Antonio terkekeh puas mendengar teriakan Dean yang terdengar begitu murka. Ia menatap Sherly penuh arti sebelum akhirnya berkata lagi pada Dean. "Datanglah sendiri pada tempat yang akan kukirimkan lokasinya lewat ponselmu nanti," ucapnya memberi instruksi pada Dean.
"Oh, ya ... dan selagi kau datang mengunjungiku, bisakah kau suruh teman-teman kecilmu itu menjauh dari bisnisku, Dean? Karena mereka sepertinya akan menggangguku. Kau tentu bisa mengabulkan permintaan sederhanaku ini bukan?" lanjutnya.
"Kau sudah tak waras, Antonio!" geram Dean.
"Ck ... ck ... ck, tak perlu terlalu kasar padaku Dean. Ingat, Detektif tampan, Kau harus datang sendirian jika masih ingin melihat wanitamu," kekehnya penuh kepuasan.
"Di mana Sherly?! Katakan, bagaimana keadaannya??! Lihat saja kau, jika kau sampai berani menyentuhnya walau hanya seujung jarinya saja, kau akan KUBUNUH ANTONIO!! KAU DENGAR
"Max, Jim, dan Brad. Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan bukan?" Adriana mengenakan holster penyimpan pistolnya dengan sigap. Ia dan timnya telah bersiap malam ini untuk melakukan penyergapan. "Siap Chief, kami mengerti," jawab mereka serempak. "Kau tak apa sendirian, Chief?" tanya Max lagi. "Semakin sedikit semakin baik, Max. Aku hanya akan membawa dua anggota tim saja. Lagipula, aku sendiri tak ingin menggagalkan rencana Dean. Dan agar rencana ini berjalan sukses, bahkan Dean sendiri pun tidak boleh mengetahuinya. Tenang saja, aku akan berada pada jarak aman," jelasnya. "Dan kalian, sudah mengerti tugas kalian masing-masing bukan? Tolong dengsn sangat, usahakanlah agar misi penyergapan kita malam ini dapat berjalan senormal mungkin. Ingat, tetap biarkan Ferdinan berpikir ia yang memegang kendali." "Saat waktunya sudah tepat, lakukan saja sesuai dengan rencana kita sebelumnya. Ada nyawa anggota tim dan bahkan diri kita sendiri yang menj
Beberapa jam sebelum penyergapan... Adriana menatap laptopnya dengan cermat semua hasil rekaman CCTV yang berkaitan dengan penculikan Sherly. Ia menopang dagunya dan tampak sedang berpikir keras. Dalam rekaman CCTV tersebut, tampak sebuah mobil van hitam sedang berjaga dan dapat dipastikan selalu mengawasi pergerakan Sherly. Bahkan rekaman yang diambil Dean dari klinik saat mereka membawa paksa Sherly juga menampilkan mobil yang sama. Berkat laporan dan penyelidikan dari beberapa sumbernya, ia akhirnya dapat melacak keberadaan terakhir mobil hitam tersebut. Ia yakin di sanalah Sherly sedang disekap. Adriana meraih telepon dari meja kerjanya, ia memanggil Max, Jim, dan Brad untuk segera menghadap ke dalam ruangannya. Tak beberapa lama kemudian ketiga anggota timnya masuk. "Kemarilah, ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan kalian." Adriana menatap ketiganya dengan serius. Mereka berempat duduk saling berhadapan pada sofa yang berada
Dean menutup pintu mobilnya dengan keras saat ia sampai ke lokasi tujuan. Ia keluar dengan gagah dan menghadap pada satu-satunya bangunan yang berada di dalam hutan itu dengan tatapan membunuh. Bangunan yang memiliki lampu temaram itu cukup terlihat mencolok di tengah hutan lebat pada malam hari. Cahaya sinar bulan yang terang mempermudah Dean menemukan lokasi yang dituju. Walau terlihat seperti rumah tua, penerangan yang terpasang di sana cukup bagus hingga Dean tak tampak kesulitan menelisik keseluruhan bangunan. Kehadirannya di sana sudah disambut oleh beberapa anak buah Antonio yang sedang berjaga dan bersiap dengan memegang senjata mereka dengan waspada saat melihat Dean tiba. "Ikut kami," ucap salah seorang penjaga yang kemudian memberinya isyarat untuk mengikutinya. Dean melirik dan mempelajari setiap sudut bangunan secara waspada dan cermat. Ia dibawa ke dalam rumah itu dengan melewati beberapa kamar, ruang utama, dan sebuah ruangan di
Suasana kembali menegang saat Antonio mengacungkan pistolnya dengan tatapan meremehkan. "Tak ingin menepati janjimu, hah?" tanya Dean memecah keheningan. Sherly menahan napasnya dan berdoa sekuat tenaga agar dirinya dan Dean dapat keluar hidup-hidup dan selamat dari tempat ini. "Apa yang akan kau lakukan? Membunuh kami?" tantang Dean lagi dengan senyum sinis. "Jika itu yang kau minta, aku akan dengan senang hati mengabulkannya." Antonio mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Ini adalah hutan terpencil. Jika harus melenyapkan dan kemudian mengubur kalian tanpa jejak, akan mudah sekali kulakukan di sini." "Benarkah? Aku memiliki solusi yang lebih baik. Kalau begitu, bagaimana jika kita semua mati bersama saja di sini? Agar kita tidak saling merasa kesepian?" ucap Dean seolah mencibir Antonio. Dean serta merta mengeluarkan sebuah remote kecil dari balik jaket kulitnya yang sebelumnya tak terdeteksi oleh anak buah Antonio, karena memang
"CIIIITTTT.....!!!!" Rem berdecit kuat. Sherly dengan shock menatap dari dalam mobil. Ia dapat melihat Dean tengah berguling, sesaat setelah Antonio melepaskan tembakannya. Ia dengan gesit dapat menghindar dan berhasil lolos dari tembakan itu. Dean terlihat baik-baik saja, tetapi napas Sherly seketika harus berhenti karena serangan shock beruntun. Pasalnya, sejurus kemudian tiba-tiba saja beruntun tembakan terdengar saling bersahut-sahutan tak henti-hentinya! Ia membeku di kursi kemudi melihat semua baku tembak dan aksi mendebarkan dari balik kaca depan mobil yang tahu-tahu dimulai begitu saja. Ya, mobil Dean adalah mobil anti peluru. Sherly dapat tetap aman dengan berada di dalamnya tanpa terluka sedikit pun. Itulah sebabnya Dean memerintahkannya untuk tetap berada di dalam sana apa pun yang terjadi. Entah dari mana datangnya, di kanan dan kiri jendela samping mobilnya, tiba-tiba saja terlihat sosok Adriana muncul dengan dua anggota t
"DEAAAAAANNN ...!!!!!" raungnya pilu. Sherly terguncang. Dengan susah payah ia merangkak mendekati tubuh Dean dan berusaha untuk membaliknya. Dean tergeletak di atas tanah dengan kaus yang bersimbah darah dengan mata terpejam. Terlihat sebuah tembakan telah bersarang di perut sebelah kirinya setelah ia memasang badannya untuk melindungi Sherly. "Tidak ... tidak ... tidak!" teriak Sherly tak percaya. Ia menggeleng dengan keras. "Oh, Dean! Please! Bangunlah ... Dean!!! Bangunlahh!!" Sherly mulai berteriak-teriak lagi dan menangis. Entah sejak kapan, beberapa orang dengan gesit sudah menghampiri Sherly dan menahan kedua bahunya. Sherly begitu terguncang, ia meratap dan menangis menatap Dean yang tergeletak tak bergerak di hadapannya. Semua kekuatannya seolah lenyap. Tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Beberapa petugas ambulans yang bergerak bergerak cepat tiba-tiba datang dan dengan sigap mengangkat tubuh Dean ke atas brankar untu
Sherly memandang pilu dari balik kaca besar pembatas ruang perawatan intensif yang memisahkannya dengan lorong tunggu. Terlihat di sana Dean sedang berbaring di atas ranjang dengan berbagai alat bantu pernapasan dan monitor yang masih terhubung padanya. Sherly masih tak dapat mempercayai bahwa pria yang sedang berbaring tak sadarkan diri di dalam sana adalah Dean. "Bisakah aku masuk?" tanyanya pada Alfred. "Tentu saja, aku akan memanggil perawat." Alfred bergegas menuju meja jaga perawat. Seorang perawat hanya mempersilakan Sherly dan Joanna untuk masuk karena keterbatasan pengunjung untuk pasien perawatan intensif. Sherly tak kuasa menahan air matanya ketika mendekati ranjang Dean. Ia memejamkan matanya untuk menguatkan dirinya sendiri. Dengan dibantu Joanna, Sherly turun dari kursi rodanya. Dengan hati-hati dan perlahan Sherly meraih jemari Dean dan menggenggamnya. "Dean, Sayang bangunlah ...," lirihnya.
"Pria sensitif dan cengeng hah? Apa aku di matamu tampak seperti itu?" Nick menatap Adriana dengan serius saat mereka berada di dalam lift. "Ya. Kau memang seperti itu. Sangat sensitif dan cengeng. Bukankah dari awal memang seperti itu citra yang kau tunjukkan padaku?" "Tetap saja ... masa kau menyebutku ..." "Kau kikuk, gegabah, cengeng, emosional, sensitif, menggemaskan dan cukup seksi," potong Adriana cepat. Nick terdiam dan mengerjap. "A ... apa yang terakhir kau bilang tadi?" tanya Nick tak yakin. "Ting!" Lift terbuka dan Nick masih membeku di tempatnya. Adriana kemudian melangkah keluar lift, dan dengan santai berkata, "Oh, kau begitu lambat," keluhnya seolah kesal. "Oke, begini, aku hanya akan bertanya sekali saja," ucapnya lagi. "Jadi, kau ingin ke apartemenku untuk bercinta habis-habisan denganku sekarang, atau tidak sama sekali?!" Setelah mengucapkan itu, ia segera berbalik dan menekan alarm kunci mobilnya dan tampak