Denting jam dinding ku sudah menunjukkan memasuki pertengahan malam. Selepas perbincangan hangat seperti biasa, aku merasa semakin ingin mempertahankan janin di rahim ku. Lagipula aku pun tidak punya alasan untuk menggugurkan bayi tidak bersalah itu. Seharusnya aku berpikir dahulu setiap bertindak dan semuanya kini sudah terjadi.Tidak ada yang perlu disesali.Aku tidak hamil diluar pernikahan dan suami ku bukanlah suami orang lain. Tetapi didikan terhadap janin ku harus dimulai sejak dirinya masih dalam kandungan. Memikirkan itu kembali menimbulkan rasa kasihan dan enggan mengandung. Aku berada dalam rasa yang dipenuhi dilema. Perasaan baru ada sebuah janin yang tumbuh masih menimbulkan kekhawatiran tersendiri.Bahaya paparan bahan kimia yang mengancam janin ku selama masih bekerja di Pupuk Anumerta menjadi polemik baru. Aku tidak punya pilihan lagi selain harus menerima tawaran Ardhito berpindah ke Pupuk Indonesia. Sekalipun beban pekerjaan ku semakin besar, aku pikir inilah saatnya
Suara merdu lantunan ayat suci Al Qur'an masih menghiasi rumah sejak bada Isya cukup mengisi keheningan rumah. Sejenak ku rebahkan punggung ku di atas kursi sofa ruang tengah. Aku sudah banyak membaca artikel selama seharian ini hingga membuatku muak. Terlalu banyak hal yang mengubah tata hidup ku selama hamil. Belum lagi semua orang menjadi begitu perhatian membuatku seperti penderita penyakit berat stadium akhir saja.Bahkan Celine sampai datang ke rumah untuk membantu menyiapkan perlengkapan untuk ke luar kota sekaligus mengantarkan menuju bandara. Sama halnya dengan Ardhito yang memberikan jawaban sama untuk mengambil tugas sementara di Pupuk Indonesia menghindari paparan bahan kimia. Sekaligus proses pemindahan selama di Pupuk Indonesia.Yah.Pada akhirnya aku pun tidak punya pilihan. Hidup di pabrik dengan kebisingan sepanjang hari khawatir akan membahayakan kesehatan janin. Altezza juga tidak ingin diriku menghabiskan waktu kehamilan sendirian memaksa untuk kembali ke Jakarta.
Senyuman lebar Dirga masih belum mengendur sejak semalam. Berbeda dengan Bunda tidak hentinya mengomeli ku karena terlambat memberitahu. Azhara yang datang dengan perut buncit nya pagi ini turut mengucapkan selamat membuatku merasa ngeri. Masalahnya perempuan itu menjadi cukup pemarah. Entah berapa kali dirinya mengomeli Aditya."Kamu tuh harus mengurangi emosi, euy. Coba bicarakan baik-baik,"ucapku membuatnya menggeleng tidak setuju."Tidak bisa. Mas Aditya itu suka mengundang emosi, Git. Kamu tahu kemarin itu ku bilang suruh ambilkan jemuran malah dimasukkan ke dalam keranjang baju kotor. Belum lagi waktu diajak konsultasi ke dokter malah sibuk berbincang sampai akhirnya antreannya kelewatan,"ucap Azhara menggebu membuatku terdiam."Tetap saja kalau melahirkan kamu perlu dia disisinya. Dia masih bingung cara menjadi calon Ayah. Berbeda dengan Mas Dirga,"ucapku menjelaskan.Azhara hanya menghela nafas lelah menatap dua orang pria yang sedang berbincang di luar. Keduanya memang berbed
Rasa iri dengki memang seharusnya dihapuskan dalam segala urusan.Mungkin itulah kalimat pembuka yang bisa menggambarkan situasi saat ini. Kebahagiaan ku bisa kembali berkumpul dan menjalankan tugas menjadi istri prajurit malah membuat tubuhku terbaring di atas ranjang. Dokter meminta ku bedrest 2 hari di rumah sakit setelah kelelahan kemarin. Baru saja hendak berpamitan antar skuadron tubuh ku terasa lunglai dan terjatuh begitu saja. Tetapi makna kata iri dan dengki itu memang bukan hal yang salah. Setelah siuman dari pingsan, aku menemukan kabar perempuan gila hormat itu menyebarkan gosip diriku hamil tanpa kejelasan. Mengingat aku bekerja di pabrik semakin mendukung kata-katanya membuatku ingin mendorongnya dari prilling tower.Berita itu terus menjadi perbincangan hingga malam tiba membuatku ingin segera menemuinya. Apa dia pikir aku menjual diri di pabrik? Pencapaian yang tinggi di usia muda dan oleh seorang perempuan seolah menjadi kesalahan ku. Bahkan tidak jarang dikaitkan pad
Berbagai perlengkapan pria itu berangkat untuk urusan diluar kota telah lengkap di kopernya. Mengapa aku harus bermain jarak saat sedang hamil? Sepanjang malam aku hanya tersenyum kecil tidak banyak merespon. Dirga sudah sering melakukan perjalanan dinas sebelumnya. Tetapi hal yang membuatku khawatir adalah pria itu mengendarai pesawat. Bukannya aku tidak percaya padanya. Tetapi merasa kurang baik dengan kalimat akan membawa pasukan itu. Diluar catatan prestasinya, aku hanyalah orang awam yang khawatir mendengar pria itu akan melakukan penerbangan. Apalagi setelah mengalami turbulensi hingga membuatku kehilangan akal."Izin, Bu. Apa ada yang kurang benar dari pelaksanaan kantin digital ini?"tanya salah satu anggota Pia."Akh, ya. Maaf saya malah kurang fokus. Semuanya sudah berjalan dengan baik,"ucapku lupa sedang berada dalam pertemuan singkat.Aku belum bertemu pria itu lagi setelah usai sarapan. Sekarang jika ku pikirkan, akan lebih baik kalau kita berdua sama-sama bekerja. Aku fo
Mata ku melirik dirinya mengenakan seragamnya untuk dinas tengah berbincang beberapa saat bersama dengan rekan yang lain. Rasa takut dalam benak ku sedikit berkurang setelah berbincang dengan Azhara kemarin sore. Dirinya sendiri yang mengatakan tugas Dirga saat dinas tidak akan seberat anggota pasukannya. Tetapi tetap saja dia harus melindungi anggotanya.Pria itu tersenyum lebar begitu melihat ku menatapnya. Dirinya segera berlari membuatku tersenyum kecil. Kali ini dirinya tidak akan mengantar ku hingga keberangkatan. Dia akan sibuk dengan urusan penerbangannya sendiri. Terlebih dirinya yang mengendarai pesawat itu. Aku baru menyadari profesinya jauh lebih berbahaya dari tentara pada umumnya setelah dinas ini.Siapa yang akan menjamin selamat jika terjatuh dari ketinggian?"Sebentar, saya berkeringat,"ucapnya mengusap keringat yang menetes di wajahnya.Semenjak Dirga mengetahui kabar kehamilan ku, dia selalu menjaga kebersihan dalam semua hal. Dia berusaha menghindari menemui ku saa
Denting jam dinding seperti simfoni di tengah derasnya hujan. Kepala ku terasa berat setiap harinya mengetahui kondisi diri. Nova yang mengantarkan ku ke rumah sakit kala itu masih tetap memaksa untuk mengambil cuti. Sayangnya, aku masih belum punya alasan untuk itu. Aku tidak bisa memungkiri kenyataan kandungan ku lemah. Perubahan hormon begitu drastis memicu mimisan sesekali.Mual ku sudah tidak begitu parah hingga menyusahkan diri. Tetapi perut ini terasa semakin besar menyusahkan untuk tidur. Sesekali aku berusaha mengurangi jam kerja di malam hari. Nyatanya aku hanya bisa tidur di atas jam 12 malam. Satu-satunya hal yang membuatku khawatir adalah kondisi bayi di kandungan ku. Apakah dirinya akan baik-baik saja dengan perilaku ku?"Mbak, ini sudah larut malam,"ucap Celine mengingatkan untuk ke sekian kalinya."Aku sudah sempat tertidur. Lagipula ini sudah jam empat pagi,"ucapku.Dugaan kalian diriku tengah menikmati masa kehamilan di rumah sepenuhnya salah. Saat ini diriku masih b
Lantunan ayat suci Al Qur'an yang terdengar di kedua telinga begitu memasuki kompleks pesantren adalah sesuatu hal membahagiakan. Mobil ku hanya bisa memasuki bagian depan rumah kedua orang tua. Sebuah mobil sudah lebih dahulu memenuhi teras rumah membuatku menggenggam menahan kesal.Aku terpaksa harus menerjang hujan di jalanan dan mengabaikan kontrol kehamilan selepas pulang dari kerja. Jika saja yang memintanya Rania untuk hal lain bukanlah masalah. Sedangkan penyebab diriku harus sampai di tempat ini adalah Halimah yang tidak memiliki perasaan sudah melewati batasannya.Belum sempat beranjak masuk, aku memilih menyalakan perekam suara dan kamera tersembunyi untuk menghindari ada hal diluar dugaan. Setidaknya aku punya bukti untuk menjerat keduanya dan menjadikan senjata melawan ego bodohnya itu. Jika memang peduli bukan cuma peduli saat sudah dewasa. Dimana dia ketika anak itu menangis meminta ASI?"Assalamu'alaikum,"ucapku sedikit kaget begitu menatap banyaknya pria berjaga di pi
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah