Wanita itu sangat terkejut melihatku. Matanya melebar dan menatap tajam padaku. "Kamu siapa? Ngapain ikut campur urusanku sama Josie?!" ucap wanita itu dengan marah. "Aku guru Josie. Ibu tidak ada hak melakukan kekerasan pada seorang anak. Ini di sekolah, Anda harus bisa bersikap sopan!" Aku berkata dengan tegas. Josie ada di belakangku. Aku bisa merasakan tangannya berpegangan pada baju belakangku. Aku bisa merasakan juga Josie seolah mau bicara meminta perlindungan dan pembelaan. "Terserah aku. Aku walinya Josie, aku yang bertanggung jawab atas dia!" Wanita itu tidak mau mendengarkan aku. "Selama di sekolah, Josie adalah tanggung jawab sekolah. Jadi, apapun yang terjadi dengan murid sekolah ini, sekolah harus memastikan siswa tidak akan menerima perlakuan yang tidak pantas!" Aku tidak mau mengalah. Harus segera aku usir wanita tidak jelas ini dari hadapanku dan Josie. "Kamu pikir aku peduli itu?" sahut wanita itu ketus. "Anda bisa aku laporkan polisi karena membuat kegaduhan d
Ujian tengah semester berjalan. Semua sibuk fokus dengan itu. Sementara, proyek kelas 12 pun bertahap bergerak. Drama musikal yang akan digelar semester mendatang, aku bisa membayangkan pasti keren. Proses audisi sudah selesai. Josie menjadi salah satu pemain utama. Aku tidak mengira sama sekali, akting Josie ternyata lumayan bagus. Guru teater yang berhasil menemukannya. Josie benar-benar paket komplit. Permainan musiknya bisa diacungi jempol. Suaranya merdu dan punya khas. Bermain drama pun tidak kalah oke. "Pak! Pak Avin!" Aku menoleh ke belakang, melihat siapa yang memanggilku. Hetty berlari-lari kecil. Senyumnya lebar dengan mata berbinar. "Happy birthday!" Hetty berdiri di depanku dan mengulurkan sebuah kotak kecil berwarna biru gelap yang manis. "Kamu tahu aku ulang tahun hari ini?" Aku mengerutkan kening. "Ih, si Bapak. Dunia juga tahu, kali, Pak!" Hetty tersenyum lebar. "Hee ... hee ... Sosmed, ya?" ujarku. "Ini hadiah buat Pak Avin." Tangan Hetty terulur menyodorkan k
Aku menoleh ke kiri dan kanan, kalau ada yang lewat, aku akan panggil agar kedua cewek itu tahu ada orang dan segera bubar. Tutt!! Tuttt!!! Yes! Ponselku berdering. Aku sedikit menjauh dan mengangkat panggilan itu. "Halo, hai! Ya, gimana?" Aku sengaja mengeraskan suaraku agar Hetty dan Josie mendengar aku sedang lewat. Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku mendengar penelpon, Bang Edo terus bicara di telingaku, tapi aku tidak begitu menangkap yang dia katakan. Aku lebih fokus memastikan Hetty dan Josie tidak meneruskan perdebatan mereka. Bang Edo hanya mau tahu aku tidak ada acara sampai di atas jam delapan malam. Kak Lili menyiapkan makan malam khusus buatku. Ah, makin panjang saja kisah tentang ulang tahun. Aku tidak lagi mendengar suara Hetty dan juga Josie. Aku kembali mengintip di sela daun-daunan di depanku. Kulihat Hetty berjalan tergesa menjauh dari tempat itu. Sedang Josie, dia belum beranjak, diam mematung. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Ingin sekali aku menghampi
Sampai di rumah, aku membuka hadiah yang aku terima dari Hetty dan Josie. Hetty memberi aku sebuah weker lucu. Berwarna putih dengan bentuk patung beruang. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. "Dasar bocah. ABG kalau ngasih hadiah." Mungkin Hetty membayangkan aku sama dengan anak usia belasan tahun. Hadiah dari Josie. Aku penasaran, Josie bilang dia memberi hadiah gambar. Gambar seperti apa? Aku kembali terpana. Josie menggambar diriku setengah badan, membawa sebuah gitar di tangan. Ada senyum lepas di wajahku, tampan. Memang begitu adanya. Yang Josie buat, gambar semacam sketsa berwarna hitam dan putih. Tapi keren menurutku. Lagi-lagi aku terpukau. Josie memang paket super komplit. Semua seni sepertinya dia tahu. Menyanyi, bermain musik, menari, sampai menggambar. Makin kagum aku pada murid unik dan istimewa itu. Ada tulisan di ujung kanan bawah dari gambar Josie. Tulisan tangan Josie yang rapi dan bagus. Aku mendekatkan gambar agar bisa membaca dengan jelas tulisan itu. "Keep
Aku tidak bisa lari lagi. Tanggung, aku pun membuka mulutku dan berkisah. Kali pertama aku bertemu Josie, di jalan, hampir aku menabraknya. Mata sayu Josie menarik perhatianku. Sikap cueknya seperti tak peduli jika dia akan mati karena kecelakaan, juga menyita pikiranku. Aku menceritakan semua pada Kak Lili. Hingga bagaimana perlahan tapi pasti, waktu dan kesempatan seakan menarik aku dan Josie makin mendekat. Apalagi setelah aku tahu kisah perih hidup gadis istimewa itu sejak dia masih bocah. "Itulah, Kak ..." ucapku di penghujung ceritaku. Kak Lili menatap wajahku dengan pandangan aneh. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Senang? Kurasa bukan. Marah? Tidak juga. Ada iba pada Josie, mungkin. Aku tidak tahu. "Apa karena hatimu kecewa pada Lola, lalu kamu melihat seseorang yang butub kasih, maka hatimu beralih?" Pertanyaan itu membuat aku terkejut. Apa mungkin seperti itu? Aku yang sudah lama mengalami hubungan toxic, merana, merasa diabaikan, akhirnya rasa kosong itu terisi dengan
Refleks, aku menarik tanganku, melepas pegangan Hetty. Aku pura-pura membetulkan ransel dan tas laptop yang aku bawa. "Ga usah lebay. Udah sana!" ujarku tidak mau menanggapi Hetty. "Oke, Pak! Sampai jumpa lagi. Bye!!" Hetty mundur, kembali menyeret koper pink, lalu berbalik. Di depannya, di depanku juga artinya, kira-kira lima belas meter, tampak Josie berdiri memandang padaku dan Hetty. Wajah dan tatapan gadis itu terasa aneh dan berbeda. Sedikit ada rona merah tergambar di wajahnya. "Pak, aku pasti bawakan oleh-oleh yang paling oke!" Hetty cepat berbalik dan bicara dengan suara keras. Aku rasa dia sengaja, karena ada Josie yang memperhatikan. Aku tidak bereaksi. Mataku justru tertuju pada Josie. Dia tidak tersenyum, pandangan datar yang terlihat. Hetty melambai, lalu meneruskan langkahnya. Mobil mewah sudah menunggu tidak jauh darinya. Seorang pria hampir setengah baya, membantu membuka pintu mobil buat Hetty. Kemudian pria itu memasukkan koper Hetty ke bagasi. Josie bergerak.
Seperti dugaanku, Josie naik ke pohon di kebun belakang sekolah. Di tempat yang paling dia suka dan rasa nyaman, saat semua begitu menekan. Aku ikut naik ke atas pohon dan duduk di samping Josie. Josie masih terus menangis. Aku tidak bicara apa-apa, hanya duduk saja di sisinya. Aku biarkan Josie melepas semua marah, sedih, kecewa, dan beragam rasa yang pasti berkecamuk di dada gadis itu. "Sampai kapan kayak gini?" Akhirnya Josie mengeluarkan satu kalimat. Isakannya sesekali masih terdengar. Pandangan wajah Josie tetap lurus ke kejauhan, entah apa yang dia lihat. "Apa yang sampai kapan?" tanyaku. Aku mau Josie bicara lebih jelas. "Tante Ertie terus mengganggu hidupku. Sejak dia datang, kurasa ketimpangan hidupku makin bertubi-tubi." Josie menjawab. "Aku tidak paham. Bukannya dia, tante kamu. Sudah sejak kamu kecil kalian bersama," kataku. "Aku kenal Tante Ertie saat mau lulus SD. Sebelumnya aku hanya tahu saja, karena dia tinggal di kota lain. Dia ikut tinggal dengan aku dan papa
Josie menatapku. Bibir mungilnya sedikit terbuka. Cantik, sangat cantik, meskipun wajahnya sembab karena banyak menangis. "Semua sudah berlalu. Yang lalu ga mungkin kembali, ga mungkin diulang. Jangan diingat lagi." Aku tidak tega mendengar semua pedih yang Josie ungkapkan. Aku tidak mau mendengar lebih banyak dan membangkitkan kesedihan Josie lebih dalam. Aku meneruskan ucapanku. "Kamu ada di sini, kamu punya hidup yang baik. Kamu bisa memikirkan langkah ke depan kamu akan bagaimana. Oke?" Josie mengatupkan bibirnya. Dia menarik napas dalam, terasa berat, tapi ada anggukan kecil dari kepalanya. "Aku tahu, tidak mudah melupakan kejadian yang sangat buruk yang kita lewati. Tetapi hari esok masih ada, pasti ada hal baik yang akan datang. Percaya itu, Josephine." Josie seketika menunduk. Kembali dia menangis. Aku ingin sekali memeluknya, membuat dia merasa lebih tenang dan tahu, dia tidak akan pernah sendirian menghadapi hari-hari berat yang akan dia jalani. Ting! Notif di ponsel m
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap