Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, Daisy masih tetidur pulas di sofa sambil meringkuk di balik selimut. Aku tidak tega membangunkannya. Dia semalaman ada di ruangan ini bersamaku, dengan embel-embel menjagaku. Meski sebenarnya jadi sebaliknya, aku lah yang menjaga Daisy sepanjang malam. Tapi tidak masalah, melihat dia ada di dekatku saja membuatku merasa nyaman.
"Pagi Tuan Drew." Dokter tiba-tiba membuka pintu ruanganku sambil menyapa dengan suara keras.
"Ssshh!" Aku buru-buru meminta Dokter untuk diam.
"Sorry, aku tidak tahu." Suara Dokter itu berubah menjadi pelan sambil menatap Daisy sekilas. "Aku ingin memerika kondisimu lagi." Dokter berjalan semakin mendekatiku dan menempelkan stetoskopnya di dadaku. "Melihat hasil pemeriksaan terakhir, kau sudah di perbolehkan pulang hari ini," ujar Dokter tersebut yang membuat hatiku senang.
"Alexa bagaimana?" aku bertanya.
"Dia masih harus dirawat untuk beberapa hari kedepan. Mengin
"Bukankah kita sudah diperbolehkan pulang hari ini?" ia membalas tatapanku penuh keyakinan.Aku mengerutkan dahi. Bukankah Daisy sejak tadi tertidur pulas? Lantas, darimana dia tahu kalau aku akan pulang hari ini. Atau jangan-jangan, dia hanya pura-pura tidur sejak tadi."Kau sudah terbangun sejak tadi?""Hmm....""Kau mendengar kalimatku?""Kalimat yang mana?""Saat aku berbisik di telingamu.""Oh, saat kau bilang ingin bunuh diri jika aku menolak cintamu?""Shit!"***Di sepanjang perjalanan pulang selama berada di mobil, aku hanya bisa merutuki diriku sendiri karena sudah mengungkapkan hal yang terlalu dramatis di depan Daisy. Mungkin, Daisy akan berpikir kalau aku ini berlebihan atau gila."Daisy ...." aku memberanikan diri memulai percakapan setelah cukup lama kami hanya saling diam."Ya?" Daisy menoleh ke arahku."Kau bisa masak, kan?""Um...." Daisy memutar bola mata. "T
"Um...." Daisy memutar bola matanya. "Sayangnya, aku juga tidak ingin punya hubungan main-main dengan lelaki. Jadi, aku akan menolak cintamu. Maaf, Drew ....""Apa?""Kecuali ....""Kecuali apa?""Kecuali kau berniat ingin melakukan hubungan yang lebih serius lagi denganku.""Maksudnya?""Menikah."Aku mundur selangkah. Tubuhku mendadak menjadi kaku, dan mulutku terkatub rapat. Menikah? Bahkan aku belum memikirkan hal itu sama sekali. Memangnya apa enaknya menikah, sih? Lihat saja Alexa dan Andreas. Hidupnya terlalu terikat. Alexa selalu melarang Andreas pergi kemana pun yang Andreas senang. Hah, pasti terasa membosankan jika harus menikah."Kenapa?" kedua alis Daisy terangkat."Aku belum siap." Lalu, aku berbalik badan dan kembali duduk di kursi.Daisy menghela napas. "Kalau begitu, kau tidak perlu menaruh perasaan lebih padaku. Karena aku tidak ingin dijadikan sebagai mainan."Aku tidak pernah memperlakuk
"Aku tidak akan menikah, Iren.""Kau masih tidak bisa melupakan Alice?"Aku berhenti mencuci mukaku dan menatap cermin. Menatap bayanganku sendiri yang terlihat sangat bodoh. Ketika nama wanita itu terucap lagi, entah mengapa hatiku rasanya sangat sakit."Jangan menyebut nama dia lagi. Dia sudah mati di dalam hidupku!""Ayolah Drew, kau harus bisa bertarung dengan masalalu dan melangkah menuju masa depan. Sudah seharusnya kau melupakan Alice dan hidup seperti manusia normal pada umumnya.""Hei, aku tahu kau adalah temanku. Tapi, bukan berarti kau tahu segalanya tentangku. Dari mana kau tahu aku ini belum bisa melupakan wanita jalang itu.""Aku ini seorang psikolog, kau lupa?"Aku diam, kembali mengambil ponselku dari meja wastafel dan berjalan keluar dari toilet."Jika kau sungguh-sungguh mencintai Daisy, tunjukan padanya. Kau harus bisa membuktikan ketulusan dari cintamu itu. Lagipula. Daisy wanita yang baik, Drew ... dia tida
"Dimana Daisy?" Aku menarik kera baju Kent. "Dimana kau menyembunyikan Daisy?""Aku tidak akan memberitahumu, Hahaha!""Sialan kau, Kent." Aku meraba ponselku di saku celana, tetapi tidak ada. Aku menatap ke belakang dan melihat ponselku ada di atas meja.Sebelum aku berlari mengambil ponselku, aku merasakan sesuatu yang memukul punggungku sangat keras hingga aku terjatuh dan tidak melihat apapun lagi selain gelap.***Aku membuka mata perlahan dan melihat Sarah ada di atas kepalaku. Aku berusaha untuk bangkit dari tidur meski kepala masih terasa pusing.Sarah membantuku duduk di sofa. Aku melihat ke sekeliling dan bersyukur karena aku masih ada di kantorku."Apa yang terjadi?" Aku bertanya pada Sarah yang menyodorkan segelas air putih."Maaf Pak, saya melihat Anda terbaring di lantai dan saya langsung memanggil security untuk membantu saya membawa tubuh Anda ke sofa. Saya tidak tahu harus menghubungi siapa, Pak. Tapi, saya sud
"Robert." Nama itu terlintas di kepalaku karena aku meminta Robert untuk mengawasinya. "Boleh aku pinjam ponsel?" aku menatap Ayah.Ayah langsung menyodorkan ponsel padaku, dan aku segera menghubungi Robert.Robert langsung menerima panggilanku pada dering pertama. "Dimana kau sekarang?""Aku sedang ada di rumah, Pak," jawab Robert."Apa kau mengawasi Daisy saat pulang kemarin?""Ya, aku mengawasinya sampai ke tempat tujuan, Pak. Kemudian aku melihat Iren masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu, aku pulang. Karena aku pikir Nona Daisy akan aman berada di rumah. Sudah ada dua pengawal di rumahnya, Pak." Hening sejenak. "Apa ada masalah?""Tidak." Aku memutuskan sambungan, kemudian menghubungi Evans."Dreww...." suara Evans terdengar sangat panik di seberang sana. "Aku menghubungimu berulang kali, tapi nomormu tidak aktif.""Ponselku dicuri." Aku nyaris menahan napas."Astagaa ....""Apa yang terjadi sebenarnya? Kent m
"Apa Carrie ada di sana bersamamu?" aku pikir dia menghubungi baby sitter Carrie.Aku tidak bisa mendengar apapun, tapi aku bisa melihat raut wajah Andreas berubah. Lalu, ia membanting ponselnya dan berteriak."Aaaah!!!""Kent meminta tebusan sebesar lima milyar dan memberi kita waktu selama satu jam," kataku pada Andreas.Ia hanya menatapku dengan napas memburu kesal. Lalu ia mengepalkan kedua tangannya. "Jika terjadi sesuatu dengan anakku, laki-laki bajingan itu tidak akan aku biarkan hidup!""Apa kita harus mentransfer uangnya?""Tidak. Kau jangan mudah terpancing. Itu hanya ancaman awal dari Kent. Setelah kita berhasil transfer uang padanya, ia tetap akan memeras kita sampai kita jatuh miskin," jelas Andreas yang jauh lebih berpengalaman dibandingkan aku."Untuk saat ini, kau tidak boleh memberitahu siapapun tentang hilangnya Carrie. Termasuk Alexa. Aku tidak ingin kondisinya semakin memburuk.""Aku tidak akan memberitahu A
"Itu Nella. Mantan teman kencanku. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa berhubungan dengan Kent.""Bagaimana kesan terakhirmu bertemu dengan Nella?""Aku ...." Aku menatap Andreas ragu, "Aku meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan.""Nella ingin balas dendam denganmu," kata Andreas yang membuat aku merinding."Pak, aku menemukan posisi mereka." Damian tiba-tiba bicara, aku dan Andreas kembali fokus pada layar komputer."Dimana itu?""Gedung tua," kataku. "Itu gedung tua milik Ayah yang belum sempat dibangun karena mengalami bangkrut pada saat itu. Dan, aku pernah membawa Nella ke sana.""Apa yang kau lakukan di sana bersama Nella?" Andreas menatapku curiga."Um, yah, kau taulah.""Dasar bodoh! Memangnya kau tidak punya tempat lain? Kau tidak mampu bayar hotel?""Sorry." Aku harus menahan rasa malu di depan Andreas. Jangan sampai dia mengadu pada Alexa. Bisa-bisa, Alexa akan meledekku habis-habisan.
“Jangaaan!” Aku berteriak lagi. “Oke, aku akan menandatangani kontrak itu.”Aku menyerah. Lebih baik, aku kehilangan harta dan jabatanku daripada harus kehilangan Daisy dan juga Carrie.Ponselku tiba-tiba saja berdering. Nama Rehan muncul di layar ponselku.“Pak, kami sudah menemukan Daisy dan juga Carrie.”Aku mengerutkan dahi dan menatap gudang di sudut.“Kau yakin?”“Mereka menyembunyikannya di rumah Nella. Dan polisi sudah mengepung gedung tua itu.”Aku menatap ke sekliling. Aku tidak menemukan siapapun. Tapi, aku melihat ada kilatan cahaya seperti dari sniper.
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal
“Daisy?”Aku menatap wanita di hadapannya sekali lagi. Memperhatikan lekat-lekat dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia menggunakan seragam sama persis seperti yang digunakan oleh para pelanar yang duduk di lobby tadi.“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyaku untuk memastikan.Sepertinya, Daisy juga belum sadar dengan kehadiranku di depannya. Karena dia begitu terkejut.“Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di sini, Drew?”“Aku meeting dengan klienku. Mereka pemilik perusahaan ini.”“Apa?” Daisy menutup mulutnya dengan tangan. “Jangan bilang kalah kau—“ aku menggaruk alisku sejenak. “Kau melamar pekerjaan di sini?”Daisy diam sambil menundukkan kepalanya. Tanps perlu aku ketahui jawaban yang keluar dari mulut indah Diasy, aku sudah tahu jawabannya pasti “IYA”“Daisy….” Aku berusaha menelaah kata-kataku.“Sebentar, aku harus pergi ke toilet karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil.” Daisy pergi menuju toilet wanita.Aku tidak pergi dari tempat ini, dan tetap ingin
"Kasih aku waktu untuk berpikir ulang. Paling tidak satu minggu,” ujar Daisy."Satu Minggu? Kau gila!" Tentu saja aku yang bisa gila nantinya."Lima hari.""Tidak, tiga hari. Aku hanya ingin menunggu waktumu tiga hari. Aku menerima keputusanmu, apapun itu. Tapi dengan syarat, jangan larang aku untuk menemuimu. Dan membuatmu kembali mencintaiku."***Tiga hari?Daisy meminta waktu selama tiga hari lagi untuk berpikir.Itu maksudnya apa? Apakah dia bisa saja menolakku sewaktu-waktu?Ah, aku tidak habis pikir dengan Daisy.Mengapa bisa dia membuatku jadi segila ini!“Permisi, Pak.”Sofie melongokan kepalanya di depan pintu ruangan kantorku.Kalian belum tahu, ya? Kalau aku mengganti sekretarisku lagi.Iya, kakinya jenjang seperti yang lain. kecuali Daisy. Cukup Daisy saja yang berkaki pendek, agar aku tetap bisa mengingat; kalau Daisy adalah sekretaris yang berhasil bikin aku jatuh cinta.Kalian bertanya-tanya dimana sekretarisku yang lama? Sarah? Dia sudah aku pecat karena membuat Alice
"Drew, maafkan aku sudah tidak mempercayaimu." Alexa menghampiriku ketika mereka semua keluar dari rumahku.Aku tidak ingin melihat Alice lagi di hidupku. Untuk itu, aku ingin Rehan membawa mereka jauh-jauh. Dan memberikan mereka sejumlah uang untuk hidup lebih layak. Aku begini, hanya karena kasian dengan Kezie."Sudah aku bilang, seharusnya kau mempercayaiku." Aku menyipitkan mata tajam pada si cerewet yang selalu saja memarahiku."Ibu juga minta maaf, karena menyalahkanmu telah menelantarkan Kezie. Ternyata, dia bukan darah dagingmu." Ibu memelukku, bersama dengan Ayah.Sedangkan Daisy sejak tadi, di sepanjang kejadian hanya diam seribu bahasa. Dia tidak bisa berkata apapun. Mungkin karena merasa bersalah telah menuduhku."Kau tidak minta maaf padaku?"Aku menyindirnya.Dia masih diam."Seharusnya kau minta maaf." Aku sindir kembali."Baiklah." Daisy menghela napas. "Aku minta maaf.""Minta maaf yang tulus, don