"Syukurlah hasil pemeriksaanmu berangsur membaik, Dean," ucap Sherly sembari menuangkan teh hangat ke dalam cangkir teh miliknya.
Dean dan Sherly saat ini sedang berada di halaman belakang dan sedang menikmati waktu luang sore hari mereka. Mereka duduk berjajar dalam satu kursi taman yang panjang di bawah pohon rindang sejuk dan pemandangan berbagai macam bunga, serta tanaman sebagai teman mereka.
"Ya, Sayang, aku sudah semakin pulih," ucapnya bersemangat. Dean kemudian menatap Sherly sejenak dengan sedikit heran. "Bukankah, sepertinya hari ini kau sudah terlalu banyak memakan keju?" tanyanya.
"Ya, kau benar," jawab Sherly sambil mengangguk mengiyakan.
"Oh, ya ampun, Sayang." Dean sedikit tersenyum saat melihat Sherly menyantap lagi untuk kesekian kalinya biskuit asin kering dengan lembaran kecil keju di dalamnya.
"Oh, ini sangat enak Dean, aku bahkan tidak bisa berhenti untuk terus mengunyahnya. Camilan ini juga dapat mengurangi rasa mualku."
Sudah dua minggu yang lalu sejak Adriana dan Nick mengundang Dean dan Sherly ke acara pernikahan mereka. Sekarang, di sinilah mereka berada. Di tempat resepsi pernikahan dua sejoli instant tersebut berlangsung. "Ck, tak kusangka mereka mendahului kita," Dean bergumam seolah kesal. Sherly bersandar pada bahu Dean dan mengusap-usapnya perlahan. "Sudahlah, akan tiba giliran untuk kita nanti. Bersabarlah setelah semua keadaan membaik." "Ya, Sayang. Sebenarnya, aku tidak benar-benar merasa iri, karena kita sudah memiliki sesuatu yang lebih berharga dan besar jika dibandingkan dengan sekadar resepsi pernikahan, bukan?" ucap Dean lagi. Dean mengelus-elus dengan mesra perut membuncit Sherly yang ada di sampingnya. Tatapan Dean meneduh dan senyumnya mengembang setiap kali ia mengusap perut istri yang dicintainya, yang sedang mengandung buah hati mereka itu. Setiap hari Dean merasa takjub dengan perubahan perut Sherly yang semakin membuncit seiring dengan pertu
"Bolehkah nanti aku makan siang dengan Adriana, Sayang?" tanya Sherly saat ia mengantar Dean ke kamarnya setelah mereka sarapan bersama. "Apa harus di Lovely Restaurant?" tanya Dean lagi untuk memastikan yang kesekian kalinya lagi. "Aku dapat meminta chef di tempat itu jika kau memang sedang menginginkan masakannya, Sayang," ucap Dean. "Aku hanya ingin berada di sana. Restoran itu terlihat sangat nyaman, feminin dan aku tertarik dengan salah satu menunya. Itu restoran yang imut yang pantas untuk dikunjungi para wanita. Bahkan sedang populer di media sosial sekarang." Sherly merajuk dengan memasang wajah cemberutnya. "Aku sendiri pun dapat membuatkan hidangan apa pun yang kau mau, kau tahu itu bukan, Sayang?" ucap Dean. "Ya, aku tahu kau adalah chef tertampan dan terbaik yang mampu membuat hidangan apa pun," balas Sherly lagi sambil memuji Dean. "Tapi ... Sayang, aku hanya ingin sesekali keluar dan mengobrol dengan teman wanitaku karena aku sedang mera
Para penculik membawa Sherly ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Setelah sampai ia keluar dengan tenang dan mengikuti para penculik itu tanpa ragu. Mereka membawa Sherly masuk ke dalam rumah dengan halaman yang sudah tak tertata. Seperti rumah lama yang sudah terbengkalai. Selama para penculik membawa dirinya, ia selalu melindungi perutnya dan mengusap-usap lembut seolah ingin menenangkan bayi yang dikandungnya maupun dirinya sendiri. Seperti dugaannya, Vivian telah duduk dan menunggu di dalam dengan wajah penuh kepuasan. Tampak tiga orang pria berjaga di samping kanan kirinya. "Ah, akhirnya kau datang juga!" Ia tersenyum melihat kedatangan Sherly yang diapit oleh anak buah suruhannya. Para pengawal dan penculik yang menguntit Sherly segera mengelilinginya. Dengan sekali tarikan, Sherly dipaksa duduk di sebuah kursi kayu yang telah disiapkan mereka. Dengan sigap mereka mulai mengikat tangan dan kaki Sherly. "Apa yang kau lakuk
Kilas balik setelah penculikan Sherly di dalam mobil... "Adriana disini, segera kirim bantuan, Sherly diculik! Bergerak tim! Sekarang juga!" Adriana menekan tombol lainnya setelah ia memerintahkan timnya untuk bergerak. Ia menelepon seseorang. "Dean! Maaf, aku harus memberimu kabar buruk. Sherly diculik! Aku rasa Vivian dalang dibalik semua ini. Tapi kau tak perlu khawatir, aku telah meminta bantuan tim! Dan Sherly membawa alat pelacak dan perekamku bersamanya! Seharusnya ia dapat ditemukan dengan mudah!" Adriana mulai berteriak karena panik. "Tenanglah Adriana, bernapaslah perlahan. Kau yang harus tenang, oke? Aku sudah tahu tentang penculikan Sherly." Suara Dean yang tak tampak terkejut di seberang sana membuat Adriana heran. "A ... apa? Apa maksudmu?" tanyanya. "Aku tahu ini akan terjadi lagi. Aku sudah memiliki rencanaku sendiri di belakang kalian, tanpa kalian sadari." "Maksudmu apa?!" tanya Adriana lagi karena frustas
Vivian yang berteriak histeris melotot ke arah Sherly dengan tatapan bingung dan terkejut. Ia sama sekali tidak menduga apa pun. "KAU!! Apa yang telah kau rencanakan?!" teriaknya dengan wajah mengerikan. Vivian menuding Sherly dengan mata membulatnya. Saat ia menghambur ke arahnya dan hendak melayangkan pukulan, tangannya tiba-tiba terhenti karena seseorang mencekalnya. "Jangan pernah sekali-sekali pun berpikir untuk menyakiti istriku, Vivian." Dean yang tiba-tiba menampakkan diri di hadapan Vivian, semakin menambah keterkejutannya berlipat-lipat. Vivian semakin shock. "Aku yang merencanakan semua ini, dan akulah yang telah menjebakmu. Kau sudah tak dapat melakukan apa pun sekarang. Lebih baik kau menyerah saja, Vivian," lanjut Dean. "Apa kau bilang?!" Vivian menepis tangan Dean dengan kasar. Ia menatap tajam ke sekelilingnya. Puluhan polisi dan para bodyguard sudah mengepungnya. Vivian bahkan tak bisa menemukan celah sedikit pun untuk kabur. Ia mulai
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa