Suasana kembali menegang saat Antonio mengacungkan pistolnya dengan tatapan meremehkan.
"Tak ingin menepati janjimu, hah?" tanya Dean memecah keheningan.
Sherly menahan napasnya dan berdoa sekuat tenaga agar dirinya dan Dean dapat keluar hidup-hidup dan selamat dari tempat ini.
"Apa yang akan kau lakukan? Membunuh kami?" tantang Dean lagi dengan senyum sinis.
"Jika itu yang kau minta, aku akan dengan senang hati mengabulkannya." Antonio mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Ini adalah hutan terpencil. Jika harus melenyapkan dan kemudian mengubur kalian tanpa jejak, akan mudah sekali kulakukan di sini."
"Benarkah? Aku memiliki solusi yang lebih baik. Kalau begitu, bagaimana jika kita semua mati bersama saja di sini? Agar kita tidak saling merasa kesepian?" ucap Dean seolah mencibir Antonio.
Dean serta merta mengeluarkan sebuah remote kecil dari balik jaket kulitnya yang sebelumnya tak terdeteksi oleh anak buah Antonio, karena memang
"CIIIITTTT.....!!!!" Rem berdecit kuat. Sherly dengan shock menatap dari dalam mobil. Ia dapat melihat Dean tengah berguling, sesaat setelah Antonio melepaskan tembakannya. Ia dengan gesit dapat menghindar dan berhasil lolos dari tembakan itu. Dean terlihat baik-baik saja, tetapi napas Sherly seketika harus berhenti karena serangan shock beruntun. Pasalnya, sejurus kemudian tiba-tiba saja beruntun tembakan terdengar saling bersahut-sahutan tak henti-hentinya! Ia membeku di kursi kemudi melihat semua baku tembak dan aksi mendebarkan dari balik kaca depan mobil yang tahu-tahu dimulai begitu saja. Ya, mobil Dean adalah mobil anti peluru. Sherly dapat tetap aman dengan berada di dalamnya tanpa terluka sedikit pun. Itulah sebabnya Dean memerintahkannya untuk tetap berada di dalam sana apa pun yang terjadi. Entah dari mana datangnya, di kanan dan kiri jendela samping mobilnya, tiba-tiba saja terlihat sosok Adriana muncul dengan dua anggota t
"DEAAAAAANNN ...!!!!!" raungnya pilu. Sherly terguncang. Dengan susah payah ia merangkak mendekati tubuh Dean dan berusaha untuk membaliknya. Dean tergeletak di atas tanah dengan kaus yang bersimbah darah dengan mata terpejam. Terlihat sebuah tembakan telah bersarang di perut sebelah kirinya setelah ia memasang badannya untuk melindungi Sherly. "Tidak ... tidak ... tidak!" teriak Sherly tak percaya. Ia menggeleng dengan keras. "Oh, Dean! Please! Bangunlah ... Dean!!! Bangunlahh!!" Sherly mulai berteriak-teriak lagi dan menangis. Entah sejak kapan, beberapa orang dengan gesit sudah menghampiri Sherly dan menahan kedua bahunya. Sherly begitu terguncang, ia meratap dan menangis menatap Dean yang tergeletak tak bergerak di hadapannya. Semua kekuatannya seolah lenyap. Tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Beberapa petugas ambulans yang bergerak bergerak cepat tiba-tiba datang dan dengan sigap mengangkat tubuh Dean ke atas brankar untu
Sherly memandang pilu dari balik kaca besar pembatas ruang perawatan intensif yang memisahkannya dengan lorong tunggu. Terlihat di sana Dean sedang berbaring di atas ranjang dengan berbagai alat bantu pernapasan dan monitor yang masih terhubung padanya. Sherly masih tak dapat mempercayai bahwa pria yang sedang berbaring tak sadarkan diri di dalam sana adalah Dean. "Bisakah aku masuk?" tanyanya pada Alfred. "Tentu saja, aku akan memanggil perawat." Alfred bergegas menuju meja jaga perawat. Seorang perawat hanya mempersilakan Sherly dan Joanna untuk masuk karena keterbatasan pengunjung untuk pasien perawatan intensif. Sherly tak kuasa menahan air matanya ketika mendekati ranjang Dean. Ia memejamkan matanya untuk menguatkan dirinya sendiri. Dengan dibantu Joanna, Sherly turun dari kursi rodanya. Dengan hati-hati dan perlahan Sherly meraih jemari Dean dan menggenggamnya. "Dean, Sayang bangunlah ...," lirihnya.
"Pria sensitif dan cengeng hah? Apa aku di matamu tampak seperti itu?" Nick menatap Adriana dengan serius saat mereka berada di dalam lift. "Ya. Kau memang seperti itu. Sangat sensitif dan cengeng. Bukankah dari awal memang seperti itu citra yang kau tunjukkan padaku?" "Tetap saja ... masa kau menyebutku ..." "Kau kikuk, gegabah, cengeng, emosional, sensitif, menggemaskan dan cukup seksi," potong Adriana cepat. Nick terdiam dan mengerjap. "A ... apa yang terakhir kau bilang tadi?" tanya Nick tak yakin. "Ting!" Lift terbuka dan Nick masih membeku di tempatnya. Adriana kemudian melangkah keluar lift, dan dengan santai berkata, "Oh, kau begitu lambat," keluhnya seolah kesal. "Oke, begini, aku hanya akan bertanya sekali saja," ucapnya lagi. "Jadi, kau ingin ke apartemenku untuk bercinta habis-habisan denganku sekarang, atau tidak sama sekali?!" Setelah mengucapkan itu, ia segera berbalik dan menekan alarm kunci mobilnya dan tampak
Nick mengikuti Adriana masuk ke dalam apartemennya. Ia sedikit kikuk karena baru pertama kali datang ke apartemen seorang wanita hanya dalam waktu singkat setelah pertemuan mereka. "Duduklah, buatlah dirimu nyaman." Adriana menuju dapur terbukanya dan meraih dua buah minuman dingin dari kulkas miliknya. Apartemen Adriana yang bernuansa modern dan minimalis terkesan begitu bersih dan sangat rapi. Seperti pemiliknya yang tampak sempurna, tempat tinggalnya juga terlihat begitu nyaman. Nick tampak sedikit gugup saat Adriana meletakkan kedua botol minuman dingin di atas meja di hadapannya. "Silakan," ucap Adriana padanya. Nick kemudian meraih minuman tersebut. Dan karena kegugupannya yang memuncak, ia meneguknya sampai habis. "Kau begitu haus?" tanya Adriana yang sedikit heran dengan tingkah Nick. Setelah Nick menghabiskan minumannya, ia meletakkan botol kosong di atas meja dan mulai menatap Adriana dengan serius. "Ada apa? Ada yang
Pagi itu, dengan tergesa-gesa Sherly bergegas menuju ruang perawatan intensif setelah ia menerima kabar bahwa Dean telah sadar. Ia begitu bahagia dan ingin segera menemui Dean. Sherly diikuti oleh Alfred yang berlari kecil dan menghambur masuk ke dalam kamar Dean begitu ia tiba di sana. Pemandangan Dean yang tengah bersandar pada ranjangnya membuat Sherly begitu terharu karena bahagia. "Ya, Tuhan. Kau telah sadar Dean," Sherly mendekati Dean dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa begitu lega melihat wajah Dean. "Bisakah kau jalan dengan perlahan saja, Sayang, jangan berlari," Dean menyambut Sherly dengan senyum yang masih terlihat lemah. Ia tadi telah melihat Sherly yang berlari dengan tergesa dari balik jendela kaca penguhung ruangannya. Sherly tersenyum penuh haru dengan isak kecil yang masih menyertainya. Ia mendekati Dean dan mencium keningnya. "Oh, ya Tuhan ... terima kasih, karena kau telah sadar." Tak kuasa menahan tangisnya, Sherly meraih jemari
Dean akhirnya kembali ke rumah beberapa hari kemudian setelah dirinya dinyatakan baik-baik saja. Pemeriksaan dan segala macam tes juga menunjukkan hasil yang bagus. "Jangan banyak bergerak, biar aku saja yang mengurusmu, Sayang," ucap Sherly. Ia menopang lengan Dean yang hendak duduk untuk bersandar pada kepala ranjang. "Panggil aku atau siapa pun jika kau ingin melakukan sesuatu, oke? Aku tak ingin lukamu yang belum membaik akan kembali terbuka." "Aku tak apa, aku hanya sedikit bosan berada di atas tempat tidur terus, Sayang," balasnya. "Walau aku berada di sampingmu sekali pun? Apa kau masih akan tetap bosan?" goda Sherly sambil tersenyum. "Well, itu hal lain lagi. Kau yang paling tahu, bukan? Betapa aku ingin cepat pulih agar dapat segera memelukmu dan memberimu kehangatan, Sayang?" Sherly tergelak dan berkata, "Oh, ya ampun. Kau tahu benar, kita harus sama-sama saling menahan diri untuk saat ini bukan? Kondisimu dan diriku yang men
Malam itu, di dalam kamar luas yang nyaman, Sherly dan Dean saling memagut dan berciuman dengan mesra di bawah lampu temaram yang menyinari kamar mereka. Dean duduk bersandar pada kepala ranjang dengan Sherly yang ada di sampingnya dan sedang mengenakan lingerie seksi miliknya. Ciuman mereka yang memanas semakin membangkitkan gairah Dean. Terlebih saat Sherly melekatkan tubuh berlekuknya dengan cara yang menggoda. "Oh, Sayang ... betapa aku sangat menginginkanmu," gumamnya. Dean meraih pinggang Sherly yang setengah berlutut di sampingnya dengan tangan kokohnya. Ia beralih pada leher Sherly setelah mengakhiri ciuman panas mereka. Selama hampir seminggu setelah kepulangannya dari rumah sakit, akhirnya malam ini ia baru bisa merasakan lagi kehangatan tubuh mungil milik istrinya itu. Walau gerakannya masih terbatas karena luka pasca operasinya belum sepenuhnya pulih, tapi Dean seolah tak mampu lagi membendung hasratnya pada Sherly. Dean menghirup