Segarnya tubuh usai mandi memang tidak usah diragukan. Seharian bergelut dengan urusan baru membuatku berkeringat. Rambut pendek ku turut membantu lebih cepat beristirahat. Tapi berbicara tentang istirahat, mana mungkin aku beristirahat sedangkan pria itu belum kunjung kembali.Usai mengantar ku pergi potong rambut, katanya dia ingin melihat suasana skuadron sebentar. Tapi sudah setengah jam berlalu, apa semuanya baik-baik saja? Mengapa dirinya tidak segera kembali ke rumah? Apakah berjaga di skuadron di malam hari adalah sebuah hal normal?Enggan hanya duduk menunggu dan menerka, ku pakai setelan jaket panjang melindungi kulit dari dinginnya udara luar. Belum juga beranjak dari rumah seorang pria menghampiri ku."Bu Dirga mau kemana nih?"tanya Dirga membuatku berbalik masuk ke dalam rumah."Pulang. Tadi aku mau tidur tapi Anda belum pulang, Tuan,"ucapku beranjak."Kamu menunggu ku? Besok kamu kan harus terbang pagi-pagi,"ucap Dirga membuatku menatapnya kesal."Bukannya berjalan sejen
Jam di pergelangan tangan ku menunjukkan jam setengah dua belas malam. Shift ku baru saja selesai. Saat ini yang ku butuhkan hanyalah kasur dan segera tidur. Namun mendengar ponsel bergetar membuatku meliriknya sejenak.Tuan DirgaDua kata itu membuatku menggeser panggilan video sembari berbaring merasakan lelahnya tubuh. Kenapa pria itu belum tidur juga di jam segini? Apa dia baik-baik saja? Kenapa menghubungi ku?"Memangnya menghubungi istri perlu alasan?". Yeah, aku juga lupa sekarang kita berdua bukan orang asing. Pria itu terlihat berada di jalan sembari berjalan kaki menuju rumah. Wajahnya itu kenapa terlihat tampan saat di ponsel. Apa dia menggunakan efek? Atau efek seharian ini, aku tidak melihatnya sama sekali?"Kenapa belum tidur? Besok harus bekerja,"ucapku."Hei, kamu juga masih terjaga,"."Aku kan mengambil dua shift,"ucapku meluruskan kaki.Aku hanya semakin tua saja dari hari ke hari. Seharian bekerja membuat punggung dan kaki terasa pegal. Biasanya aku tidak akan mera
Tubuh lelah setelah seharian bekerja membuatku bersandar pada kursi tempat ku duduk dengan nyaman. Membiarkan pesawat membawa ku bertemu dengan kekasih tersayang. Meskipun bolak-balik seperti ini akan menyusahkan, tidak ada pilihan lain."Selamat malam, Bu Dirga".Kalimat cengengesan itu membuatku membuka mata melirik Azhara bergabung dengan ku. "Tumben istri durjana pulang,"ucapku heran."Hei, Ibu. Saya kan anggota Ibu yang paling setia ikut pertemuan. Pasti saya akan datang seperti yang Ibu agenda kan,"ucap Azhara."Bisakah kamu memanggil ku Git saja, Dek Aditya?"tanyaku sebal mendengar dirinya terus menerus memanggil ku Bu.Memang aku sudah tidak lagi muda. Tapi panggilan Bu itu masih mengganggu bagi ku. Kecuali Rania. Dia pengecualian bagi ku. Selain itu, aku tetaplah Dyah Gita yang keras kepala dengan banyak pesona."Dibandingkan Mas Aditya, Pak Dirga lebih kasihan. Dia cuma berbuka puasa di ujung minggu,"ucap Azhara membuatku tersenyum kecil.Jangankan di ujung minggu, pria itu
Bunyi musik keroncong mengisi seluruh penjuru ruangan. Sementara menemani pria itu menyambut pagi, aku membawa teko berisi teh hangat. Tentu saja dengan gula lebih sedikit. Satu hal yang sama di antara kita selain keras kepala itu ketidaksukaan terhadap gula."Jembatan merah itu bukannya Gesang ya penyanyinya,"ucapku mendengar larik lagu yang di putar."Memang. Tapi saya lebih suka versi Dewi Yull,"ucap Dirga menyesap teh fokus dengan bacaan.Anggap saja saat ini aku menjilat ludah sendiri. Saat aku begitu merasa Dirga sangat lawas dan ketinggalan jaman malah membuatku menjadi istrinya. Sekarang, semua hal lawas yang dia lakukan adalah candu. Dia bukannya ketinggalan jaman tapi antik. Di dunia model yang begitu marak menampilkan tampilan modis tidak merubah gaya rambutnya. Apalagi saat di rumah hanya mengenakan kaus dan sarung disertai peci hitam membuatnya terlihat berkharisma. Meskipun begitu, saat di luar dia seperti pemuda umumnya."Tuan, apa membaca koran lebih menarik daripada
Gerimis yang turun di kota Jakarta tidak membuat sepasang insan berbeda usia itu lantas berdiam di balik selimut. Sebuah koper besar yang berdiri di depan pintu sudah menjawab pertanyaan yang tersemat dalam benak. "Mas, nggak mau cireng?"tanyaku setengah berteriak.Entah kemana perginya pria itu. Tamu bulanan yang datang tidak tepat membuatnya hanya tersenyum sabar. Mengganti kekecewaan yang ada padanya, tangan ku menjadi gatal memasak mengenyangkan perutnya. "Boleh. Dek, ayo nonton film,"ajak Dirga membuatku menaikkan sebelah mata."Yakin ngajak aku? Aku selalu ketiduran setiap nonton, loh,"ucapku meniriskan cireng ditemani bumbu pedas kuah pempek dari Bu Gading tadi sore.Terlalu sayang kalau dibuang. Terlebih Dirga terlihat menyukai makanan itu. Aku pernah diberi tahu Ibu tentang cara membuat suami betah di rumah. Salah satunya mengenyangkan perutnya. Sebenarnya tanpa menggunakan cara itu, jika istri pertamanya tidak memanggil dia akan berada di rumah sepanjang hari."Nggak papa.
Bandara sepertinya akan selalu menjadi teman baik pertemuan dan perpisahan. Aku kali ini setuju dengan kalimat itu. Selain itu dibandingkan di rumah pernikahan, lebih banyak ciuman yang tulus di bandara. Semua kalimat itu terasa benar sekarang.Saat di rumah aku malu untuk memeluknya mesra. Apalagi ada ajudan yang siap berjaga di rumah semakin membuatku menjaga jarak. Namun saat akan berpisah, tanpa malu dan peduli dengan sekitar malah mencium Dirga. Tentu saja di tempat tersembunyi mengingat saat ini aku bukan perempuan bebas.Tatapan mata Dirga yang begitu lekat sembari mengusap bibirnya membuatku memalingkan wajah menahan malu. Bagaimana cara mengawetkan rasa agar saat pulang aku tidak seperti kehilangan nafsu padanya. Setiap kali di rumah aku seolah tidak punya nafsu.Sedangkan setelah mau berpisah seolah semuanya harus ku ungkapkan sampai tidak peduli dengan norma masyarakat. Sangat munafik sekali kalau dipikir. Beberapa saat lalu ada sepasang kekasih meminta izin menikah yang ku
Riuh seluruh penjuru lantai departemen Laboratorium begitu menggema. Aku tahu pasti ini ide konyol Celine membuat acara penyambutan seolah aku baru saja kembali dari berjuang saja. Sudah lama aku tidak lagi menginjakkan kaki di departemen ini membuatku merasa riskan."Selamat datang, Bu Anggita. Kami sekarang sudah bisa memanggil Anda begitu, bukan,"ucap Celine memakaikan karangan bunga di iringi tepuk tangan meriah."Hei. Apa kamu pikir aku mau mati dengan memberi karangan bunga? Yang benar saja kalian ini. Lebih baik kalian kembali pada pekerjaan masing-masing,"ucapku disiplin seperti biasa.Sontak kalimat ku membuat seluruh karyawan dan karyawati yang tadinya begitu antusias mendadak pucat. Ada raut takut dan segan yang tiba-tiba timbul di wajah mereka. Terlebih Celine sampai menelan ludah kasar tidak bisa banyak berkata-kata."Ada yang salah dari kalimat saya? Saya sekarang tetap General Manager Departemen Laboratorium. Jadi, jangan coba berpikir saya akan bersikap lunak. Sebagai
Suasana senja yang terpancar jelas dari celah korden. Sama seperti botol air minum yang menyisakan seperempat isinya. Sudah 3 jam berlalu sejak usai dengan pekerjaan. Akh, tidak. 3 jam kemudian juga termasuk pekerjaan yang belum kunjung usai."Saya pikir hanya itu saja yang perlu di koreksi dari departemen laboratorium. Dengan perubahan struktural rasanya agak aneh kalau mengatakan laboratorium menjadi sebuah departemen,"ucapku mematikan tablet.Berbagai kertas kerja terlalu berserakan di atas meja. Beruntung Celine cukup cekatan merapikan kekacauan. Tidak butuh waktu lama baginya menyusun semua file sesuai pada tempatnya untuk memudahkan ku mencari. Dhito tersenyum kecil membuatku menatapnya heran."Apa ada yang salah?"tanyaku penasaran."Tidak. Pemegang saham banyak yang merekomendasikanmu untuk mengambil tempat pada posisi direktur riset. Pasti riset di perusahaan akan semakin meningkat,"ucap Dhito."Saya tidak akan mampu membawa bagian sebesar bagian riset. Lagipula selama ini say
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah