Kent membawa aku dan Daisy ke sebuah hotel unik yang langsung menghadap ke arah pantai. Namanya Hotel Kents, salah satu aset property milik The Kents, perusahaan yang kini sedang dikelola oleh Kent sendiri. Setiap kamar dari hotel tersebut memiliki design ruangan yang berbentuk bulat seperti bola dan dilapisi dengan dinding kaca.
Aku terkagum-kagum melihat design bangunan dari kamar hotel tersebut.
“Ideku,” kata Kent seolah membaca isi kepalaku. “Bagaimana menurutmu, Daisy?” Ia justru bertanya pada Daisy.
“Luar biasa.” Daisy juga ikut terkagum-kagum.
“Aku mengambil dua kamar. Karena kau wanita, kau boleh memilih terlebih dahulu, kamar mana yang kau mau.”
Aku menyipitkan mat
"Maukah kau menemaniku malam ini?" Daisy menatap manik mataku lekat-lekat. Aku menelan ludah, saat menatap matanya, hidungnya, dan juga bibirnya. "Maukah kau menemaniku malam ini, Drew?" Daisy menyentuh bulu-bulu halus di bagian daguku. Berhasil membuatku bergidik, dan tergoda. "Drew ...." Suara Daisy terdengar serak. Ia menarik kepalaku semakin mendekat ke arahnya. Aku nyaris hilang akal dan ingin merasakan sentuhannya malam itu. Namun, berselang beberapa detik, Daisy langsung muntah di hadapanku. Sampai mengenai wajah dan bajuku. Sial! "Huweeek! Huweeel!" Sial! Sial! Sial! "Hei ...." Aku refleks mundur dan turun dari kasurnya. "Apa-apaan kau ini!" Saat aku hampir memakinya, Daisy sudah memejamkan mata dan tertidur pulas. Aku mengerang kesal, sekaligus merasa bersyukur karena aku tidak kalap malam ini. *** To: Daisy Aku tunggu kau sarapan di restaurant hotel, sekarang!
Aku makan di salah satu restoran yang jaraknya tak jauh dari hotelku. Kali ini aku makan sendirian, karena Daisy pergi dengan si brengsek Kent. Ah, sudahlah, aku tidak peduli dan tidak mau memikirkan hal bodoh itu. Toh, bukan urusanku.Tetapi sepertinya pikiranku berbanding terbalik. Kepalaku terus dipenuhi dengan sosok Daisy, dan apa yang dia lakukan dengan si brengsek Kent."Hai ...."Aku mendongak saat mendengar suara wanita yang tiba-tiba saja duduk di depanku."Maaf, aku duduk di sini karena aku lihat kursimu kosong," kata wanita itu sambil memutar-putar rambutnya dengan jari. "Kau hanya sendiri?"Aku mencondongkan wajah sambil tersenyum dan bermaksud untuk menggodanya. Karena aku sudah paham permainan yang dilakukan wanita-wanita seperti ini. Dia pasti ingin aku masuk ke dalam perangkapnya, dan dia mendapatkan uang dariku."Menurutmu?" Aku mengeluarkan jurus senyuman maut."Ya ...." ia tampak tersipu."Kau ingin menemanik
Aku berusaha mencari villa Kent dengan caraku sendiri. Aku meminta bantuan Rehan, mata-mataku sekaligus pencari informasi terhandal. Aku membayar Rehan mahal untuk pekerjana ini. Dan terbukti, dalam waktu lima belas menit, aku sudah mendapatkan detail tempat tinggal Kent beserta peta jalannya.Villa tempat tinggal Kent dikelilingi dengan pepohonan yang membuat Villa tersebut tersembunyi. Halaman villanya sangat luas, aku naik taxi hanya sampai depan gerbang saja. Selanjutnya aku berjalan kaki mencapai rumahnya. Gelap dan dingin, aku bisa merasakan suasana horor di villa tersebut, dan aku yakin kalau Daisy sangat ketakutan berada di sana.Aku tidak masuk lewat pintu depan dan tidak akan menekan bel. Sama artinya aku bunuh diri. Aku mendendap-endap dan masuk melalui jendela samping. Aku berhasil membobol jendelanya dengan pisau gunting kuku yang aku temui di koperku. Aku memang selalu membawa gunting kuku kemanapun aku pergi. Karena memiliki kuku panjang membuatku risih.
Aku terjaga dari tidurku sambil menyesap secangkir kopi. Mataku terus terpaku pada sosok Daisy yang tertidur pulas di atas kasur kamar hotelku. Sesekali Daisy meracau akibat mimpi buruk yang terus melanda sejak kejadian yang menimpanya tadi."Aaah, tidak!" Daisy kembali berteriak. Sekarang sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Aku beranjak dari kursi dan lompat ke atas kasur. "Daisy, tenang. Tidak ada yang mengganggumu ...." aku mengusap lembut kepala Daisy."Jangan ... tolong jangan bunuh aku." Kepala Daisy bergerak ke kiri dan kanan secara cepat."Hei ... tenang ... tidak apa-apa." Aku menyentuh wajahnya dengan telapak tanganku. Lantas dia membuka mata dengan lebar dan sedikit melompat terkejut saat melihatku."Aah!""Hei, ini aku. Drew ...," kataku penuh kelembutan.Daisy menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Apa yang kau lakukan?""Aku ingin menjagamu, kau akan aman bersamaku.""Kita ..." Daisy menatap ke arah sekit
"Hei ...." aku menyapanya. Aku mulai duduk bersila di depan Daisy."Daisy, ini aku." Aku menyentuh pundaknya.Daisy langsung memukul pundakku. Matanya melotot."Jangan sentuh aku!" Daisy berteriak."Jangan sentuh akuuu!!!" Daisy berteriak histeris dan menangis.Karena langsung masuk kembali ke kamar Daisy."Drew, ada apa?" tanya Kareen panik."Aku tidak tahu." Aku juga ikutan panik. Terutama saat Daisy menutup kedua telinganya sambil berteriak kencang."Pergi dari sini, jangan ganggu aku! Tolong ... Tolong ....'""Hei, tenanglah. Ini aku, Drew." Aku berusaha menyentuh kedua pundaknya. Tapi ia justru menendangku. Dan membuatku tersungkur ke lantai."Aw.""Pergi, jangan sentuh aku!"Aku tidak menyerah dan terus mendekatinya. "Daisy, sadarlah. Sadar!" Aku membentak Daisy dan menggoncang pundaknya. Aku menyentuh wajahnya agar berhadapan denganku. "Aku Drew, aku akan melindungimu."Daisy menatapku dengan m
"Drew ...." Daisy menatapku lagi, sambil menangis."Tidak apa-apa, aku di sini bersamamu, Daisy.""Drew ... dia menghubungiku," ujar Daisy."Siapa?""Kent."Aku, Kareen dan Evans saling bertatapan cukup lama."Boleh pinjam ponselmu?" aku kembali menatap Daisy dengan lembut.Daisy mengangguk, dan mengulurkan ponselnya padaku.Lantas aku berdiri dan berbisik di telinga Kareen. "Tolong kau jaga Daisy. Aku ingin menelepon seseorang di luar.""Baik," jawab Kareen sambil mengangguk.Kemudian aku keluar dari rumah mereka dan duduk di teras depan sambil menghubungi kembali seseorang yang mengaku sebagai Kent dari ponsel Daisy. Tapi, sayangnya nomor itu tidak aktif lagi. Lalu aku menghubungi Rehan."Siap, Pak?" Rehan menjawab setelah kami terhubung."Bukankah Kent di penjara? Aku menyuruhmu untuk memasukkan bajingan itu ke dalam penjara!" aku berseru kencang."Maaf, Pak. Tapi, aku juga baru dapat kabar kalau K
"Sepertinya, aku mencintaimu," kataku to the point dan langsung mencium bibirnya. Daisy tidak melawan. Ia justru memelukku dengan erat dan hangat. Sampai akhirnya, pintu kamar terbuka dan Iren muncul di depan pintu. Ia menjatuhkan tasnya ke lantai. "Ups, maaf aku mengganggu waktu kalian." Daisy langsung mendorong tubuhku dan membuatku terjatuh ke lantai. "Ouch!" aku meringis kesakitan. Ah, sial! "Apa aku mengganggu waktu kalian?" Iren kembali memastikan. "Tidak, aku akan segera pergi." Aku buru-buru bangkit dari lantai dan merapikan pakaianku kembali."Aku pergi dulu." Aku menatap Daisy yang terdiam kaku di kasur. "Aku pergi ...." kenapa aku jadi salah tingkah? "Baiklah, aku pergi ...." "Drew!" Iren berkacak pinggang. "Kau sudah pamitan dengan kami seribu kali. Sekarang, kau bisa benar-benar pergi dari sini. Karena aku dan Daisy butuh waktu hanya berdua saja." "Oke, baiklah. Aku pergi." Akhirnya aku bena
"Ya ...," aku menyahut panggilan dari Rehan."Aku punya kabar buruk," gumam Rehan yang bikin keningku berkerut."Apa maksudmu?""Kent ...." Rehan tiba-tiba diam."Kenapa Kent? Apa yang terjadi dengan pria bajingan itu?""Aku dapat kabar kalau dia ada di sini, di kota ini.""Apa?""Ya, dia ada di sini ....""Kau yakin?""Aku sudah pastikan semuanya." Mendengar suara Rehan, aku percaya kalau Rehan tidak membohongiku. Dan, aku yakin kalau keadaan sedang tidak baik-baik saja saat ini.Bisa saja, Kent sengaja datang ke sini untuk mencelakai Daisy atau aku. Dan aku harus lebih bisa mengawasi Daisy. Terlebih, kesehatan mental yang dialami Daisy masih belum sembuh total."Dreew!!" Alexa kembali mengetuk pintu kamarku. "Kau pingsan ya di dalam."Aku memutuskan sambungan telepon dengan Rehan dan segera keluar dari kamar menghampiri Nenek Lampir.***"Hai Aunty, apakah Aunty sakit?" Carie langsung
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal
“Daisy?”Aku menatap wanita di hadapannya sekali lagi. Memperhatikan lekat-lekat dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia menggunakan seragam sama persis seperti yang digunakan oleh para pelanar yang duduk di lobby tadi.“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyaku untuk memastikan.Sepertinya, Daisy juga belum sadar dengan kehadiranku di depannya. Karena dia begitu terkejut.“Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di sini, Drew?”“Aku meeting dengan klienku. Mereka pemilik perusahaan ini.”“Apa?” Daisy menutup mulutnya dengan tangan. “Jangan bilang kalah kau—“ aku menggaruk alisku sejenak. “Kau melamar pekerjaan di sini?”Daisy diam sambil menundukkan kepalanya. Tanps perlu aku ketahui jawaban yang keluar dari mulut indah Diasy, aku sudah tahu jawabannya pasti “IYA”“Daisy….” Aku berusaha menelaah kata-kataku.“Sebentar, aku harus pergi ke toilet karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil.” Daisy pergi menuju toilet wanita.Aku tidak pergi dari tempat ini, dan tetap ingin
"Kasih aku waktu untuk berpikir ulang. Paling tidak satu minggu,” ujar Daisy."Satu Minggu? Kau gila!" Tentu saja aku yang bisa gila nantinya."Lima hari.""Tidak, tiga hari. Aku hanya ingin menunggu waktumu tiga hari. Aku menerima keputusanmu, apapun itu. Tapi dengan syarat, jangan larang aku untuk menemuimu. Dan membuatmu kembali mencintaiku."***Tiga hari?Daisy meminta waktu selama tiga hari lagi untuk berpikir.Itu maksudnya apa? Apakah dia bisa saja menolakku sewaktu-waktu?Ah, aku tidak habis pikir dengan Daisy.Mengapa bisa dia membuatku jadi segila ini!“Permisi, Pak.”Sofie melongokan kepalanya di depan pintu ruangan kantorku.Kalian belum tahu, ya? Kalau aku mengganti sekretarisku lagi.Iya, kakinya jenjang seperti yang lain. kecuali Daisy. Cukup Daisy saja yang berkaki pendek, agar aku tetap bisa mengingat; kalau Daisy adalah sekretaris yang berhasil bikin aku jatuh cinta.Kalian bertanya-tanya dimana sekretarisku yang lama? Sarah? Dia sudah aku pecat karena membuat Alice
"Drew, maafkan aku sudah tidak mempercayaimu." Alexa menghampiriku ketika mereka semua keluar dari rumahku.Aku tidak ingin melihat Alice lagi di hidupku. Untuk itu, aku ingin Rehan membawa mereka jauh-jauh. Dan memberikan mereka sejumlah uang untuk hidup lebih layak. Aku begini, hanya karena kasian dengan Kezie."Sudah aku bilang, seharusnya kau mempercayaiku." Aku menyipitkan mata tajam pada si cerewet yang selalu saja memarahiku."Ibu juga minta maaf, karena menyalahkanmu telah menelantarkan Kezie. Ternyata, dia bukan darah dagingmu." Ibu memelukku, bersama dengan Ayah.Sedangkan Daisy sejak tadi, di sepanjang kejadian hanya diam seribu bahasa. Dia tidak bisa berkata apapun. Mungkin karena merasa bersalah telah menuduhku."Kau tidak minta maaf padaku?"Aku menyindirnya.Dia masih diam."Seharusnya kau minta maaf." Aku sindir kembali."Baiklah." Daisy menghela napas. "Aku minta maaf.""Minta maaf yang tulus, don