Aku kaget, benar-benar kaget, Resti menyerahkan buku rahasia Josie padaku. "Kamu apa-apaan?" tanyaku dengan mata setengah melotot. "Pak, kalau ga gini, ga tahu kita yang terjadi. Dan ga ada bukti. Kecuali Josie mau bicara dengan tantenya. Kalaupun tantenya datang, apa iya dia akan ngaku, di rumah tempat dia dan Josie tinggal dipakai untuk adegan dewasa?" Resti memandangku. Aku menghela napas. Resti benar. "Aku tahu ini salah. Aku mencuri buku Josie. Tapi ... tiba-tiba saja aku punya pikiran dan waktu lihat buku itu aku ambil." Resti merasa bersalah juga tampaknya. "Baiklah. Yang penting kita bantu Josie tetap stay di sekolah. Itu dulu," ujarku. "Kamu cepat ke kelas sana." "Iya, Pak," kata Resti. Segera gadis itu meninggalkan aku, bergegas ke kelasnya. Aku menoleh lagi ke arah asrama. Sepi, tidak tampak siapapun. Aku membalikkan badan dan melangkah menuju ke kantor. Bu Rani, aku harus menemuinya, tapi setelah aku mendapat sesuatu dari buku harian Josie. Di kantor sudah lumayan b
"Pak Avin!" Panggilan itu terdengar. Suaranya berat, bukan suara Josie. "Pak Avin!" Sekali lagi kudengar. Segera kesadaranku pulih. Ternyata salah satu murid kelas yang memanggilku. Kenapa aku bisa membayangkan begitu jauh tentang Josie? Apa benar, yang Bang Edo bilang, aku suka sama Josie? Aku mulai ada hati untuk muridku itu? "Oh, ya, gimana?" Aku segera menengok pada murid dengan rambut cepak itu. "Udah betul belum, Pak?" Tangan murid itu menyodorkan buku latihannya. Aku kembali konsentrasi, memperhatikan pekerjaan muridku. Tidak lama lagi. Hanya sekian menit lagi, sabarlah. Aku berusaha menenangkan diri sendiri. Begitu bel usai kelas, aku segera meminta murid-murid mengumpulkan tugas mereka di meja. Lalu aku membereskan semuanya dan bergegas meninggalkan kelas. Tujuanku adalah mencari Josie dan Resti. Apakah Josie sudah bertemu dengan Ibu Kepala dan Wali Kelasnya? Apa yang terjadi kemudian? Apa benar, Bu Rani bisa meyakinkan Ibu Kepala agar membiarkan Josie tetap meneruskan s
Kami yang di dalam bis melongok keluar, mengikuti arah tangan murid itu. Aku tidak melihat jelas apa yang dia tunjuk. Segera aku mendekat ke sisi kanan dan menengok keluar agar lebih jelas ada apa. "Josie, Pak!" Suara yang lain menyahut. Tampak Josie berjalan bergegas ke arah bis. Dia mendekati pintu. Aku tak menunggu lagi, segera membuka pintu bis. "Josephine?" tanyaku sambil memandang Josie yang melangkah masuk. "Maaf, Pak, Bu Ertis minta aku ke bis. Dia masuk di mobil empat. Masih cukup kan, di sini?" Josie berdiri di depanku. Ah, lagi-lagi debaran girang menghampiri hatiku. "Bu Ertis? Kok tiba-tiba?" Aku jujur saja terkejut, tapi senang. Bu Ertis seharusnya tidak akan ikut dalam rombongan field trip. Tapi kenapa ... "Bu Ertis ada urusan di kantor pemerintahan ga jauh dari lokasi field trip. Jadi sekalian bareng." Josie menjelaskan. "Well, oke ..." Aku menoleh ke seluruh bis. Sebenarnya bis sudah penuh. Karena memang semua sudah dihitung. "Kamu duduk di sini." Aku mengambil
Ranting pohon itu lepas dari pangkalnya. Di bawahnya Josie sedang melintas. Seperti auto-pilot, kakiku terangkat, melangkah cepat, dan melompat ke arah Josie. Aku menarik Josie sekuat mungkin agar menjauh dari patahan ranting pohon yang terjun terarah padanya. Di sekelilingku terdengar teriakan terkejut dan panik dengan kejadian mengerikan yang tiba-tiba itu. Sementara Josie sudah ada dalam dekapanku. Dan kurasa di bahu kiriku, ranting pohon menimpa, membuat rasa sakit dan ngilu yang sangat kuat. "Pak Avin! Josie! Ya ampun!! Astaga!!" Entah teriakan apa lagi yang masuk ke telingaku. Aku tidak memperhatikan di sekitarku. Aku hanya mau yakin Josie baik-baik saja. Merasa yakin, bahaya sudah lewat, perlahan aku lepaskan dekapanku dari Josie. Wajah Josie tampak sangat tegang dan bingung. Antara pucat dan merah menghiasi wajahnya. Josie menatapku dengan heran sedangkan tangannya masih erat memegang lenganku. "Josie! Kamu ga apa-apa?" Resti sudah berdiri di belakang Josie. Dua gadis lain
Melihat pemandangan luar biasa di depanku, aku seperti orang bodoh. Tapi aku tidak mau terlihat bodoh. "Silakan lanjutkan, aku salah jalan!" tandasku dan berbalik. Aku tidak tahu apa reaksi Lola saat tahu aku memergoki dia dengan pria lain. Aku tidak ingin menoleh lagi. Kejutan luar biasa kembali kuterima hari ini. Langkahku tidak jelas lagi ke mana. Tidak kupikirkan apakah aku menuju rombongan murid atau tidak. Aku hanya ingin keluar dari area kampung wisata itu dan kembali ke bis. Pak Harjo sedang duduk di dalam bis sendirian, di kursi sopir. Dia memperhatikanku yang masuk bis dengan tergesa dengan wajah kesal. "Pak Avin?! Kok sudah balik? Ah, Pak Avin sakit?" Pak Harjo bertanya dengan tatapan cemas. Aku menyandarkan punggung, sedikit miring, agar bahuku tidak menyentuh sandaran kursi. "Mulai terasa, Pak. Makanya aku balik ke bis saja. Pulang baru aku cek kondisi seperti apa." Aku menjawab sambil perlahan tangan kananku meraba bahuku. "Boleh saya lihat, Pak? Maaf, kalau ga keb
Tatapan mata sayu itu membuat aku tak bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain. Beberapa saat mataku dan mata Josie masih saling menatap. Josie mengerjap beberapa kali, lalu dia menunduk dan kembali memperhatikan ponselnya. Aku menghela nafas dalam, menoleh lagi keluar jendela bis. "Ya Tuhan, ada apa denganku? Aku makin ga bisa kontrol hatiku. Kenapa jadi begini?" Degupan mulai melanda di dada ini. Benar-benar tidak masuk di akalku. Aku suka muridku sendiri? Gila! Ting! Ponselku kembali berteriak menunjukkan ada pesan masuk. Dengan cepat aku mengeluarkannya dan membuka pesan itu. Aku makin degdegan, yakin pesan itu dari Josie. Ah, ternyata ... Lola ... - Avin, aku tunggu di rumah. Kita harus bicara. Aku tersenyum getir. Aku tahu apa yang Lola inginkan. Dia pasti akan klarifikasi kejadian di lorong kampung wisata itu. Aku tidak ingin sama sekali menjawab pesan Lola. Aku memegang ponselku dengan tangan kanan, sementara pandanganku balik ke jalanan di luar bis yang tidak bisa terlal
Rasanya tak bisa kupercaya apa yang aku dengar dari Lola. Dia tidak mau putus? Lalu apa arti semua yang dia lakukan di belakangku? Apa artinya aku buat dia? Kalau boleh, aku ingin menampar pipinya dan menjambak rambut pirangnya! Kedua tanganku terkepal. Dan sayang sekali, tangan kiriku terasa lemah, mengepal saja tidak mampu dengan benar. Aku sudah habis kata-kata membalas Lola. "Kalau memang putus, aku yang akan melakukannya, bukan kamu! Jadi, aku ga terima kamu putusin aku, tanpa mendengar penjelasan dariku!" Lola menatapku dengan kedua mata menyala. Aku tidak bereaksi. Mau menjawab, tidak ada gunanya, mau mengiyakan sudah tidak mungkin. Aku memilih duduk di sofa dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku mengeluarkan ponsel dari saku ranselku. "Sekarang, kamu harus dengar semua yang harus kamu dengar." Lola maju beberapa langkah dan duduk di depanku. Aku masih tidak ingin menjawab. Ponselku menyala, ada panggilan masuk di sana dari Kak Lili. "Ya, Kak?" Aku menerima panggilan kaka
Sebuah gambar dengan diri Josie. Josie memegang selembar kertas di tangan, sedang senyum manis mengembang di bibirnya. Tulisan di kertas yang Josie pegang membuat aku makin lebar tersenyum. 'You're the hero for me, Sir. Thank you.' Aku segera mengirim balasan ke nomor Josie. - lagi ngapain? Sempat bikin foto gini, ya? Aku tak bosan memandangi wajah Josie. Sangat berbeda dengan saat pertama aku mengenalnya. Wajah tegang, cuek, dan tak peduli apapun hampir tak terlihat lagi di sana. Semakin terbayang wajah Josie yang dihiasi senyum, meskipun matanya masih saja sayu. Namun sayu yang dia tunjukkan bukan menyimpan kesedihan. Ting! Jawaban masuk lagi dari Josie. Tak sabar aku membaca pesannya. - Mau belajar malam, Pak. Semangat, cepat sehat lagi. Ada project kelas musik, kan? Pingin cepat mulai. Oh, tidak ... Ini penghiburan yang aku harapkan. Secepat itukah Tuhan menjawab doaku? Semua kekesalan karena Lola seperti tidak ada artinya. Kalimat biasa dari seorang murid yang menyukai pela
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap