Adriana keluar dari lift dan melenggang dengan percaya diri seperti biasanya. Tubuh ramping dan indahnya menarik banyak pasang mata pria yang lewat untuk sekadar memperhatikannya.
Ia begitu bersinar dengan aura kuat seorang wanita dewasa. Walau ia mengenakan blazer dan setelan formal, semua tampak begitu mempesona di tubuhnya. Bahkan, setelan yang biasanya tampak membosankan itu, malah berefek sebaliknya. Ia tampak elegan dengan aura keseksiannya yang begitu memancar.
Adriana melepas kacamata hitamnya saat ia sampai di ruangan kaca, persis di depan pintu masuk kantor Nick. Ia mengangkat sebelah alisnya saat menangkap sosok pria itu tengah mengobrol sembari tertawa ceria dikelilingi oleh beberapa pegawai wanita yang juga sedang tersenyum lebar padanya.
"Ck, kau sedang bersenang-senang rupanya," gumamnya perlahan sambil melenggang masuk dengan santai.
Kedatangan Adriana yang tampak mencolok itu tak ayal menarik perhatian Nick dan para pegawai wanitanya.
Adriana dan Nick sedang menunggu detik-detik pintu lift apartemen terbuka dengan tak sabar saat mereka hendak menuju ke kediaman Nick. Mereka berdiri berjajar di belakang beberapa orang yang akan menggunakan lift yang sama juga. Mereka berdua saling bergandengan tangan dengan erat. Diam-diam mereka saling bergiliran meremas dan menekan jari masing-masing yang saling bertaut dengan lembut. Seperti layaknya remaja yang sedang kasmaran, mereka saling melirik dan melempar senyum setelah mencuri-curi pandang di dalam lift yang hampir penuh. Sesampainya mereka ke dalam apartemen Nick, seperti yang memang mereka inginkan, mereka segera saling memagut dengan panas dan melampiaskan hasrat yang belum tersalurkan dengan tidak sabaran. "Apa ... hh ... kau sudah berubah pikiran?" Adriana bertanya dan mendesah di sela-sela cumbuan Nick. "Menurutmu, Sayang?" Kali ini Nick menjelajahi leher Adriana dengan liar. Ia membimbing Adriana untuk menuju ke dalam kama
"Syukurlah hasil pemeriksaanmu berangsur membaik, Dean," ucap Sherly sembari menuangkan teh hangat ke dalam cangkir teh miliknya. Dean dan Sherly saat ini sedang berada di halaman belakang dan sedang menikmati waktu luang sore hari mereka. Mereka duduk berjajar dalam satu kursi taman yang panjang di bawah pohon rindang sejuk dan pemandangan berbagai macam bunga, serta tanaman sebagai teman mereka. "Ya, Sayang, aku sudah semakin pulih," ucapnya bersemangat. Dean kemudian menatap Sherly sejenak dengan sedikit heran. "Bukankah, sepertinya hari ini kau sudah terlalu banyak memakan keju?" tanyanya. "Ya, kau benar," jawab Sherly sambil mengangguk mengiyakan. "Oh, ya ampun, Sayang." Dean sedikit tersenyum saat melihat Sherly menyantap lagi untuk kesekian kalinya biskuit asin kering dengan lembaran kecil keju di dalamnya. "Oh, ini sangat enak Dean, aku bahkan tidak bisa berhenti untuk terus mengunyahnya. Camilan ini juga dapat mengurangi rasa mualku."
Sudah dua minggu yang lalu sejak Adriana dan Nick mengundang Dean dan Sherly ke acara pernikahan mereka. Sekarang, di sinilah mereka berada. Di tempat resepsi pernikahan dua sejoli instant tersebut berlangsung. "Ck, tak kusangka mereka mendahului kita," Dean bergumam seolah kesal. Sherly bersandar pada bahu Dean dan mengusap-usapnya perlahan. "Sudahlah, akan tiba giliran untuk kita nanti. Bersabarlah setelah semua keadaan membaik." "Ya, Sayang. Sebenarnya, aku tidak benar-benar merasa iri, karena kita sudah memiliki sesuatu yang lebih berharga dan besar jika dibandingkan dengan sekadar resepsi pernikahan, bukan?" ucap Dean lagi. Dean mengelus-elus dengan mesra perut membuncit Sherly yang ada di sampingnya. Tatapan Dean meneduh dan senyumnya mengembang setiap kali ia mengusap perut istri yang dicintainya, yang sedang mengandung buah hati mereka itu. Setiap hari Dean merasa takjub dengan perubahan perut Sherly yang semakin membuncit seiring dengan pertu
"Bolehkah nanti aku makan siang dengan Adriana, Sayang?" tanya Sherly saat ia mengantar Dean ke kamarnya setelah mereka sarapan bersama. "Apa harus di Lovely Restaurant?" tanya Dean lagi untuk memastikan yang kesekian kalinya lagi. "Aku dapat meminta chef di tempat itu jika kau memang sedang menginginkan masakannya, Sayang," ucap Dean. "Aku hanya ingin berada di sana. Restoran itu terlihat sangat nyaman, feminin dan aku tertarik dengan salah satu menunya. Itu restoran yang imut yang pantas untuk dikunjungi para wanita. Bahkan sedang populer di media sosial sekarang." Sherly merajuk dengan memasang wajah cemberutnya. "Aku sendiri pun dapat membuatkan hidangan apa pun yang kau mau, kau tahu itu bukan, Sayang?" ucap Dean. "Ya, aku tahu kau adalah chef tertampan dan terbaik yang mampu membuat hidangan apa pun," balas Sherly lagi sambil memuji Dean. "Tapi ... Sayang, aku hanya ingin sesekali keluar dan mengobrol dengan teman wanitaku karena aku sedang mera
Para penculik membawa Sherly ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Setelah sampai ia keluar dengan tenang dan mengikuti para penculik itu tanpa ragu. Mereka membawa Sherly masuk ke dalam rumah dengan halaman yang sudah tak tertata. Seperti rumah lama yang sudah terbengkalai. Selama para penculik membawa dirinya, ia selalu melindungi perutnya dan mengusap-usap lembut seolah ingin menenangkan bayi yang dikandungnya maupun dirinya sendiri. Seperti dugaannya, Vivian telah duduk dan menunggu di dalam dengan wajah penuh kepuasan. Tampak tiga orang pria berjaga di samping kanan kirinya. "Ah, akhirnya kau datang juga!" Ia tersenyum melihat kedatangan Sherly yang diapit oleh anak buah suruhannya. Para pengawal dan penculik yang menguntit Sherly segera mengelilinginya. Dengan sekali tarikan, Sherly dipaksa duduk di sebuah kursi kayu yang telah disiapkan mereka. Dengan sigap mereka mulai mengikat tangan dan kaki Sherly. "Apa yang kau lakuk
Kilas balik setelah penculikan Sherly di dalam mobil... "Adriana disini, segera kirim bantuan, Sherly diculik! Bergerak tim! Sekarang juga!" Adriana menekan tombol lainnya setelah ia memerintahkan timnya untuk bergerak. Ia menelepon seseorang. "Dean! Maaf, aku harus memberimu kabar buruk. Sherly diculik! Aku rasa Vivian dalang dibalik semua ini. Tapi kau tak perlu khawatir, aku telah meminta bantuan tim! Dan Sherly membawa alat pelacak dan perekamku bersamanya! Seharusnya ia dapat ditemukan dengan mudah!" Adriana mulai berteriak karena panik. "Tenanglah Adriana, bernapaslah perlahan. Kau yang harus tenang, oke? Aku sudah tahu tentang penculikan Sherly." Suara Dean yang tak tampak terkejut di seberang sana membuat Adriana heran. "A ... apa? Apa maksudmu?" tanyanya. "Aku tahu ini akan terjadi lagi. Aku sudah memiliki rencanaku sendiri di belakang kalian, tanpa kalian sadari." "Maksudmu apa?!" tanya Adriana lagi karena frustas
Vivian yang berteriak histeris melotot ke arah Sherly dengan tatapan bingung dan terkejut. Ia sama sekali tidak menduga apa pun. "KAU!! Apa yang telah kau rencanakan?!" teriaknya dengan wajah mengerikan. Vivian menuding Sherly dengan mata membulatnya. Saat ia menghambur ke arahnya dan hendak melayangkan pukulan, tangannya tiba-tiba terhenti karena seseorang mencekalnya. "Jangan pernah sekali-sekali pun berpikir untuk menyakiti istriku, Vivian." Dean yang tiba-tiba menampakkan diri di hadapan Vivian, semakin menambah keterkejutannya berlipat-lipat. Vivian semakin shock. "Aku yang merencanakan semua ini, dan akulah yang telah menjebakmu. Kau sudah tak dapat melakukan apa pun sekarang. Lebih baik kau menyerah saja, Vivian," lanjut Dean. "Apa kau bilang?!" Vivian menepis tangan Dean dengan kasar. Ia menatap tajam ke sekelilingnya. Puluhan polisi dan para bodyguard sudah mengepungnya. Vivian bahkan tak bisa menemukan celah sedikit pun untuk kabur. Ia mulai
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters