Home / Romansa / Munajat Perawan Tua / Bab 40 : Kontrak

Share

Bab 40 : Kontrak

last update Last Updated: 2023-10-03 17:40:11

Bandara sepertinya akan selalu menjadi teman baik pertemuan dan perpisahan. Aku kali ini setuju dengan kalimat itu. Selain itu dibandingkan di rumah pernikahan, lebih banyak ciuman yang tulus di bandara. Semua kalimat itu terasa benar sekarang.

Saat di rumah aku malu untuk memeluknya mesra. Apalagi ada ajudan yang siap berjaga di rumah semakin membuatku menjaga jarak. Namun saat akan berpisah, tanpa malu dan peduli dengan sekitar malah mencium Dirga. Tentu saja di tempat tersembunyi mengingat saat ini aku bukan perempuan bebas.

Tatapan mata Dirga yang begitu lekat sembari mengusap bibirnya membuatku memalingkan wajah menahan malu. Bagaimana cara mengawetkan rasa agar saat pulang aku tidak seperti kehilangan nafsu padanya. Setiap kali di rumah aku seolah tidak punya nafsu.

Sedangkan setelah mau berpisah seolah semuanya harus ku ungkapkan sampai tidak peduli dengan norma masyarakat. Sangat munafik sekali kalau dipikir. Beberapa saat lalu ada sepasang kekasih meminta izin menikah yang ku
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Munajat Perawan Tua    Bab 41 : Perihal GERD

    Riuh seluruh penjuru lantai departemen Laboratorium begitu menggema. Aku tahu pasti ini ide konyol Celine membuat acara penyambutan seolah aku baru saja kembali dari berjuang saja. Sudah lama aku tidak lagi menginjakkan kaki di departemen ini membuatku merasa riskan."Selamat datang, Bu Anggita. Kami sekarang sudah bisa memanggil Anda begitu, bukan,"ucap Celine memakaikan karangan bunga di iringi tepuk tangan meriah."Hei. Apa kamu pikir aku mau mati dengan memberi karangan bunga? Yang benar saja kalian ini. Lebih baik kalian kembali pada pekerjaan masing-masing,"ucapku disiplin seperti biasa.Sontak kalimat ku membuat seluruh karyawan dan karyawati yang tadinya begitu antusias mendadak pucat. Ada raut takut dan segan yang tiba-tiba timbul di wajah mereka. Terlebih Celine sampai menelan ludah kasar tidak bisa banyak berkata-kata."Ada yang salah dari kalimat saya? Saya sekarang tetap General Manager Departemen Laboratorium. Jadi, jangan coba berpikir saya akan bersikap lunak. Sebagai

    Last Updated : 2023-10-03
  • Munajat Perawan Tua    Bab 42 : Profesional

    Suasana senja yang terpancar jelas dari celah korden. Sama seperti botol air minum yang menyisakan seperempat isinya. Sudah 3 jam berlalu sejak usai dengan pekerjaan. Akh, tidak. 3 jam kemudian juga termasuk pekerjaan yang belum kunjung usai."Saya pikir hanya itu saja yang perlu di koreksi dari departemen laboratorium. Dengan perubahan struktural rasanya agak aneh kalau mengatakan laboratorium menjadi sebuah departemen,"ucapku mematikan tablet.Berbagai kertas kerja terlalu berserakan di atas meja. Beruntung Celine cukup cekatan merapikan kekacauan. Tidak butuh waktu lama baginya menyusun semua file sesuai pada tempatnya untuk memudahkan ku mencari. Dhito tersenyum kecil membuatku menatapnya heran."Apa ada yang salah?"tanyaku penasaran."Tidak. Pemegang saham banyak yang merekomendasikanmu untuk mengambil tempat pada posisi direktur riset. Pasti riset di perusahaan akan semakin meningkat,"ucap Dhito."Saya tidak akan mampu membawa bagian sebesar bagian riset. Lagipula selama ini say

    Last Updated : 2023-10-03
  • Munajat Perawan Tua    Bab 43 : Cedera

    Berbagai jenis laporan yang kian menumpuk entah mengapa membuat kepala ku terasa berdenyut. Biasanya diriku akan merasa baik-baik saja menghabiskan seharian dengan pekerjaan. Bagaimanapun bentuknya, aku termasuk manusia pecinta kerja. Lantas dengan alasan apa yang membuatku merasa jenuh.Mataku melirik sejenak menatap potret kala pernikahan ku mengenakan kebaya senada dengan beskap milik Dirga. Tak lupa putri manis ku berada di tengah kami. Aku jadi teringat dengan pesan kedua orang dalam foto itu. Semalam Rania memberitahu dirinya tidak sabar menunggu akhir pekan. Berbeda dengan Ayahnya tengah asyik di mabuk rindu.Padahal bukan dirinya saja yang mengenggam rindu itu. Aku pun berada di sisi lainnya hanya malu untuk mengutarakan secara langsung. Pria itu tengah sibuk dengan istri pertamanya yang baru saja tiba dari Iswahyudi, Madiun. Jika saja ada cuti, mungkin sempat menjadi tempat bersua antara menantu dan mertua.Sayangnya nasi telah menjadi bubur sejak awal. Tidak ada pilihan sela

    Last Updated : 2023-10-03
  • Munajat Perawan Tua    Bab 44 : Berteduh

    Dentuman palu seirama dengan bunyi ketikan keyboard. Meskipun aku memutuskan mengambil cuti, tidak mungkin melepas tanggung jawab begitu saja terhadap beberapa berkas yang belum sempat terselesaikan. Aku mengambil cuti demi mengurus suami tercinta.Sayangnya pria itu tidak bisa berhenti untuk tetap duduk diam. Disini lah aku berakhir dengan kacamata anti radiasi masih bertengger di mata berkacak pinggang melihat pria yang berambut cepak itu asyik bertukang.Beberapa menit lalu dirinya bertengger di atas tangga memperbaiki atap. Sekarang dirinya malah berpindah ke samping rumah menengok berbagai jenis tanaman miliknya tengah bermekaran. "Tuan, bisakah Anda duduk diam saja? Luka Anda masih basah,"ucapku menghela nafas lelah."Saya cuma mengganti paku yang sudah usang saja, Nona,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih palu di tangannya.Lagipula apa dirinya tidak berpikir luka di tubuhnya bukannya bisa segera sembuh dengan banyak pergerakan. Aku tahu, kegiatan bertanam adalah salah

    Last Updated : 2023-10-03
  • Munajat Perawan Tua    Bab 45 : Enggan

    Teriknya matahari seolah tidak ingin membagi awan untuk membuatku merasa teduh. Tepat 100 meter dari tempat ku berdiri, tampak seorang pria tengah sibuk mengurus istri pertamanya. Wajahnya yang begitu cerah membuatku tersenyum kecil. Entah bagaimana hidupnya selama profesinya memanggil. Setelah melalui malam yang panjang semalam, dengan melihat beberapa bekas luka membuat benakku tercubit. Terhitung sudah 5 bulan aku menjadi bagian dari hidupnya. Rupanya masih banyak hal yang belum ku pahami darinya. Rasanya aku menjadi merasa bersalah tidak mampu memenuhi posisi istri di keluarga yang dirinya bangun.Namun begitu, pria itu masih berlaku adil padahal rasanya tidak adil dari sisi manapun. Belum lagi, bagaimana Ibu menceritakan Rania yang selalu membanggakan diriku. Padahal tidak sedikitpun aku mendidiknya. Mungkin hal ini bagian dari efek samping percintaan semalam.Aku bisa merasakan suasana sekitar yang begitu hampa. Beberapa hari tinggal bersamanya membuatku cukup mengerti. Tujuan

    Last Updated : 2023-10-03
  • Munajat Perawan Tua    Bab 46 : Tersisih

    Suara musik yang mengalun memenuhi CR-V hitam kesayangan ku tidak hentinya membuat gejolak di kepala terasa damai. Sejenak berhenti di kediaman Ashana membuatku kian terhimpit ke dalam jurang ketakutan. Meskipun fakta itu pernah disampaikan Dirga, aku masih berharap semua hal terbaik untuknya.Pertemuan singkat dengan Ashana seolah telah disiapkan Allah untuk ku. Melihat petarung lautan itu akhirnya berhenti dan menjadi Ibu rumah tangga menggugah sedikit rasa ketidaksesuaian di kepala. Terlebih setelah melihat kedua putranya begitu patuh membuatku ingin angkat tangan.Melahirkan seorang anak bukan hanya tentang finansial melainkan mengenai bagaimana mendidik seumur hidup. Rencana untuk segera memiliki keturunan kian terasa gamang. Selama ini aku hidup begitu keras seperti dunia membentuk ku. Pelajaran dari ku tidak akan sebaik mereka yang sudah mempersiapkan diri menjadi seorang Ibu.Bahkan aku memasrahkan pendidikan putri ku ke pesantren kedua orang tua. Keduanya jauh lebih bisa mend

    Last Updated : 2023-10-03
  • Munajat Perawan Tua    Bab 47 : Celah

    "Bun. Maafkan Rania sudah merepotkan Bunda lagi".Entah berapa kali kalimat itu harus terdengar di telinga. Apa dirinya tidak mengerti bagaimana dia itu berharga dan bukanlah orang asing antara satu sama lain. Bibirku sudah lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang kali hanya memutar bola mata malas.Dirga mungkin sering menekan dirinya sampai begitu tidak enak hati untuk semua hal termasuk padaku. Padahal beberapa barang memiliki batas kelayakan. Melihat Rania memakai pakaian baru yang jauh lebih layak itu membuatnya terlihat lebih anggun. "Bun. Rania boleh pinjam Hp? Mau telfon Ayah".Akh.Entah mengapa, aku masih kurang senang mendengar kalimat berbicara dengan Ayah. Aku saja belum memberinya kabar apapun lagi sejak terakhir kali menghubunginya. Lagian bukannya menyadari malah menganggap kesalahan yang biasa. Enggan meninggalkan jejak pikiran untuk Rania, segera ku angsurkan ponsel membiarkannya waktu menghubungi Ayah tercinta.Sejenak mataku melirik beberapa orang yang t

    Last Updated : 2023-10-04
  • Munajat Perawan Tua    Bab 48 : Titik Balik

    Berbagai catatan kemajuan produk tidak bisa berhenti begitu saja di departemen ini. Bahkan Celine sampai mengikat rambutnya asal pertanda dirinya mulai lelah. Demi mengejar cuti selama dua hari, aku memaksa diri melewati malam di rumah dinas untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal yang ku kerjakan selama seminggu dipangkas menjadi beberapa semalam.Mataku mencoba tetap kuat menyelesaikan draf terakhir rekomendasi produk. Aku sudah tidak bisa banyak berkata-kata mengenai tulang punggung yang mulai kram semenjak beberapa waktu terus berdiri."Pak Dirga tahu tentang ini, Bu?"tanya Celine membuatku menaruh telunjuk di atas bibir."Dia sudah terlalu banyak pekerjaan sebagai komandan untuk skuadron. Sekarang saatnya aku menunaikan tugas sebagai Ibu, Celine,"ucapku."Benar, Bu. Masalah ini harus segera mendapatkan titik temu. Oiya, Pak Dhito tampaknya merasa kaget setelah mendapatkan email beruntun,"ucap Celine membuatku terkekeh geli.Kisah percintaan ku dengannya sudah kandas sejak perbedaan la

    Last Updated : 2023-10-04

Latest chapter

  • Munajat Perawan Tua    Epilog

    Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan

  • Munajat Perawan Tua    Bab 71 : Koyo Jogja Istimewa

    Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b

  • Munajat Perawan Tua    Bab 70 : Bakti Ksatria

    Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka

  • Munajat Perawan Tua    Bab 69 : Menata Rumah

    Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.

  • Munajat Perawan Tua    Bab 68 : Merenda Asmara

    Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku

  • Munajat Perawan Tua    Bab 67 : Rumah baru

    Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba

  • Munajat Perawan Tua    Bab 66 : Tekad Gita

    Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala

  • Munajat Perawan Tua    Bab 65 : Kembali ke Jakarta

    Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan

  • Munajat Perawan Tua    Bab 64 : Berbenah

    Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah

DMCA.com Protection Status