Resti menarik nafas, dia memandangku, kemudian kembali membuka mulutnya. “Kurasa Josie dijebak,” kata Resti. “Maksud kamu?” tanyaku dengan kening mengkerut. “Waktu Josie datang malam itu, sudah hampir jam satu. Dia lemas dan lunglai, tak bisa berkata apa-apa. Ibu Rani mengatakan Josie mabuk. Jadi malam itu dia tidak bisa ditanya dari mana dan melakukan apa. Tapi foto Josie dengan cowok di kafe, menjadi bukti apa yang Josie lakukan di luar.” Resti mulai menjelaskan. “Josie sendirian?” Aku tidak percaya mendengar yang Resti katakan. “Aku akan mulai dari awal, Pak Bos dengar dulu. Jangan menyela, jangan emosi.” Resti melihat padaku dengan tatapan sedih. Ketegangan dari raut mukanya belum hilang. “Oke, lanjutkan,” ucapku. Dadaku bergemuruh. Apa yang Resti katakan membuat aku tidak karuan. Tidak percaya mendengar kabar itu. “Sore itu kami jalan ke Malioboro, rame-rame. Di sana padat sekali. Aku akhirnya jalan terpisah dengan Josie, karena menemani Doan. Aku pikir Josie, Hetty, dan be
Josie terdiam, lalu perlahan air mata membasahi kedua pipinya. Ada kesedihan begitu dalam muncul begitu cepat di wajahnya. “Josie …” panggilku. Aku ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan. “Aku ga bisa jaga diriku, Kak. Aku ga bisa tahu kalau ada yang sedang mempermainkan aku.” Josie mengusap kedua pipinya dengan punggung tangannya. “Pesan itu, yang masuk di ponsel kamu.” Segera aku ingat yang Resti ceritakan. Josie datang ke kafe itu karena ada yang mengirim pesan, agar Josie ke sana. “Kamu masih simpan? Ada nomornya?” Josie memandangku. Lalu dia mengangguk. “Ya, kurasa masih ada.” “Bisa kamu screenshot, kirim ke aku.” Aku bertekad akan mencari petunjuk siapa yang dengan sengaja mempermainkan Josie. “Kak, aku harus gimana? Kurasa kali ini aku tidak bisa mengelak. Pasti aku akan dikeluarkan dari sekolah. Aku ga mau. Aku tinggal tunggu wisuda dan ijazah.” Josie tampak kesal bercampur sedih karena harus mengalami sesuatu yang jauh di luar dugaan. Jujur saja pikiranku tentu pada He
"Apa benar, Hetty yang melakukannya? Seperti yang kamu kira?" tanyaku memastikan. Dan gelengan keras muncul spontan dari kepala Resti. "Bukan?" Aku dan Josie berkata bersamaan. "Aku ga nyangka, Pak. Aku salah duga soal Hetty. Ternyata, dia memang udah baik sama Josie." Resti kembali menarik nafas dalam. "Lalu?" Aku mengerutkan keningku. "Aku sangat kaget waktu tahu. Ga percaya, tapi aku dengar sendiri semuanya. Seandainya hanya kata orang bisa jadi aku merasa dia difitnah." Resti menjawab dengan kepaka kembali menggeleng. "Siapa, Res? Emang ada yang ga suka aku?" tanya Josie. "Istanti." Aku dan Josie melotot. Kami berpandangan lalu kembali melihat pada Resti. "Kamu yakin?" Aku tidak percaya. Istanti selama ini tidak ada urusan dengan Josie. Dia murid yang baik, murid rajin, dan lumayan pintar. Baik hati dan disukai banyak teman. Tidak mungkin. "Res, kamu ga bercanda, kan?" ujar Josie. Resti tidak menjawab baik pertanyaanku maupun pertanyaan Josie. Dia membuka sesuatu di pons
"Aku? Aku juga ga kenal kakak kamu. Jangan sampai salah ini orang, ya?" Aku spontan bicara. Tidak masuk akal yang Istanti katakan. "Kakakku ... tahu Pak Avin, tapi ga kenal." Istanti melanjutkan. "Kakakku ... terlilit hutang. Katanya dia bisa bebas dari hutang asal bisa menyelesaikan misi, kasih Josie pelajaran ..." "Kamu yang jelas kalau bicara. Ga usah muter-muter." Hetty juga terlihat tidak sabar. Wajahnya menunjukkan rasa kesal yang membumbung pada istanti. "Kakakku itu ... salah satu kru di tempat kerja pacar Pak Avin. Namanya Lola," ucap Istanti. "Hahhh??" Resti dan Hetty lagi-lagi menyahut bersama. Aku, Josie, dan Ibu Liani pun menatap kaget pada Istanti. "Lola? Astaga, kenapa aku tidak bisa menduganya?" Aku mengepalkan tanganku tanda marah yang seketika meluap di hatiku. Semua mata tertuju padaku. "Lola itu terobsesi sama Kak Avin. Udah diputusin ga mau terima." Resti yang membuka mulut. Dari nada suaranya, jelas gadis itu juga kesal. "Teruskan ceritamu. Apa yang terja
Tidak ada alasan untuk menolak permintaan Josie. Ibu Ferinda, Ibu Liani, dan juga aku, sangat terharu dengan yang terjadi. Kekacauan, peristiwa mengejutkan, tetapi bisa berakhir begitu manis. Josie, yang kulihat di mataku, sekalipun dia mengalami hidup yang rumit, berat, dan menyedihkan, tidak menjadikannya gadis arogan dan ingin menang sendiri. Situasi up and down yang datang tiba-tiba justru membuktikan hati manis dan mulia yang dia punya. Istanti memeluk Josie erat dan menangis begitu rupa. Rasa terima kasih tak terhingga yang dia tunjukkan meskipun hampir tak ada kata yang keluar selain tangisannya. Hari itu kami lewati dengan hati lega. Aku pulang dengan beban berat seolah-olah sudah terlepas dan terlempar jauh ke dasar laut. Sampai hari yang paling dinanti tiba. Ibu Kepala Sekolah menyatakan kelas 12 lulus dalam menyelesaikan semua tuntutan di sekolah. Bukan hanya dalam hal akademik. Dalam sisi ketrampilan hingga karakter, ujian yang mereka lalui telah terlampaui. "Saya bangga
Josie tidak menjawab pertanyaanku. Dia kembali duduk, lalu mengambil ponselnya yang ada di meja. Aku ikut duduk dan menunggu apa yang dia mau tunjukkan. Josie membuka sesuatu di ponsel, lalu dia berikan padaku. "Kak Avin baca pesan yang masuk dari Tante Mel." Dia memandangku, tidak mau menjelaskan langsung. Aku mengarahkan mataku pada layar ponsel Josie. Aku baca komunikasi Josie dan Melinda lewat chat. Mataku melebar, dan kurasa mulutku setengah menganga saat membaca semuanya. "Josie, kamu serius?" tanyaku dengan dada berdetak lebih cepat. "Kak, Tante Mel sudah menyiapkan semua ... semuanya buat aku. Saat dia tahu segala hal yang aku lewati di sini, dia ingin aku lebih cepat pergi. Dia tidak mau aku terus merasakan kepedihan. Dia bilang, bertemu denganku seakan menemukan lagi seorang putri yang tidak akan pernah dia miliki lagi." Josie bicara serius, tidak ada senyum di sana. Tapi dia tetap terlihat tenang. "Dan Tante Mel minta aku ikut denganmu?" Ini yang aku sangat terkejut saa
Mata Josie memandang padaku dengan tatapan penuh harap. Di layar, Melinda juga melihat dengan rasa tidak sabar. Kedua wanita cantik ini menunggu aku segera mengumumkan satu lagi keputusan besar di dalam hidupku. "Setelah aku berpikir, mempertimbangkan semua hal, dan juga berdoa ..." Mataku kembali bergantian melihat pada Josie dah Melinda. "... aku membulatkan hatiku ... aku ga bisa ..."Tatapan Josie berubah. Seketika sorot penuh harap menyingkir dan redup. "Avin, kamu sudah beneran mikir semuanya?" Melinda dengan cepat mengajukan pertanyaan. "Yaa ... aku sudah memikirkan semuanya." Aku menjawab, juga dengan cepat. "Aku ga bisa jauh dari Josie. Karena itu ..."Belum tuntas aku bicara, Josie langsung melompat dan memeluk aku dengan erat. Ponsel yang aku pegang sampai hampir jatuh. "Makasih, Kak, makasih banyak!" kata Josie dengan penuh haru. Aku dan Josie kembali melihat ke layar kaca. Senyum. lebar Melinda pun mengembang. Senyum gembira mereka, membuat aku sangat lega. Keputusan
"Kak Lili, aku belum genap delapan belas tahun. Mana boleh menikah?" Josie melihat Kak Lili dengan wajah bersemu merah. Kak Lili tersenyum lebar, sedang Bang Edo, ngakak sekeras-kerasnya. Aku garuk-garuk kepala dengan tingkah mereka. "Andai bisa, itu akan aman, sangat aman buat kalian berdua. Aku ga ada rasa ketir-ketir," ujar Kak Lili. "Tenang, Kak, aku ga akan macam-macam." Aku meyakinkan kakakku jika yang dia pikir aku dan Josie bisa jatuh ke hubungan yang terlampau jauh, aku jamin tidak akan terjadi. "Setidaknya kalian tunangan dulu. Itu sudah satu langkah untuk menguatkan hubungan kalian." Bang Edo memberikan pemikirannya. "Ah, iyaa ... Betul itu. Kalian tunangan sebelum berangkat." Kak Lili bersemangat menyahuti. Aku tersenyum girang. Aku menarik Josie dalam pelukan dan mendaratkan kecupan di keningnya. "Kak ..." Josie kaget. Dia meletakkan tangan di dadaku dan mendorong aku agar sedikit menjauh. Wajahnya merona. Pasti dia malu karena aku memeluk tiba-tiba di depan kedua k
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap