Rombongan Setiaji seketika bergerak menyebar. Mereka mencari pepohonan yang bisa digunakan untuk menjadi tempat persembunyian.
Setiaji dan Ratih mengambil semak yang lebat dan bersembunyi di baliknya sambil mengawasi arah kedatangan rombongan berkuda yang disinyalir Setiaji adalah pasukan kerajaan Kalingga.
Dugaan mantan prajurit itu benar adanya, pasukan berkuda yang jumlahnya belasan orang itu bergerak menuju tempat mereka bersembunyi.
Prajurit berkumis lebat mengangkat tangannya memberi kode kepada prajurit lain untuk berhenti. Dia kemudian melompat turun dari kudanya dan berjongkok memegang dedaunan kering yang berserakan.
Kernyitan di dahinya terlihat menebal sesaat setelah dedaunan kering itu digenggamnya.
"Mereka baru saja di sini!" ucapnya Sedikit keras, kemudian bangkit berdiri.
Pandangan matanya berkeliling mencari jejak yang bisa dijadikannya panduan mencari keberadaan orang-orang yang menyamar
"Apa benar harimau itu Tuan Jaya?" tanya Setiaji, masih tetap.dengan ekspresi tidak percaya di wajahnya.Ratih tersenyum kecil melihat keraguan di wajah lelaki itu, "Kalau Paman tidak percaya, lihat saja nanti, harimau itu tidak akan menyerang kita dan hanya akan menghabisi para prajurit itu."Melihat keyakinan di mata Ratih, Setiaji bisa sedikit bernafas lega. Dia kemudian menenangkan teman-temannya yang masih ketakutan dengan kemunculan harimau besar itu.Setelah itu Setiaji mengajak teman-temannya menyingkir mencari tempat yang sedikit jauh.Di sisi lain, para prajurit masih terpaku menatap harimau yang menyeringai kepada mereka. Jelas terlihat rasa gentar dan ketakutan di wajah mereka.Sebagai pemimpin rombongan prajurit yang melakukan pengejaran, lelaki berkumis tebal juga tidak bisa berbuat banyak untuk mengambil keputusan. Sebab selama ini mereka tidak pernah diajarkan untuk melawan hewan buas, apalagi sosok harimau yang be
Beberapa saat lamanya, mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan yang dituju. Bangunan yang cukup besar dan sebagian sisinya mulai keropos dimakan rayap itu ditumbuhi semak belukar dan tanaman merambat yang begitu lebat.Setiaji menyunggingkan senyumnya melihat bangunan tersebut. "Tempat persembunyian yang sangat istimewa. Tidak akan ada orang yang menyangka jika di dalamnya dihuni orang," ucapnya."Biarkan bagian luar tetap seperti ini, bagian dalamnya saja yang kalian bersihkan." Jaya menimpali."Tuan mau langsung ke kotaraja?" tanya Setiaji.Jaya terkekeh pelan, "Kau ini bagaimana? Kita kan belum bicara tentang rencana yang sudah kubuat." tuturnya.Setiaji turut tertawa mendengarnya. "Kita sembunyikan dulu kuda-kuda itu lalu membersihkan bagian dalam bangunan ini."Empat orang bergegas membawa kuda yang jumlahnya belasan itu menjauh dari bangunan yang hendak mereka jadikan tempat persembunyian. Sedang yan
"Aji ...?" gumam Jaya dalam hati. Matanya semakin menyipit untuk memastikan sosok yang sedang duduk di kursi itu adalah Aji.Merasa belum yakin, Jaya melangkah semakin mendekat."Aji ...," panggilnya pelan ketika berada dalam jarak sekitar 5 meter.Sosok yang memang Aji itu menolehkan kepalanya. Saking fokusnya memikirkan rencana untuk menggulingkan Raja Wanajaya, Aji sampai tidak sadar jika Jaya sudah berada di dekatnya.Aji mengernyit tak percaya jika yang berada di dekatnya adalah Jaya. Padahal rencananya besok pagi dia akan keluar dari istana untuk mencarinya."Jaya ...? Kapan kau datang?""Sebenarnya sudah sejak tadi. Cuma aku menyisir istana ini dulu untuk mencarimu," jawab Jaya pelan.Aji melihat sekeliling. Setelah memastikan tidak ada prajurit yang mengawasinya, Aji mengajak Jaya untuk masuk ke dalam kamarnya."Sebenarnya aku besok mau menemuimu di penginapan, tak tahunya kau l
Ekspresi rasa terkejut Aji sempat tertangkap pandangan mata Putri Larasati. Putri cantik itu menundukkan wajahnya, dia malu atas kelakuan ayahnya."Sebenarnya Gusti Putri bermimpi tentang apa?" tanya Aji penasaran.Putri Larasati memejamkan matanya. Hembusan napasnya begitu berat terdengar keluar dari bibirnya yang ranum.Dia merasa sangat sulit buatnya untuk menjawab pertanyaan Aji. Bagaimanapun juga, dia takut jika Aji adalah sosok yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya.Tapi, kelakuan bejat ayahnya harus ada yang menghentikan, meski ayahnya tadi berjanji jika ritual yang akan dilakukannya nanti adalah yang terakhir. Raja Wanajaya berjanji kepada Putri Larasati tidak akan menggauli gadis lagi untuk ke depannya."Aku kuatir jika kau yang ada dalam mimpiku," ucap Putri Larasati lirih.Aji semakin penasaran dengan mimpi yang dialami Putri Larasati, apalagi putri cantik itu juga menyebutnya.Sete
Kedua pendekar itu pergi keluar dari kamar setelah berembuk untuk beberapa saat. Mereka saat ini harus mencari di mana biasanya Raja Wanajaya melampiaskan nafsu bejatnya. Sebab tidak mungkin kamar pribadinya akan digunakan untuk hal seperti itu.Cukup lama mereka berkeliling di dalam istana, hingga pada satu titik mereka melihat belasan orang prajurit tampak berjaga di sebuah ruangan."Apa mungkin di situ?" bisik Aji pelan.Jaya memandang para prajurit yang berjarak sekitar 25 meter dari tempat mereka berdua berdiri. Suasana di dalam istana yang tidak terlalu terang sedikit banyak membantu mereka agar tidak terlihat oleh para prajurit. "Jika ruangan itu sampai dijaga begitu banyak prajurit, maka besar kemungkinan di dalam ruangan itu ada sesuatu yang penting. Atau bisa jadi Raja Wanajaya yang ada di dalamnya," balas Jaya menduga-duga. "Kita lumpuhkan para prajurit itu dulu, baru kita tahu apa yang ada
Tak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk menemukan kamar yang digunakan Raja Wanajaya untuk melakukan ritual.Tapi langkah mereka terhenti setelah terlihat empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu kamar tersebut. Mereka berempat begitu ketat menjaga kamar itu seolah angin pun akan mereka halau jika hendak masuk melalui celah di bawah pintu.Beruntung malam itu bulan tidak bersinar begitu terang hingga keduanya tidak terlihat oleh para prajurit. Berbicara meski pelan jelas akan terdengar oleh keempat prajurit itu saking heningnya suasana. Hanya kode yang bisa mereka lakukan untuk merencanakan langkah selanjutnya yang harus mereka lakukan.Setelah memantapkan diri, Aji dan jaya bergerak secepat mungkin melumpuhkan keempat prajurit itu. Serangan cepat mengarah titik vital membuat keempat prajurit itu bergelatakan di tanah. Entah pingsan atau mati, keduanya tidak peduli tentang itu.Dalam satu tarikan napas, Jaya menendang
Raja Wanajaya menatap geram lelaki tampan di depannya. Jari telunjuknya menunjuk Aji, gigi-giginya saling menggigit menahan emosinya yang memuncak. "Kau telah mempengaruhi putriku sehingga dia berani melawanku!"Aji tersenyum kecil menanggapinya. "Kalau Paduka mengira aku telah mempengaruhi Gusti Putri, maka Paduka sudah salah besar. Gusti Putri bisa berpikir untuk menentukan apa yang salah dan benar, dan apa yang sudah paduka lakukan selama ini adalah kesalahan yang teramat besar dan tidak terampuni.""Jangan mengguruiku tentang kebenaran, Bangsat! Aku hidup jauh lebih lama dari pada kau, dan kebenaran buatku adalah kekuasaan!"Aji memandang Putri Larasati yang sudah bercucuran air mata, "Tampaknya sulit menyadarkan paduka dengan kata-kata, Gusti Putri. Jadi jalan kekerasan harus hamba ambil."Putri Larasati mengangguk meski itu berat buatnya. Tapi dia sudah siap jika memang ayahnya harus mati di tangan Aji. "Lakukan apa yang harus kau
Aji sedikit dibuat kerepotan meski pada akhirnya sudah bisa membaca serangan ayah dari Putri Larasati tersebut.Raja Wanajaya semakin beringas melakukan serangan. Dia mencabut pedang Serat Alam untuk segera memungkasi pertarungan. Aji sedikit terkesima dengan keluarnya pedang pusaka yang separuh kitab jurus ya kini ada padanya. Energi yang dikeluarkan pedang pusaka tersebut sangat halus, tapi begitu menekan.Suami Ratih itu lalu mencabut pedang Naga Bumi untuk melawan senjata pusaka lawan. Energi yang dikeluarkan pedang miliknya memberi tekanan balik hingga membuat Raja Wanajaya Murka. "Mati kau, Penghianat!" teriak Raja Wanajaya. Dia melompat maju sembari menebaskan pedangnya dengan. Kekuatan yang tidak sedikit. Kecepatan serangannya pun semakin meningkat dan bervariasi.Pedang Naga Bumi meliuk dengan cepat memberi tangkisan demi tangkisan yang membuat tangan lawannya gemetar setiap kali pedang mereka berdua berbenturan."Aku terlalu meremehkan kemampuannya!" Raja Wanajaya mendengu