Aku jadi salting di depan Josie. Kenapa gadis itu menatapku begitu? Aku meneguk lagi jusku, yang tinggal setengah, tiga kali teguk saja. "Minum jusnya, kok dianggurin," tukasku. Tidak nyaman juga dilihat begitu rupa. Senang, meletup, tapi sisi lain hatiku berseru yang kurasakan salah. "Aku ingat kata-kata papa. Kayak yang Pak Avin bilang," kata Josie masih dengan dagu ditopang dan pandangan menghujam ke bola mataku. "Apa katanya?" tanyaku penasaran. "Hidup harus berguna. Kupikir itu hanya untuk orang-orang tertentu saja. Aku ga yakin. Aku hidup ga karuan, isinya cuma melow, mau berguna dari mana. Tapi pas dengar kisah Pak Avin, aku ... bisa jadi papa benar," jawab Josie. Lagi-lagi, Josie menyamakan aku dengan papanya. Aku makin bisa merasa Josie tidak menahan diri untuk terbuka padaku. Bagus, tapi kenapa aku mulai takut? Aku melirik ke arloji di tangan kiriku. Sudah hampir setengah tujuh malam. "Kamu harus segera balik, atau kamu akan telat sampai di sekolah," ujarku. Josie men
Josie melangkah masuk melewati gerbang sekolah. Tidak sampai sepuluh meter dia berbalik dan melambai. Senyumnya lebar, lepas, tampak begitu gembira. "Makasih, Pak!" Suaranya kembali terdengar. Aku membalas lambaiannya, juga melempar senyum buat Josie. Ah, kenapa aku segembira ini melihat senyum gadis belia itu? "God, help me ..." bisikku, memohon agar hatiku tidak berjalan terlalu jauh ke sisi yang tidak semestinya.Aku memutar motor, aku lebih baik segera pergi. Aku tidak boleh membiarkan perasaanku terus melebar. Josie adalah muridku. Titik. Motorku kembali melaju di jalanan. Masih padat, meski tidak sepadat sebelumnya. Aku tidak bisa menampik, hatiku terus berpetualang, mengingat Josie, Josie, dan tidak mau beralih ke tempat lain. Sampai di rumah Kak Lili menyambutku. Makan malam kesukaanku yang kebetulan sama dengan Bang Edo tersedia di meja. Tapi aku tidak bersemangat melihatnya. Pikiranku galau. Carut marut karena Josie. "Avin! Ayo, makan! Lihat, semua kesukaan kita siap di
Aku memberi tugas kepada murid-murid untuk membuat karya lagu dari perjalanan field trip yang lalu. Lirik lagu dalam Bahasa Inggris, yang mana syair dalam Bahasa Inggris akan jadi penilaian pelajaran Bahasa Inggris. Sedangkan tampilan video akan dinilai dari sisi seni yang lain untuk pelajaran Art.Mataku tak berkedip rasanya menonton video tugas Josie yang berdurasi hampir dua menit. Simple, tapi nilai Art yang Josie raih aku yakin tidak akan rendah. Yang paling membuat aku terpukau lagu yang Josie nyanyikan. Judulnya saja membuat hatiku serasa bergelombang. "I have found a hero." Aku berucap lirih. Bibirku hampir terus setengah terbuka sampai video Josie berakhir. Lagu yang Josie ciptakan memang selaras dengan permintaan guru. Menceritakan sesuatu yang spesial dalam field trip. Dan Josie? Dia berkisah tentang aku yang menyelamatkan dirinya dari bahaya yang datang tiba-tiba. "God, no way ..." bisikku dengan letupan bertubi-tubi mendera di dada. Hatiku campur aduk rasanya. Girang,
"Pak, ditunggu!" Resti memberi isyarat aku ditunggu untuk segera tampil. "Oke," sahutku. Aku kembali ke posisi di tengah panggung. Musik pun mengalun. Aku mulai menyanyikan lagu pilihanku. Aku melihat ke sisi kanan panggung kecil ini, ke pelaminan kedua mempelai. Kak Lili tersenyum bahagia dan ikut bernyanyi mengikuti lagu yang aku dendangkan. Senangnya melihat senyum kakakku satu-satunya. Bang Edo tidak melepas genggamannya. Sementara aku bernyanyi, aku menaikkan doa, agar kebahagiaan kakakku akan makin penuh dan lengkap. Aku makin totalitas menyanyikan lagu yang kubawakan. "Wow! Keren! Persembahan luar biasa dari adik mempelai wanita. Suaranya mantap sekali, ya?!" MC cantik yang ternyata kakak Resti itu memberi komentar saat aku selesai melantunkan lagu. Pantas saja alu tidak asing dengan wajahnya, karena memang mirip dengan Resti.Tepuk tangan masih membahana di seluruh ruangan. Aku beranjak, ingin kembali menghampiri kedua muridku itu, tiba-tiba terdengar suara MC lagi. "Ada r
"Cuma lihat foto aja sampai kayak gini hatiku. Aku benar-benar harus kendalikan diri." Aku mengusap dadaku. - Thank you fotonya, Res. Udah malam, istirahat. Aku kirim pesan balasan pada Resti. - Siap, Pak Jawaban Resti segera datang dibarengi dengan emoticon lucu. Aku meletakkan ponsel di meja, lalu naik ke kasur. Aku duduk bersila di atas ranjangku dan melipat kedua tanganku serta menutup mata. Aku perlu bicara pada Tuhan tentang hatiku. "Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku? Aku ga mau seperti ini. Punya rasa suka pada muridku. Tuhan, ini salah. Aku memang ga lagi ada hati buat Lola. Hubungan kami ga mungkin dilanjutkan. Tapi apa harus dengan pelarian pada seorang gadis belia? "Tuhan, angkat perasaan yang ga sepatutnya ini. Kumohon, aku hanya ingin menjadi guru yang baik, membangun generasi, bukan menjadi pria yang ga punya hati yang jatuh hati pada murid sendiri." Setelah mengungkapkan semua yang aku ingin sampaikan, aku berdiam diri. Aku menunggu jawaban. Aku ingin mendapat
Wanita itu sangat terkejut melihatku. Matanya melebar dan menatap tajam padaku. "Kamu siapa? Ngapain ikut campur urusanku sama Josie?!" ucap wanita itu dengan marah. "Aku guru Josie. Ibu tidak ada hak melakukan kekerasan pada seorang anak. Ini di sekolah, Anda harus bisa bersikap sopan!" Aku berkata dengan tegas. Josie ada di belakangku. Aku bisa merasakan tangannya berpegangan pada baju belakangku. Aku bisa merasakan juga Josie seolah mau bicara meminta perlindungan dan pembelaan. "Terserah aku. Aku walinya Josie, aku yang bertanggung jawab atas dia!" Wanita itu tidak mau mendengarkan aku. "Selama di sekolah, Josie adalah tanggung jawab sekolah. Jadi, apapun yang terjadi dengan murid sekolah ini, sekolah harus memastikan siswa tidak akan menerima perlakuan yang tidak pantas!" Aku tidak mau mengalah. Harus segera aku usir wanita tidak jelas ini dari hadapanku dan Josie. "Kamu pikir aku peduli itu?" sahut wanita itu ketus. "Anda bisa aku laporkan polisi karena membuat kegaduhan d
Ujian tengah semester berjalan. Semua sibuk fokus dengan itu. Sementara, proyek kelas 12 pun bertahap bergerak. Drama musikal yang akan digelar semester mendatang, aku bisa membayangkan pasti keren. Proses audisi sudah selesai. Josie menjadi salah satu pemain utama. Aku tidak mengira sama sekali, akting Josie ternyata lumayan bagus. Guru teater yang berhasil menemukannya. Josie benar-benar paket komplit. Permainan musiknya bisa diacungi jempol. Suaranya merdu dan punya khas. Bermain drama pun tidak kalah oke. "Pak! Pak Avin!" Aku menoleh ke belakang, melihat siapa yang memanggilku. Hetty berlari-lari kecil. Senyumnya lebar dengan mata berbinar. "Happy birthday!" Hetty berdiri di depanku dan mengulurkan sebuah kotak kecil berwarna biru gelap yang manis. "Kamu tahu aku ulang tahun hari ini?" Aku mengerutkan kening. "Ih, si Bapak. Dunia juga tahu, kali, Pak!" Hetty tersenyum lebar. "Hee ... hee ... Sosmed, ya?" ujarku. "Ini hadiah buat Pak Avin." Tangan Hetty terulur menyodorkan k
Aku menoleh ke kiri dan kanan, kalau ada yang lewat, aku akan panggil agar kedua cewek itu tahu ada orang dan segera bubar. Tutt!! Tuttt!!! Yes! Ponselku berdering. Aku sedikit menjauh dan mengangkat panggilan itu. "Halo, hai! Ya, gimana?" Aku sengaja mengeraskan suaraku agar Hetty dan Josie mendengar aku sedang lewat. Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku mendengar penelpon, Bang Edo terus bicara di telingaku, tapi aku tidak begitu menangkap yang dia katakan. Aku lebih fokus memastikan Hetty dan Josie tidak meneruskan perdebatan mereka. Bang Edo hanya mau tahu aku tidak ada acara sampai di atas jam delapan malam. Kak Lili menyiapkan makan malam khusus buatku. Ah, makin panjang saja kisah tentang ulang tahun. Aku tidak lagi mendengar suara Hetty dan juga Josie. Aku kembali mengintip di sela daun-daunan di depanku. Kulihat Hetty berjalan tergesa menjauh dari tempat itu. Sedang Josie, dia belum beranjak, diam mematung. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Ingin sekali aku menghampi
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap