Josie seketika melepas tanganku dan sedikit mundur. "Hei, kenapa?" ujarku. Aku merasa sikap Josie berubah tiba-tiba. Dia semacam memasang pagar dan mendirikan benteng. "Kak Avin jangan buat aku takut," kata Josie. "Aku ngapain?" ucapku sambil mengerutkan kening. Tapi jujur saja aku ingin tertawa melihat tingkah Josie. "Kita jalan-jalan, bukan bulan madu. Jelas, kan?" tanya Josie dengan posisi berdiri tegak. "Iya, Sayangku ... hee ... hee ..." Aku terkikik mendengar itu. "Ok. Aku masuk kamar, mau istirahat," tandas Josie. "Silakan saja. Tapi rugi banget. Sebentar lagi sunset dan pasti sangat indah," kataku sambil melangkah mendekati pantai. "Kak Avin!" panggil Josie. Aku terus melangkah tidak memperhatikan Josie, pura-pura tidak mendengar. "Kak! Tunggu!" Josie berseru. Aku yakin gadis cantik itu akan menyusulku. Tidak akan dia membiarkan momen indah akan berlalu begitu saja. Dan benar! Josie dudah ada di sampingku lagi."Ga mau ketinggalan. Sunset di Lombok? Harus diabadikan
Josie begitu dekat di depanku. Hembusan nafasnya terasa hangat menyentuh pipiku. Aku ingin sekali merengkuh kekasih kecilku, di momen yang tak boleh dilewatkan. Mata Josie bulat menatapku. Ada tatapan yang aneh muncul di sana. Antara gugup dan takut itu yang aku lihat. "Josie ..." bisikku dengan nafas memburu. "Kak, aku ..." Josie melepas pelukannya. Dia mengernyit dan sedikit mundur. "Josie?" ulangku memanggil. "Aku sakit perut." Josie menoleh dan menggeser posisi menghadap pintu. Dia cepat membuka kunci dan pintu. Tanpa mempedulikan aku yang terbengong di pintu, Josie lari masuk ke dalam kamar. Aku hanya bisa menggaruk kepala. Gairahku yang sudah melambung porak poranda. Aku duduk di kursi di teras kamar. Nafasku masih belum benar-benar teratur. "Apa yang mau kamu lakukan, Vin?" Ada suara di hatiku bicara. Ya, apa yang barusan aku akan lakukan? Mencium Josie? Astaga! "Avin, kamu udah terlalu jauh." Aku bicara pada diri sendiri. "Untung Josie sadar. Aku ga yakin dia sakit pe
Josie terus saja melangkah menjauh. Dia berjalan tidak tahu ke mana, hanya mengikuti langkah kakinya. Arah yang dia pilih pun berlawanan dengan arah cowok bule itu. Aku mengejar Josie. Aku marah dia tidak mendengarkan aku, justru pergi begitu saja. "Josie!" panggilku sambil meraih tangannya, memaksa Josie menghentikan langkah. Josie memang berhenti, tapi dia tidak menoleh. Dia tidak mau melihat padaku. "Aku ga suka kamu begini. Ga hormat sama aku. Ga sopan banget," ujarku. Josie memegang tanganku yang erat memegang sebelah tangannya. Dia melepas peganganku, tapi aku makin erat menggenggamnya. "Aku mau pergi. Aku ga mau Kak Avin kayak gini sama aku." Wajah Josie cemberut dengan mata memerah. Ada aura sedih dan marah dia luapkan."Harusnya aku yang marah, kenapa malah kamu ngambek? Ga bener ini!" tukasku tidak terima dengan sikap Josie. Josie memutar badannya menghadap ke arahku. "Aku melihat kamu bersama cowok lain, tertawa gembira, dan asyik berfoto bersama. Dia siapa? Turis asi
Malang. Kota kelahiran Josie. Tak terpikir Josie menyebutkan dia mau pulang ke sana. "Sebelum aku pergi jauh dan ga tahu kapan balik ke sini, aku mau ke makam papa dan mama." Josie memberikan alasan. "Oke, tentu saja. Kita akan ke Malang. Segera kita atur setelah pulang dari sini." Aku setuju. Pikiranku dengan cepat mengembara. Pergi ke Malang, apa yang akan aku temui di sana? Kuharap tidak akan lama perjalanan ke Malang akan dapat berjalan. Sedangkan perjalanan di Pulau Lombok nan indah menjadi perjalanan yang menyenangkan dan berkesan. Hari aku dipenuhi cemburu, seperti berlalu begitu saja. Josie sangat senang dengan semua tempat yang kami kunjungi. Ratusan foto kami abadikan. Di setiap tempat kami mengambil banyak pose untuk menjadi kenangan perjalanan berdua. Paling menggembirakan hatiku, kala Josie bersikap manja. Aku bisa merasa dia sangat sayang padaku dan ingin terus kulimpahi dengan cinta. "Makasih udah ajak aku ke sini. Ga mungkin lupa semuanya. Seru, seru banget." Josie
Dadaku berdebar kencang. Pesawat yang membawa aku dan Josie terbang menuju Benua Eropa mulai lepas landas. Penerbangan akan cukup panjang. Tetapi aku sangat bersemangat. Kehidupan seperti apa yang aku dan Josie akan alami di negeri yang disebut sebagai Negara Paling Bahagia di dunia itu. "Aku berat melepas kalian. Tapi aku ga mungkin menahan kebahagiaan yang menunggu kalian." Kak Lili memeluk aku dan Josie bergantian saat mengantar di bandara. Tangisan tak bisa dicegah. Air matanya berderai meski dia tidak ingin menangis. "Aku akan baik-baik saja. Josie pasti bisa merawat aku. Dia rajin dan pintar memasak. Aman, Kak." Aku menimpali dengan bercanda, agar Kak Lili tidak larut dalam sendu. "Cuma aku pasti sedih, kamu ga di sini kalau nanti anakku lahir, Avin. Padahal mau kamu main gitar sama nyanyi buat dia." Makin sendu kata-kata Kak Lili. Matanya sedikit berair memandang padaku. Terus terang, hatiku terasa penuh. Semakin berat saja mau berangkat. "Nanti aku buat video, ya? Aku akan
Melinda yang hampir berdiri, mengurungkan niatnya dan memandang padaku. Lalu dia juga menoleh pada Josie sebentar dan balik memandangku lagi. "Ah, ya, hampir lupa. Aku ada dua opsi buat kamu, Avin. Aku tetap ingat kebiasaan di negara kita, sepasang kekasih yang belum menikah tidak bisa tinggal serumah." Senyum Melinda menciut. Dia lebih serius bicara. "Jadi, aku berikan pilihan. Kalau kamu mau di rumah ini, aku siapkan kamar di sebelah belakang, dekat taman. Josie akan di lantai atas denganku, kamar kami bersebelahan."Aku dan Josie menyimak penjelasan Melinda. "Pilihan yang satu lagi?" Aku bertanya. Lebih baik tahu pilihan yang lain seperti apa. "Rumah ini seperti punya anak rumah, di sisi lain. Maksudku, berdampingan dengan rumah ini, ada rumah lebih kecil. Masih satu area, tetapi tersendiri. Menuju ke sana harus melewati taman samping atau memutar jika keluar halaman depan." Melinda menjelaskan. Aku melihat Josie. Tatapan Josie seperti ingin mengatakan terserah aku mau pilih yan
Makan malam di rumah Tante Melinda yang biasanya hanya bertiga, malam itu bertambah satu personil. Ralph Warren. Tante Melinda memperkenalkannya padaku dan Josie sebagai sahabat lama. Tanpa aku dan Josie minta, kisah panjang Tante Melinda tuturkan, sementara kami menikmati hidangan. Saat awal datang ke Finlandia, karena nekat, Tante Melinda dengan suami dan putrinya mengadu nasib. Dan orang Finlandia pertama yang ada di samping mereka adalah Ralph. Dalam semua perjuangan, Ralph setia sebagai kawan. Ralph yang membuka jalan juga untuk usaha yang dirintis suami Tante Melinda."Aku menjadi guru di sebuah sekolah karena Ralph. Dia menjadi wakil kepala sekolah di sana, aku diminta masuk menjadi guru sejarah tentang Asia dan guru Art. Untuk mendiang Ardo, Ralph yang punya banyak relasi, akhirnya menolong Ardo bisa punya restoran dan butik. "Aku dulu tidak terlalu terlibat dengan bisnis, karena fokus di sekolah dan mengurus Fisca. Setelah kecelakaan itu ..." Tante Melinda menunda menyelesai
Aku mencermati ekspresi Ralph. Hampir dia membuka mulutnya, kami mendengar suara dari arah pintu. Suara tawa dua wanita yang hari-hari ini dekat denganku. Josie dan Tante Melinda masuk membawa tentengan di tangan mereka. "Hai, kalian di sini?" tanya Tante Melinda dengan bahasa lokal. "Ya dan bagus kalian datang. Bergabung saja sekalian." Ralph melambai memberi isyarat agar kedua wanita cantik itu segera mendekat."Baiklah. Tuan yang akan mentraktir kami siang ini?" Tante Melinda melangkah mendekat. Senyumnya lebar dia menggoda Ralph. Bagaimana mungkin Ralph yang mentraktir kalau kami makan di restoran Tante Melinda sendiri. "Tentu. Hari ini aku sedang gembira. Jadi aku akan mentraktir wanita hebat dan cantik yang tidak mungkin aku lupakan." Ralph pun menimpali dengan ceria. Terkesan membalas candaan Tante Melinda, tetapi aku tahu itu muncul dari hatinya. "Siapa takut? Ayo, Josie, kita kuras dompet Ralph hari ini." Tante Melinda menoleh pada Josie yang dari tadi hanya senyum-senyum
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap