Suara musik yang mengalun memenuhi CR-V hitam kesayangan ku tidak hentinya membuat gejolak di kepala terasa damai. Sejenak berhenti di kediaman Ashana membuatku kian terhimpit ke dalam jurang ketakutan. Meskipun fakta itu pernah disampaikan Dirga, aku masih berharap semua hal terbaik untuknya.Pertemuan singkat dengan Ashana seolah telah disiapkan Allah untuk ku. Melihat petarung lautan itu akhirnya berhenti dan menjadi Ibu rumah tangga menggugah sedikit rasa ketidaksesuaian di kepala. Terlebih setelah melihat kedua putranya begitu patuh membuatku ingin angkat tangan.Melahirkan seorang anak bukan hanya tentang finansial melainkan mengenai bagaimana mendidik seumur hidup. Rencana untuk segera memiliki keturunan kian terasa gamang. Selama ini aku hidup begitu keras seperti dunia membentuk ku. Pelajaran dari ku tidak akan sebaik mereka yang sudah mempersiapkan diri menjadi seorang Ibu.Bahkan aku memasrahkan pendidikan putri ku ke pesantren kedua orang tua. Keduanya jauh lebih bisa mend
"Bun. Maafkan Rania sudah merepotkan Bunda lagi".Entah berapa kali kalimat itu harus terdengar di telinga. Apa dirinya tidak mengerti bagaimana dia itu berharga dan bukanlah orang asing antara satu sama lain. Bibirku sudah lelah untuk menjawab pertanyaan yang sama berulang kali hanya memutar bola mata malas.Dirga mungkin sering menekan dirinya sampai begitu tidak enak hati untuk semua hal termasuk padaku. Padahal beberapa barang memiliki batas kelayakan. Melihat Rania memakai pakaian baru yang jauh lebih layak itu membuatnya terlihat lebih anggun. "Bun. Rania boleh pinjam Hp? Mau telfon Ayah".Akh.Entah mengapa, aku masih kurang senang mendengar kalimat berbicara dengan Ayah. Aku saja belum memberinya kabar apapun lagi sejak terakhir kali menghubunginya. Lagian bukannya menyadari malah menganggap kesalahan yang biasa. Enggan meninggalkan jejak pikiran untuk Rania, segera ku angsurkan ponsel membiarkannya waktu menghubungi Ayah tercinta.Sejenak mataku melirik beberapa orang yang t
Berbagai catatan kemajuan produk tidak bisa berhenti begitu saja di departemen ini. Bahkan Celine sampai mengikat rambutnya asal pertanda dirinya mulai lelah. Demi mengejar cuti selama dua hari, aku memaksa diri melewati malam di rumah dinas untuk menyelesaikan pekerjaan. Hal yang ku kerjakan selama seminggu dipangkas menjadi beberapa semalam.Mataku mencoba tetap kuat menyelesaikan draf terakhir rekomendasi produk. Aku sudah tidak bisa banyak berkata-kata mengenai tulang punggung yang mulai kram semenjak beberapa waktu terus berdiri."Pak Dirga tahu tentang ini, Bu?"tanya Celine membuatku menaruh telunjuk di atas bibir."Dia sudah terlalu banyak pekerjaan sebagai komandan untuk skuadron. Sekarang saatnya aku menunaikan tugas sebagai Ibu, Celine,"ucapku."Benar, Bu. Masalah ini harus segera mendapatkan titik temu. Oiya, Pak Dhito tampaknya merasa kaget setelah mendapatkan email beruntun,"ucap Celine membuatku terkekeh geli.Kisah percintaan ku dengannya sudah kandas sejak perbedaan la
Suasana malam di kota Jakarta tidak pernah usai dari keramaian seperti ramainya jalanan yang terlihat dari balik tebalnya kaca kamar hotel. Masalah Rania akan selesai sebentar lagi tanpa perlu membawa nama Dirga. Aku dengan diriku sendiri pun bisa menyelesaikan masalah tidak peduli latar belakang para perempuan itu. Perlahan ku langkahkan kaki melewati koridor hotel berjalan menuju lift. Rasanya benakku sudah tidak lagi bisa bersabar mendengar kalimat pembelaan dengan sedikit tekanan dan kedua alis menukik. Telinga ku mungkin akan sedikit pengar setelah ini. Ting Baru saja lift terbuka menampilkan wajah seorang pria yang sangat familiar bagi ku. Bibir ku terkatup erat tidak bisa berkata-kata melihat tatapan datar tanpa berusaha beranjak dari lift."Mas Dirga,"ucapku kaget bukan kepalang. Tanpa perlu menjawab, Dirga meraih kartu di tangan ku seraya menarik paksa menjauh dari lift. Pria itu menarik ku memasuki salah satu kamar hotel. Baru saja aku ingin mendengar kesaksian para pere
Nafas ku tidak berhenti berdegup kencang menatap pemandangan di bawah sana. Entah bagaimana dengan bodohnya tidak sempat mengatur tempat duduk dan berada tepat di sebelah jendela. Keringat dingin mengucur deras membasahi pelipis ku sejak setengah jam yang lalu. "Apa ada yang membuatmu cemas, Dek?"tanya Dirga membuatku mendongak seraya menggeleng.Sepertinya kalau menyatakan pada Dirga diriku takut duduk di dekat jendela pesawat terlalu memalukan. Pria itu bahkan terbiasa melakukan manuver di angkasa seorang diri tanpa gentar. Entah bagaimana cara ku untuk tetap diam dan tertidur tanpa berpikir tengah melawan ketakutan yang mendera."Bicaralah,"ucap Dirga menggenggam tangan ku."Saya takut duduk di dekat jendela, Mas,"ucapku lirih memalingkan wajah."Saya tidak bermaksud mempermalukan dengan tingkah kekanakan. Maaf, Mas. Saya baik-baik saja,"ucapku cepat sebelum bibirnya terbuka.Dirga menghela nafas pelan disertai dengan kekehan kecil. Pria itu mengusap kepala ku sembari menunjuk ke
Temaram lampu baca membuatku tidak berhenti membaca sebuah buku di atas nakas. Entah kemana perginya Dirga hingga sekarang belum kunjung masuk ke dalam kamar. Tidak mungkin aku meninggalkannya tidur lebih dahulu. Jenuh terus menerus menunggu, perlahan ku langkahkan kaki beranjak keluar.Canda tawa renyah yang terdengar dari depan televisi membuatku segera bergabung. Rupanya kedua insan itu tengah asyik menikmati sajian drama komedi di televisi. Dirga yang melihatku segera menarik lengan bergabung bersamanya. "Pasti televisimu hanya sebagai pajangan rumah ini saja, kan,"ucap Dirga membuatku mengangguk pelan."Kenapa tidak bilang mau menonton?"tanyaku mengambil biskuit di atas meja."Rania tadi ke kamar Bunda. Tapi sedang di kamar mandi. Jadi, Rania kembali lagi,"ucap Rania membuatku mengangguk mengerti.Mataku menatap drama komedi di televisi hanya bisa menghela nafas pelan. Apa yang lucu dari tontonan ini? Atau dalam hidup ini aku terlalu serius sampai tidak pernah mengalami hal kony
Tepukan lembut di bagian pipi membuat kedua mataku lantas terbuka. Dirga masih betah memelukku pagi ini. Bibirku tersungging melihat pemandangan yang selalu menjadi mimpi bagiku tersaji di depan mata. Biasanya antara aku dan dirinya bangun masing-masing sibuk mempersiapkan hari."Saya sudah meluangkan waktu untuk berjumpa. Apakah saya bisa mengajak bertemu di hari libur nasional di Madiun?"tanya Dirga mengemukakan kembali idenya semalam.Pria itu ingin mengadakan perjumpaan keluarga untuk menghibur ku. Tapi bagiku pertemuan itu bukan hanya sebuah momen formalitas. Sejak menikah, aku belum pernah berbakti pada kedua mertua dan hanya saat itulah bisa bertemu Rania lagi. Aku dan Dirga akhirnya sepakat memberitahu Rania informasi itu tanpa perantara orang lain.Fakta memang lebih menyakitkan dari khayalan. Tetapi semua hal itu akan lebih baik dinyatakan sejak awal sebelum Rania beranjak dewasa. Perubahan emosional anak-anak ketika mendapati sesuatu yang mengerikan seperti itu bisa memicu
Kopi hitam di atas meja entah berapa kali sudah diganti menunjukkan betapa sulitnya problematik yang tengah dijalani. Pasca kebocoran pipa dan membutuhkan waktu lama untuk melakukan maintenance, Altezza memutuskan untuk menggunakan suplai energi sementara dari perusahaan utilitas sekitar.Tingginya kadar deposit yang terkandung pada pipa sudah membuktikan perlunya regenerasi unit demineralisasi. Sepertinya itu pun bukan kesalahan dari para operator. Melainkan kondisi alam yang semakin ekstrem memberikan perubahan dari waktu ke waktu. Alat yang dibuat manusia tidak akan mampu menangkal aktivitas itu."Izin menanggapi sekaligus bertanya. Apakah normal jika ada resin yang terlarut didalam pipa? Maksudnya kita tahu bersama seharusnya resin itu tidak terlarut kesana,"ucapku melihat hasil analisa laboratorium."Kebocoran demineralisasi. Sepertinya unit dengan kode 312-DA itu perlu diganti Pak Altezza. Mengingat beberapa waktu sebelumnya terdapat laporan serupa,"ucap beberapa suara menanggap
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah