dua minggu lagi, sedangkan uang yang ada di tasku tinggal lima puluh dolar.
"Setelah acara itu, kau free?"
Aku mengangguk kecil.
"Kalau begitu... aku menunggumu sampai lukisanmu terjual, lalu kita pergi ke cake tasting, ya? Please, please. Aku ikut berdoa agar lukisanmu laku paling mahal," rengek Lindsay memegang kedua tanganku di atas meja.
"Hmm, lihat besok saja," jawabku asal. Lalu sekarang aku berharap lukisanku terjual paling terakhir, agar aku tak harus pergi dengan Lindsay. Aku mempertanyakan kepada Tuhan, kenapa orang sebaik Lindsay memiliki kakak bermulut ular seperti David Robinson, manusia tanpa lemak yang hobi menjual tubuh bercelana dalamnya?
Apa aku sudah bilang? Kalau David dikontrak menjadi brand ambassador sebuah celana dalam branded dunia? Jadi akan sangat sering melihat tubuhnya yang hanya bercelana dalam hitam berlenggak-lenggok di layar televisi, sungguh menjijikkan.
Benar ucapan Lindsay, ia menunggu sampai paling akhir, dan akhirnya kami berjalan bersamaan menuju aula depan kampus. Aku sudah menitipkan karya masterpiece-ku pada panitia pameran lukisan.Acara akan dimulai dua menit lagi, dan semua panitia sudah berbaris rapi mengenakan alamamater berwarna biru tua. Aku berdiri di samping lukisanku, bersiap kalau ada orang yang bertanya tentang lukisanku ini. Aku melukis sebuah wajah pria berhidung ala Eropa, berambut ikal hitam, berseragam tentara di zaman dahulu kala, aku melukis versi realistik dari Napoleon Bonaparte. Aku pelukis realis, aku suka menggambar sejak aku kecil dan selagi remaja aku menyukai manga, dan inilah aku... seorang mahasiswi jurusan lukis yang sedang menjual lukisannya untuk bertahan hidup.Ada beberapa orang yang berhenti di lukisanku, dua dari mereka bertanya siapa gerangan yang aku lukis dan jenis cat yang aku pakai. Aku menjawab bahwa pria tegak di lukisanku adalah panglima pe
Lindsay akhirnya memilih kue vanilla sebagai base, lalu sekarang giliran memilih pastry yang akan dihidangkan untuk tamu. Beberapa karyawan menata meja di depan kami dan meletakkan beberapa piring berisi pastry beraneka jenis."Rose, aku butuh bantuanmu. Ayo pilihkan dua puluh yang terbaik!" pinta Lindsay kepadaku dengan wajah merengek."Dua puluh? Jadi kau mau aku mencicipi semuanya?!" balasku tak percaya."Hehe, lalu bagaimana lagi?" tanyanya ulang sambil meringis."Langsung pilih saja! Aku sudah tak sanggup makan lagi!" omelku. Memang aku tak suka kue-kuean, jadi di bagian ini aku menyerah kalah."Oh ya? Kau bisa tak sanggup makan? Menarik!" bisik David di sampingku. Aku tak menengok ataupun membalas ucapannya, wajahku menatap lurus pada sebuah croissant cokelat di depanku."Kupikir-pikir.... Kau memang terlihat kurusan, kau diet ya?" lanjut David lagi. Ak
Aku tersadar dengan bau antiseptik yang menyengat, tubuhku terasa habis dipukuli.Aku menoleh di sebelah kanan, ada David yang sedang bersandar di kursi tunggu rumah sakit dengan lengan kemejanya digulung sampai siku. Jadi aku di rumah sakit? Memang ada apa?"Kau sudah sadar?" ucap suara bariton yang paling kubenci. Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat. "Kau pingsan dan aku membawamu ke sini. Kau memiliki peradangan di lambung... setidaknya kau harus dirawat dulu baru bisa pulang.""Senin depan aku ada ujian di kampus!" ucapku horor, ini adalah pekan Minggu tenang ujian akhir semester. Berikutnya Adalah pekan ujian akhir semester."Be good. Jadi kau bisa ikut ujian hari Senin nanti. apa yang dikatakan dokter dan hentikan diet bodohmu itu! Kau hanya membuat tubuhmu menderita!" omelnya. Aku sedang sakit seperti ini, ia masih sempat-sempatnya memarahiku."Aku tidak die
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang wanita berusia setengah abad membawakan nampan dengan senyuman lebarnya ke dalam kamar yang kugunakan. "Selamat pagi... aku yang ditugaskan Tuan Robinson untuk memasak untukmu... aku Alice." Ia meletakkan mangkuk berisi bubur di nakas, juga obat yang harus kuminum. Aku tersenyum lebar. "Terima kasih, Alice." "Kau punya kekasih yang hebat dan baik," ucapnya lalu berjalan keluar. Wait... what? Kekasih yang baik? Maksudnya siapa? Dave?? Demi Dewa Ubur-ubur... jangan sampai itu terjadi! Aku tak rela hidupku ditindas oleh pria seperti dirinya! "Rose, kau bagaimana? Better?" Lindsay datang ke kamarku dengan pakaian trendy serba army. Ini hari libur kuliah dan ia sangat bergaya. Ini sudah memasuki pekan tenang menjelang ujian akhir. "Yes and no. Masih perih untuk menelan," jawabku tersenyum kecil. "Kau m
Aku jauh lebih sehat sekarang, dan hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semesterku. Selama ini aku tinggal di apartemen Lindsay dan dirawat oleh Alice. Ia memberiku makanan setiap dua jam sekali dan obat-obatan. Aku jauh lebih kuat dan ringan sekarang. Aku selesai mengerjakan semua ujianku hari ini sementara Lindsay sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, ia berjanji menungguku di parkiran. Here I am menunggu plus mencari Lindsay dan mobilnya. Aku mencoba menelepon ponselnya, namun tak diangkat. Sampai ada mobil putih berhenti di depanku. "Naik!" ucap suara pria saat jendela setengah terbuka. Aku menunduk sedikit untuk melihat siapa gerangan pria dengan suara menyebalkan itu. Dan bodohnya aku yang harus memastikan dengan mata dari indra pendengaranku... deep down aku sudah tahu kalau itu Dave. Ah, kenapa ia sudah pulang? Aku baru selesai menjawab semua e-mail penawaran iklannya dua hari yang lalu dan sejauh in
Dave menyewa satu lantai penuh hotel Ritz Carlton di Las Vegas, aula hotel ini yang akan menjadi venue acara pertunangan Lindsay dan Rick.Aku sudah membeli gaun yang pantas untuk acara esok malam. Aku sekamar dengan Lili dan di kamar sampingku adalah Rowena dan Gracia. Dave berada di kamar paling bagus dan Lindsay di sampingnya. Kami akan menginap tiga hari di hotel ini karena acara pertunangan Lindsay akan berlangsung besok malam."Aku sudah keluar uang sangat banyak untuk acaramu, so you better treat me better, Sis!" omel Dave, yang dijawab sebuah senyuman paling merekah dari Lindsay. Menurut Lindsay, Dave baru saja membayar kontan semua tagihan acaranya termasuk liburan Lindsay dan Rick pasca acara. Aku selalu membatin kenapa Rick tidak ada andil dalam acara ini? Bahkan berdasarkan keterangan Lindsay, Dave yang membayar bahkan sampai hal yang paling sepele... valet mobil."Rose... kau kelihatan lebih kurus." Lili yang sedang bersandar
"Dave! Dave, hentikan!" teriakku, aku menggandoli tangan Dave. Tangannya yang kuat menghajar Rick sampai ia berdarah-darah, tubuh Rick bergetar hebat dan ia seperti kehabisan napas. Dave masih menggila membabi-buta memukul wajah, dada, dan kepalanya. Ia tak menggubris omonganku dan masih memukuli Rick dengan nafsu."Dave, dia bisa mati!" Aku menahan tangannya lagi, dan berteriak sekencang-kencangnya. Lindsay sepertinya sangat syok dan memeluk Lili erat. Ia kalut antara takut dan sedih melihat sosok Rick yang benar-benar babak belur."Rose, Rick sudah mau mati!" teriak Lili yang membuat aku juga ikut panik. Dave tak ada tanda akan berhenti menghajar Rick."Ia tak mendengarkanku!" keluhku frustrasi."Alihkan perhatiannya!" perintah Lili kepadaku. Aku berpikir... apa yang harus kulakukan untuk mengalihkan perhatiannya? Tubuhnya terlalu tinggi untuk kuraih, aku juga kalah kuat kalau harus menarik tubuhnya."Apa?!" teriakku kesal dan putus asa."
Aku menangkis tangannya yang mau menyentuh pundakku. Enak sekali dia?! Sudah menghinaku habis-habisan, menciumku lalu memaksaku untuk jadi kekasihnya. Dikira aku bonekanya apa?!"No... Hell... Way!" Ucapku pedas. Bukannya merasa tersinggung ia malah senyum lebih hebat."Kalian keluar, aku harus berbicara dengan pacar baruku ini..." Perintah Dave kepada Lindsay dan Lili, yang herannya mereka taati tanpa perlawanan. Keduanya keluar dari kamar membuatku dan Dave berduaan saja di kamar ini."Kau terlalu menyebalkan untuk jadi kekasihku." Ucapku memulai diskusi yang semoga saja terberujung pertengkaran hebat."Aku? Menyebalkan? Ada jutaan perempuan di sana yang mengantri untuk ada di posisimu sekarang.""Mereka pasti gila. Sudahlah Dave, aku berhenti jadi asistenmu, dan karena pertunangan Lindsay dibatalkan... Aku juga akan pindah dari apartemenmu... Aku mau hidup mandiri, lagi pula aku sudah bisa lulus, aku hanya menunggu semua surat-surat dan dokumen
Lindsay mendapatkan happy endingnya. Sehari setelah resepsi pernikahanku di Brazil, ia melangsungjan resepsi pernikahannya di hari berikutnya..di tempat yang sama…sama meriahnya dengan dirinya berbalut gaun indah dan mempesona. Lindsay menjalani pernikahannya dengan indah..ia dan Lucas berlibur ke beberapa pulau eksotis seperti Maldies, Bali dan Jeju…untuk bulan madu mereka. Mereka baru berhenti berpergian untuk bulan madu, saat Lindsay postif hamil dua bulan kemudian. Bukankah itu sangat enak? Lindsay maksudku, ia bisa mendapatkan bulan madunya selama dua bulan, traveling ke tempat indah..sebelum cooling down di Vegas karena hamil. Sementara aku, sejak pernikahanku… aku tak boleh berpergian kemanapun menggunakan persawat… karena kehamilanku, tentu saja. Perutku sudah sangat besar…bahkan aku tak bisa tidur dengan terlentang lagi… aku hamil anak kembar lagi! Dave dengan sperma yang seperti Sparta! Bagaiamana mungkin ia menggunakan kondom dan masih bisa membuatku hamil
Hal yang paling menyebalkan di dunia adalah menunggu. Aku berada di aula depan kastil kami di Brazil… menghadiri pernikahan super megah dari Dave dan Rose. Ya mereka akhirnya akan menikah, setelah diketahui Rose sedang mengandung anak Dave, mungkin hari ini adalah usia kandungannya yang ke delapan minggu. Seharusnya ini adalah upacara pernikahanku… namun semua itu akhirnya ditunda karena Dave lebih memiliki alasan urgensi. Sementara aku dan Lucas masih berjarak tempat..ia masih di Guatemala.Lucas kemarin malam berjanji akan datang, ia berusaha akan datang…menyelesaikan semua urusannya di sana…dan terbang di penerbangan pertama. Aku sampai sekarang belum bertemu dengannya, padahal acara sebentar lagi akan dimulai. Agh… kenapa ayah menjadi sangat menyebalkan..aku menyesal karena ak ikut dengan Lucas ke Guatemala, bahkan kami belum melaksanakan malam pertama kami. Damn it! Aku sudah protes kepada ayah, dan ia hanya menjawab bahwa Lucas belum m
Aku tak menerimanya, mataku memandang lurus ke arah matanya yang memohon."Aku tak suka susu." Jawabku ketus. "I just wanna sleep...in peace! Tak bisakah aku tidur?""Kau boleh tidur setelah meminum ini, kau muntah dan kehilangan tenaga...please Rose!""Kalau ini semua akibatmu, kenapa aku yang harus merasa susah.""Aku menderita saat tahu kau hamil dan kehilangan anak kita setelahnya, aku sering bermimpi dua anak lelaki lucu yang memiliki wajahmu dan warna rambutku... Rose..Mereka anak kita yang meninggal... Aku selalu menangis saat bangun tidur saat bermimpi mereka..jika saja semua baik-baik...mereka mungkin sudah lahir dan sangat menggemaskan..." Ia seperti orang yang meratap. Aku bisa melihat kesedihan dalam wajahnya.Kalau ia sudah seperti ini, aku tak bisa lagi mengelak. Akhirnya aku meminum habis susu itu, dan ia tersenyum lebar. Setelah meletakkan gelas susu itu..ia menunduk dan mencium perutku yang masih datar."Sehat terus... anak-
Aku menghabiskan waktu dua hari lagi di pantai yang sama dimana Dave dan aku kembali bersama. Ya.. aku sudah yakin dengan keputusan itu. Sejak saat itu juga, Dave memindahkan semua barang-barangnya ke kamar yang sama denganku."Persetan dengan penunggu kamar pojok! Aku tak mau lagi tinggal di kamar itu. Aku rela membeli berdus-dus kondom kalau perlu." Ucapnya suatu malam, saat aku memaksanya kembali ke kamar. Tentu saja ia mengatakannya dengan tenang dan penuh senyum. Yang ada di kepalanya adalah urusan ranjang. Thats it!"The condom part... Is actually not included!" Jawabku malas. Aku sedang berbalas pesan dengan Lindsay."It is! Tentu saja...! Apa mulai sekarang aku bisa melakukannya tanpa kondom?!"Pft... Ia terus mengulanginya. Ia sengaja membicarakan hal semacam itu agar ia mendapatkan jalur mulus melancarkan aksinya. Biasanya aku selalu terperdaya.Aku diam, malas membalas. Bahkan rambutku belum kering dari kejadian di kamar mandi baru
Ia melepaskan ciumannya, memangku dengan serius. "Be mine... Aku tak mau menunggu...now! Be mine! Linds... Please! Marry me!""Bukankah kau memang sudah jadi suamiku?" Jawabku masih terengah."Kau masih marah? Aku melakukannya hanya karena aku menginginkanmu...so bad Linds... Aku tak bisa melihat kau dengan pria lain." Ucapnya lagi."Hmm...""Kau boleh menghukumku.. apapun itu, tapi... Nikahi aku dulu...""Apa aku bisa menolak?" Tanyaku."No.. aku akan membawamu langsung ke altar.. saat ini..detik ini!" Ucapnya. Ia meletakkanku ke kursiku semula.Ia menyetir mobil dengan cepat. Aku hanya diam.. masih setengah shock dengan welcome kiss dari Lucas. Ia bilang mau menikah sekarang juga? Semoga saja ia hanya bercanda.Sepuluh menit berikutnya kami berada di parkiran sebuah capel. Ia tak bercanda!"Lucas!" Protesku."Please..Linds... I can't... Just can't stand it anymore!" Pintanya dengan sungguh-sungguh.
Aku masih tak percaya dengan apa yang Dave barusan bilang. Jadi dia dan Rose bersama?! Bagaimana bisa?! Apa jangan-jangan Dave menggunakan dukun untuk memantrai Jen? Ini di luar akal sehat?! Bahkan aku adiknya saja tak percaya Dave dan Rose akan bersama. Satu karena Rose dan Dave tidak satu kutub...mereka berlawanan, dua karena ada Louis?! Bagaimana bisa Rose meninggalkan Louis?!Aku ingin bicara langsung dengan Rose.. memastikan. Apa yang dikatakan oleh Dave benar. Tapi setiap kali aku meneleponnya kembali, nomor itu tidak diaktifkan.Nonna masuk ke dalam kamar, dengan segelas tehnya..sebuah teh dengan gelas elegan dari dinasti kuno. Mungkin dari dinasti Ming? Entahlah.. yang jelas itu adalah cangkir berharga lebih dari 15000USD dan selalu dibawa kemana-mana oleh Nonna. Rasa tehnya akan hambar kalau diseduh di gelas biasa. Huh the perks of being rich right?!"Linds..." Sapa Nonna dengan wajah senyum elegannya. Ia duduk di kursi yang menghadap jendela..meminum t
This is the moment of Truth! Aku akan menghubungi Louis. Aku sudah memakan sarapan begitu juga Dave. Ia memesankan English Breakfast terlezat yang ada, entah karena memang masakan itu penuh bumbu atau aku dan ia yang terlalu kelaparan. Aku duduk di atas kasur dengan ponsel di tangan..kami sudah mandi dan berpakaian yang normal. Aku mengenakan summer dress bertema floral..dan Dave mengenakan kaus putih berkerah dan celana jeans panjang.Ponsel itu hanya kupandangi layarnya. Aku sedang menyusun kalimat yang akan kukatakan kepada Louis.Dave sejak tadi hanya diam, ia membalas email dengan laptopnya di sampingku. Sesekali ia melihatku dan berhenti dari pekerjaannya."Wish me luck!" Gumamku lalu aku meneleponnya. Aku sempat berpikir mau mengirim pesan saja.. tapi aku merasa itu terlalu kejam...karena pasti ia akan sakit hati setelahnya, setidaknya aku menelepon...agar ia bisa leluasa bertanya."You can do it baby!" Gumam Dave. Ia berhenti dan memperhatikanku.
“Dave…Please..”“Apa Rose… apa yang kau mau?” Tanya Dave, suaranya serak. Ia juga tersengal.“Kau.. aku mau kau.” Ucapku. Entah keberanian dari mana yang membuatku berkata seperti itu. Yang jelas aku merasakan adanya dorongan dari dalam diriku yang ingin dituntaskan…dan aku mau Dave yang melakukannya.“Say it again Rose… sayangku..” Bisiknya lagi. Ia seperti sengaja hanya menciumi pipi dan hidungku, ia sengaja tak mencium bibirku.“You…I want you.. all of you!” Pintaku, kini aku memegang kepalanya dan menciumnya persis di bibir. Ia seperti api yang diberi gasoline, membara…semakin membara.“Kau yakin…sayang?” Bisiknya lagi.“Just fucking do it!” Bentakku kepadanya. Ia tertara..lalu dengan cepat ia membuka semua pakaiannya. Entah ini kali berapa aku melihatnya tanpa pakaian. Dan aku mengangumi tubuh indahn
Aku masih diam, mataku hanya mengerjap beberapa kali, ia sudah berada sangat dekat denganku.Saat hidungnya menempel dengan hidungku, aku baru sadar…dan bisa merasakan otakku memberi alarm bahaya.“Dave…stop!” Ucapku menahan pundaknya. Kedua tanganku berhasil menahannya mendekat lagi. Hidungnya sekarang berjarak sepuluh centi dari wajahku.“Why? Kenapa aku harus berhenti?”“Kau sudah berjanji…” Jawabku, masih menahan tubuhnya.“Aku tak pernah berjanji…” Tantangnya.“You did.” Ucapku sudah mulai kalut. Ia lebih besar…dan memiliki tenaga lebih besar daripadaku.“I didn’t.” Ia sekarang bisa mendekat lagi, ia memindahkan tanganku yangmenahan pundaknya menjadi berada di belakang lehernya. What…the?! How did he do that? Kenapa aku tak sadar.Ia tersenyum sekarang. Kedua tanganku berada di lehernya dan sekarang bibir